KOMPAS, Sabtu, 01 Mei 2004
Ancaman Perang Sipil Jilid II di Ambon
Laode Ida
PERISTIWA kerusuhan di Ambon sekarang, yang dalam waktu singkat memakan
puluhan korban jiwa, terasa sangat mengejutkan bagi bangsa ini. Tak ada yang
menduga peristiwa itu akan terjadi begitu tiba-tiba. Soalnya, keamanan di ibu kota
provinsi seribu itu dalam setahun pascakonflik teras membaik.
HUBUNGAN sosial antarkomunitas yang dulu sangat retak akibat terlibat konflik
terbuka sudah berangsur membaik. Dampak positifnya, aktivitas ekonomi di tingkat
lokal kian kondusif. Bahkan, seperti kita saksikan bersama, penyelenggaraan pemilu
saat kampanye hingga hari H berlangsung tanpa gangguan stabilitas kendati
sebelumnya ada banyak keraguan terjadi konflik saat kampanye.
Dari segi kronologi terjadinya kerusuhan itu, tampaknya ada karakter berbeda dengan
kerusuhan pertama enam tahun lalu. Kerusuhan yang lalu dipicu oleh perkelahian dua
preman dari suku berbeda, sedangkan pada kerusuhan kali ini justru hampir tidak ada
faktor pemicu yang signifikan. Hanya karena kekecewaan sekelompok masyarakat
yang menyatakan diri atau dikategorikan sebagai aktivis dan pendukung Front
Kedaulatan Maluku (FKM), sebuah unsur Republik Maluku Selatan (RMS), terhadap
pihak kepolisian lantaran sebagian teman mereka ditahan karena dicurigai sebagai
penggerak dalam peringatan hari ulang tahun (HUT) RMS.
Konflik fisik dan kerusuhan terjadi karena di perjalanan mereka dihadang massa
penentang yang disebut sebagai "penentang RMS" atau "pendukung NKRI".
Anehnya, kemudian konflik terasa bersuasana SARA (suku, agama, ras, dan
antargolongan), cenderung sama dengan suasana konflik sebelumnya.
Kendati begitu, kerusuhan di Ambon kali ini memang tidak terlalu mudah dijelaskan
secara memuaskan. Barangkali yang paling sederhana adalah penjelasan klasik
berupa sentimen kolektif dan luka lama yang belum sembuh. Masih sangat sensitif
gerakan-gerakan dari kelompok masyarakat yang dulu terlibat dalam pertempuran
fisik. Kesadaran untuk damai masih jauh dari harapan kendati pemerintah-yang dulu
di bawah Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (waktu itu) Jusuf
Kalla-memprakarsai dengan Pertemuan Malino I. Program Pembangunan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) juga telah secara khusus membuat program
upaya rekonsiliasi, termasuk juga pihak LSM-LSM yang peduli untuk menjadikan
masyarakat Ambon-Maluku baku bae.
Artinya, semua upaya itu masih lebih dirasakan sebagai simbol di permukaan dengan
sentuhan elitis, belum menyentuh nurani kemanusiaan yang tulus dari pihak-pihak
bertikai. Akibatnya, ketika salah satu pihak merasa dikecewakan-termasuk dalam
kasus ini oleh pihak kepolisian atau penegak hukum sekalipun-maka pelampiasan
atas kekecewaan itu adalah kelompok masyarakat yang dulu menjadi pihak lawan
dalam perang sipil secara terbuka itu.
YANG menarik untuk dicermati dan dikaji adalah bahwa wadah yang digunakan
sebagai basis melakukan kerusuhan kali ini adalah FKM-RMS, suatu kelompok yang
bisa dikatakan "sempalan" karena sebenarnya secara sosial tidak terlalu berpengaruh
luas pada masyarakat Ambon-Maluku. Kalaupun ada gerakan-gerakan seperti upaya
memperingati HUT RMS niscaya aparat yang berwajib atau para intelijen sudah
terlebih dahulu mengidentifikasinya. Atau, kalau ada gerakan-gerakan dari kelompok
sempalan seperti itu, masyarakat dari kelompok ideologi yang berbeda tidaklah perlu
menanggapinya karena itu bukan kewenangan mereka, melainkan pihak yang
berwajib. Ini yang mendukung asumsi bahwa masyarakat Ambon sadar masih ada
potensi "perang terbuka" bila ada faktor pemicu.
Pertanyaannya, mengapa pihak yang berwajib tidak cepat tanggap lalu melokalisasi
gerakan itu sehingga tidak berpengaruh di masyarakat? Atau, dari mana saja
kelompok masyarakat yang disebut sebagai penentang RMS atau pendukung NKRI
itu? Apa kepentingan mereka sehingga dengan suka rela pergi menghadang
kelompok masyarakat yang sedang berurusan dengan dirinya sendiri dan atau
dengan pihak yang berwajib?
Pertanyaan-pertanyaan itu kalau tidak dijelaskan oleh pihak berwajib niscaya akan
menimbulkan rasa curiga adanya rekayasa di balik peristiwa yang bisa mengarah
pada "perang sipil jilid II" di Ambon itu. Apalagi, seperti dikabarkan oleh berbagai
media massa, peristiwa pengibaran bendera perayaan HUT RMS itu sudah
berlangsung beberapa jam dan pihak kepolisian tidak mencegah atau bersegera
menanganinya. Maka, akan muncul spekulasi berikutnya, "jangan-jangan kelompok
masyarakat yang menghadang itu sudah juga dipersiapkan oleh pihak yang berwajib
untuk memancing di air keruh".
Tentu tidak masuk akal kalau kelompok masyarakat yang jelas-jelas masih dalam
situasi rehabilitasi konflik mau secara sukarela menyediakan diri menghadang
kelompok sempalan yang memiliki semangat juang tinggi dalam konteks politik dan
ideologi. Hal itu lagi-lagi tidak saja memicu kemarahan untuk kemudian bisa saling
berhadapan dengan risiko akan semakin meluas pengikutnya, tetapi juga secara
langsung bisa berarti menyerahkan diri untuk dihadapi oleh massa ideologis secara
terbuka dengan ancaman nyawa. Itu sudah pasti suatu kebodohan orang-orang atau
kelompok masyarakat yang melibatkan dirinya.
SUASANA politik terhadap kerusuhan di Ambon sekarang ini barangkali memang tak
bisa dihindarkan. Setidaknya interprestasi dengan suasana itu akan terus
mengemuka dan jadi bahan konsumsi publik. Apalagi pascapemilu legislatif, peta
perolehan suara sudah jelas dari masing-masing partai politik.
Faktor politik lokal di Ambon bukan mustahil akan selalu menyemangati gerakan para
elitenya, dan selanjutnya perasaan tidak puas itu akan disebarkan kepada
masyarakat awam untuk kemudian terhasut bergerak secara emosional dan brutal.
Pihak RMS-FKM jelas akan selalu memanfaatkan momentum ketidak puasan
masyarakat untuk bisa tetap menunjukkan eksistensinya. Apalagi, memang kalau
para elite RMS-FKM sendiri merasa terganggu dengan hasil pemilu legislatif yang
baru lalu.
Apa pun penjelasan dan penyebabnya, peristiwa berdarah yang mengerikan itu sudah
terjadi yang, kalau salah-salah mengatasinya, risikonya akan lebih parah. Soalnya,
ketika luka sosial lama belum sembuh, kini datang lagi luka baru yang bisa
memperkuat semangat untuk melanjutkan "perang sipil".
Kendali aparat yang demikian lemah seperti terbukti selama peristiwa konflik masa
lalu dan sikap "cenderung membiarkan", itu akan memberi keleluasaan kepada
masyarakat untuk berupaya melampiaskan emosi dalam bentuk perlawanan terbuka
secara fisik. Apalagi, gubernur Maluku secara terbuka meminta pihak TNI
mengirimkan bantuan personilnya di Ambon, sebuah pengumuman yang membuka
kelemahan sendiri. Karena kecuali hal itu akan menjadikan kelompok-kelompok
masyarakat merasa tidak akan terlindungi secara baik oleh aparat keamanan, juga
khusus bagi mereka yang sedang terluka akan menjadikannya sebagai peluang untuk
bertempur tanpa ada kendali kuat dari aparat keamanan.
Menyedihkan dan memprihatinkan memang kalau aparat pemerintah tidak mampu
menciptakan rasa aman bagi warganya, apalagi justru terkesan memberi peluang
untuk "saling bertempur". Kalau kondisi seperti ini terus berlangsung, akan muncul
legitimasi bahwa aparat keamanan perlu dihadirkan bukan saja sebagai pencipta
stabilitas, melainkan juga sebagai pengendali utama pemerintahan, baik di tingkat
nasional maupun lokal di Indonesia.
Kalau citra itu yang terbangun, nantinya dikotomi sipil-militer akan terus berlanjut.
Yang akan dianggap layak memimpin bangsa ini di berbagai level hanya aparat
keamanan. Padahal, masalahnya bukan di situ, melainkan berkaitan dengan
bagaimana menjadikan masyarakat membangun kesolidan atau mengonsolidasi
dirinya sendiri, menciptakan rasa saling percaya dalam suasana kebersamaan dan
kekeluargaan yang tulus.
Semua itu bisa merupakan produk rekayasa sosial dari pendekatan bawah-atas,
bukan dipaksakan dari atas seperti yang diterapkan dalam penanganan konflik
selama ini termasuk dalam kasus Ambon. Akibatnya, ya seperti sekarang ini, luka
dan dendam sosial akibat konflik sangat sulit disembuhkan.
Laode Ida Direktur Pusat Studi Pengembangan Kawasan (PSPK), Jakarta
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|