GATRA, Jumat 7 Mei 2004
Kasus Ambon: Oportunisme Pemerintahan
AMBON memanas lagi. Sejak 25 April, api kerusuhan dan kekacauan menjilat-jilat,
menghancurkan keamanan semu dan perdamaian pura-pura di sana. Sejak Laskar
Jihad Ahlis Sunnah Wal Jama'ah menyerahkan senjata yang ditindaklanjuti dengan
pembubaran 7 Oktober 2002, semua personelnya ditarik dari Maluku dan Poso
(Sulawesi Tengah). Ketika itu, kami berasumsi bahwa pemerintah mulai berani
bertindak tegas terhadap gerombolan RMS/FKM, dengan menangkapi dan
mengajukan ke meja hijau mereka yang terlibat gerakan tersebut dengan tuduhan dan
vonis makar terhadap NKRI.
Dengan demikian, tidak perlu lagi dipertahankan keberadaan Laskar Jihad Ahlis
Sunnah Wal Jama'ah sebagai organisasi komando perjuangan membela NKRI dengan
misi menumpas gerombolan RMS/FKM di Maluku dan berbagai gerombolan
pengacau lainnya di Poso serta tempat-tempat lain di wilayah NKRI. Sesungguhnya,
tanggung jawab menumpas gerombolan pemberontak dan pengacau bukanlah di
pundak rakyat, melainkan merupakan tanggung jawab Pemerintah RI.
Namun berbagai asumsi yang mendasari tindakan membubarkan Laskar Jihad Ahlis
Sunnah Wal Jama'ah mulai kami ragukan ketika kenyataan di lapangan tidak
mendukung asumsi tersebut. Kurang lebih sebulan setelah pembubaran Laskar Jihad,
terjadi peristiwa pembantaian kepala desa dan anggota keluarganya di luar kota
Poso. Beberapa bulan setelah itu, terjadi lagi bentrok massa di Morowali/Poso yang
menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda. Sampai hari ini, Kabupaten Poso
dan Morowali belum sepenuhnya aman. Dan, kini Ambon bergolak lagi.
Dulu, pemerintah selalu menuduh Laskar Jihad sebagai pihak yang menjadi pemicu
berbagai kerusuhan di wilayah-wilayah bergolak itu, atau menambah keruh problem
kerusuhan di wilayah-wilayah tersebut. Karena itu, pemerintah berusaha mengusir
Laskar Jihad, sebagai satu-satunya jalan untuk menenteramkan kembali
daerah-daerah konflik itu. Namun kami terus berjuang membela rakyat teraniaya,
walaupun kami selalu diopinikan oleh pemerintah sebagai kelompok perusuh.
Setelah pembubaran Laskar Jihad Ahlis Sunnah Wal Jama'ah, kerusuhan masih saja
bergolak di Poso dan Ambon. Bahkan, tentang kerusuhan di Ambon, Tim Independen
Nasional yang dibentuk oleh Menko Polkam waktu itu, Susilo Bambang Yudhoyono,
telanjur mengambil kesimpulan hasil penyelidikan "di lapangan" bahwa RMS
(Republik Maluku Selatan) itu sesungguhnya tidak ada. Yang berarti, pemicu utama
kerusuhan di Maluku adalah Laskar Jihad. Padahal, Laskar Jihad Ahlis Sunnah Wal
Jama'ah baru dideklarasikan pembentukannya di Senayan, Jakarta, pada 6 April
2000, dan baru terjun di Ambon pada 1 Mei 2000. Sedangkan kerusuhan di Ambon
mulai meletus pada 19 Januari 1999, yang berarti Laskar Jihad baru masuk Ambon
kurang lebih setahun setengah setelah kerusuhan berlangsung.
Tentu akan timbul pertanyaan dari orang yang berakal, siapakah yang memicu dan
mengaduk-aduk Maluku selama setahun setengah sebelum masuknya Laskar Jihad?
Mungkin pemerintah akan menjawab: tentang siapa yang membikin rusuh Maluku
sebelum Laskar Jihad masuk ke sana, kami sedang menyelidiki. Orang berakal akan
bertanya lagi, aneh juga kejadian di Maluku ini. Kejadian belakangan sudah bisa
disimpulkan, tapi kejadian sebelumnya masih harus diselidiki. Padahal, korban
kerusuhan di Maluku sebelum Laskar Jihad masuk ke sana jauh lebih besar berlipat
ganda daripada jumlah korban kerusuhan setelah Laskar Jihad masuk ke sana. Tim
Independen Nasional begitu cepatnya mengambil kesimpulan tentang tidak adanya
RMS di Maluku. Tetapi sampai hari ini, tim masih "menyelidiki" dalang kerusuhan 19
Januari 1999 di Ambon, dan entah sampai kapan tim dapat mengambil kesimpulan.
Karena kerja "tim" tanpa batas waktu.
Bau oportunisme sangat menyengat dalam berbagai kebijakan pemerintah berkenaan
dengan aneka kerusuhan di Tanah Air. Contoh yang nyata, beberapa tokoh FKM
(Front Kedaulatan Maluku) telah divonis hukuman penjara di seputar tiga sampai lima
tahun oleh berbagai pengadilan negeri di Ambon dan di Jakarta. Mereka terbukti
melakukan gerakan makar, kelanjutan dari gerakan RMS. Tapi Tim Penyelidik
Independen Nasional menyatakan bahwa RMS itu tidak ada. Alex Manuputty
dilepaskan dari tahanan dengan alasan masa tahanannya telah habis dalam menanti
putusan kasasi Mahkamah Agung kasus makar yang dia lakukan. Setelah
pembebasannya dari tahanan, Alex dengan mudahnya berangkat ke Amerika Serikat
tanpa halangan apa pun.
Lagi-lagi pemerintah berkilah bahwa masih menyelidiki siapa sesungguhnya yang
terlibat dalam persekongkolan memberi jalan bagi Alex ke luar negeri. Ketika publik
mendesak agar pemerintah mengupayakan kepada Pemerintah Amerika Serikat
untuk dapat mengembalikan Alex Manuputty ke Indonesia, pemerintah pun
menyatakan masih mengupayakan hal itu. Sampai akhirnya, ribut-ribut tentang
kepergian Alex ke Amerika mereda. Lalu Ambon kembali dilanda rusuh akibat ulah
aktivis FKM pimpinan Alex yang kini berada di Amerika.
Jika pemerintah tak lagi mampu mempertahankan keutuhan NKRI, maka komponen
masyarakat yang peduli akan berjuang untuk mempertahankannya.
Ja'far Umar Thalib
Mantan Panglima Laskar Jihad Ahlis Sunnah Wal Jama'ah
[Kolom, GATRA, Edisi 26 Beredar Jumat 7 Mei 2004]
Copyright © 2002-04 Gatra.com.
|