KOMPAS, Sabtu, 01 Mei 2004
Ambon Manise, Ambon Menangis
Tidak ada rakyat yang suka perang, yang ada adalah para pemimpin yang suka
perang (Ralp Bunche, 1904-1971).
Perang hanyalah melarikan diri secara pengecut dari masalah-masalah perdamaian
(Thomas Mann 1875-1955).
PERANG saudara (sipil) jilid dua kini mengancam warga Ambon, ibu kota Provinsi
Maluku, menyusul insiden peringatan 54 tahun Republik Maluku Selatan yang
dilakukan simpatisan Front Kedaulatan Maluku Minggu (25/4). Peristiwa ini merobek
rasa kebangsaan sebab kedua kelompok masyarakat yang kehidupannya hancur dan
masa depannya terampas oleh konflik berkepanjangan sejak 19 Januari 1999, baru
saja menyatakan kembali menjunjung budaya pelagandong (hidup rukun
berdampingan dalam perbedaan agama) melalui Deklarasi Malino II.
TRAGEDI kemanusiaan ini sungguh mengusik hati nurani karena terjadi setelah
kedua kelompok masyarakat itu baru saja sadar bahwa mereka telah menjadi korban
provokasi kepentingan pihak lain seperti yang digambarkan kedua tokoh dunia peraih
nobel sastra itu. Namun, kesadaran itu belum meresap kuat dalam benak
masing-masing walaupun mereka telah merasakan pahitnya akibat konflik yang telah
mencerabut penduduk dari akar kehidupannya. Dalam perang kebodohan yang sia-sia
itu semuanya menderita seraya merampas masa depan mereka sendiri.
Tak seorang pun menduga tragedi kehidupan itu terulang lagi. Malah insiden kali ini
telah berpengaruh luar biasa terhadap retaknya sendi-sendi kehidupan dan
kebersamaan yang selama ini tercipta antara dua komunitas, umat Islam dan
Kristiani.
Hal menyedihkan dan tampak ke permukaan sebagai pertanda retaknya hubungan itu
antara lain dengan terpasangnya barikade berupa balok kayu dan batu-batu di jalan
yang merupakan wilayah perbatasan antara dua komunitas. Masing-masing
komunitas, umat Islam dan Kristiani, hanya beraktivitas di wilayah masing-masing.
Belum ada lagi yang berani untuk sekadar melintas melewati batas, apalagi berbaur.
Sebagian anak-anak di wilayah yang dilanda kerusuhan tidak lagi bersekolah dan
bahkan ketika keluar rumah sekalipun harus berhati-hati.
Masyarakat tidak bisa melakukan pekerjaan sehari-hari sebagaimana mestinya.
Denyut perekonomian mendadak terhenti. Toko-toko tutup. Masyarakat benar-benar
dicekam ketakutan. Ini bisa dimaklumi sebab aparat keamanan saja takut memasuki
Kota Ambon. Saat berkunjung ke daerah konflik para pemegang otoritas negara dan
keamanan pun hanya sampai di bandar udara.
Padahal, sebelum peristiwa "Minggu Kelabu" itu meletus, kehidupan berjalan normal,
dengan pembauran yang tidak bisa dibedakan lagi mana umat Islam dan umat
Kristiani. Bukankah mereka dilahirkan untuk saling mencintai sesama dan itulah
sebenarnya prinsip keberadaan manusia di muka Bumi ini. Kala itu sejumlah harapan
mulai menguak. Denyut nadi perekonomian pun mulai berjalan normal, setelah
porak-poranda terimbas konflik lalu.
MELIHAT mencekamnya situasi Ambon hari-hari ini mungkin rekatnya kembali hidup
berdampingan dalam harmoni pasca-kerusuhan 19 Januari 1999 lalu akan
memerlukan waktu yang lamanya sulit diduga. Bisa jadi, tidak cukup satu atau dua
tahun ke depan. Sebab, dengan peristiwa hari Minggu itu, ingatan kolektif
masing-masing pihak akan kejamnya konflik komunal, mau tidak mau, membayang
kembali. Sungguh sulit diterima akal sehat ketika ribuan pengungsi yang
perlahan-lahan telah kembali ke tempat-tempat relokasi, atau bahkan tempat asal
mereka, kini kembali kocar-kacir ketakutan dan terlunta-lunta di negeri-negeri mereka
sendiri.
Sampai Jumat (30/4) kemarin, suasana keterpisahan masih sangat terasa. Apalagi
dengan kemungkinan beroperasinya para sniper alias penembak jitu yang telah
menewaskan dua anggota Brigade Mobil (Brimob), kehati-hatian masing-masing
pihak, lebih meningkat lagi. Malah Jumat dini hari ketegangan sempat muncul lagi,
padahal hari Kamis suasana agak tenang dan warga masyarakat mulai melakukan
aktivitasnya walaupun tidak penuh.
Peristiwa "Minggu Kelabu" itu telah saling menyulut kecurigaan baru. Meski Wali
Kota Ambon Jopie Papilaja menyatakan bahwa peristiwa ini bukan soal suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA), kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sulit bagi
warga dua komunitas untuk kembali berbaur dan hidup bersama-sama saling
berdampingan, paling tidak dalam waktu dekat. Papilaja juga meyakini adanya
pihak-pihak tertentu yang hendak membelokkan peristiwa ini ke arah SARA. "Saya
melihat ada upaya-upaya ke arah sana," katanya.
Indikasi pembelokan ke arah SARA menurut Papilaja dapat dilihat dengan
pembakaran dan penghancuran simbol-simbol keagamaan dan pemerintahan, seperti
terbakarnya rumah ibadah, SMA Muhammadiyah, Universitas Kristen Indonesia
Maluku, dan gedung-gedung pemerintah. Senada dengan Papilaja, Kepala Kepolisian
Daerah (Polda) Bambang Sutrisno juga menyatakan tegas bahwa peristiwa ini bukan
SARA, melainkan telah berkembang menjadi SARA. Kepala Badan Intelijen Negara
Hendropriyono di Bandara Pattimura juga melihat adanya upaya membelokkan konflik
ini ke arah SARA dengan indikasi terbakarnya rumah ibadah.
Adapun Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu berupaya meluruskan pemakaian
istilah "pendukung FKM/RMS" dengan "pendukung NKRI". Dia berharap stigma itu
segera ditiadakan sebab tidak sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Menurut
Gubernur, yang terjadi saat ini adalah upaya kelompok-kelompok tertentu yang
melakukan provokasi di mana kelompok itu berupaya ingin mengembalikan suasana
konflik Kota Ambon seperti yang pernah terjadi pada empat atau lima tahun lalu.
"Masak pendukung NKRI membakar SMA Muhammadiyah, membakar Universitas
Kristen Indonesia Maluku, serta merusak simbol keagamaan dan gedung-gedung
pemerintahan. Saya tidak setuju dengan istilah itu. Ini stigma baru yang harus segera
dihapuskan. Sebab, kerusuhan ini hanya bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab," kata Gubernur Ralahalu.
KONFLIK itu sangat melelahkan semua warga Ambon. Kedua komunitas berharap
agar suasana kebersamaan yang pernah terjalin selama dua tahun terakhir dipupuk
kembali. Mereka rata-rata mengaku sangat tersiksa, dipenuhi rasa takut,
ketidakpastian, dan rasa curiga yang begitu tinggi. "Beta tidak mengerti kenapa ini
bisa terjadi lagi," kata Stevi Lasatira, penarik becak yang mangkal di depan Gereja
Maranatha. Ia mengatakan, pendapatannya anjlok sejak meletusnya kerusuhan. Stevi
yang biasa mengantongi Rp 75.000 setiap harinya, sejak kerusuhan paling
memperoleh Rp 15.000.
Di Pasar Mardika, yang dulu pernah dikenal sebagai Pasar Bakubae, sejumlah
pedagang mengeluhkan hal yang sama. Dari 5.000 pedagang hanya beberapa puluh
pedagang saja yang mencoba berjualan kebutuhan sehari-hari, itu pun lapak mereka
dipindahkan di pinggir Jalan Pantai Mardika dan Pasar Ikan Arumbai. "Kerusuhan ini
harus dibayar mahal, saya belum bisa berjualan lagi. Seng ada pembeli, pimana kita
bisa jualan," kata La Milu, seorang pedagang kelontong.
Sejumlah warga Kampung Batugantung Desa Waringin, Kecamatan Nusaniwe, yang
merupakan perkampungan Kristen, berharap agar pemerintah dan aparat keamanan
segera mengambil tindakan secepatnya untuk memulihkan rasa aman. Hal yang
sama diungkapkan oleh warga yang berjualan di depan Ambon Plasa, yang
merupakan permukiman Muslim, yang meminta agar aparat keamanan segera
menindak tegas dalang terjadinya kerusuhan.
"Masyarakat Batugantung, Waringin, minta keadilan," kata sejumlah warga yang
sebagian besar ibu-ibu dan tidak bersedia disebutkan namanya. Di Pasar Mardika,
Saleh Nurlette menyayangkan Kepala Polda Maluku yang dianggapnya tidak tegas
dalam menangani gerakan Front Kedaulatan Maluku (FKM)/Republik Maluku Selatan
(RMS). "Masak aparat membiarkan kelompok orang yang mau mendirikan negara
dalam negara," katanya.
Bagaimana reaksi sejumlah umat Kristiani itu sendiri mengenai FKM/RMS? Lies
Hulahayanan, seorang warga Kota Ambon, meyakini, konflik yang terjadi sekarang ini
bukanlah antara pendukung FKM/RMS dengan pendukung Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), melainkan adanya upaya pihak-pihak tertentu yang ingin
mengembalikan suasana Kota Ambon kepada konflik empat atau lima tahun lalu. Dia
menegaskan, FKM/RMS tidak identik dan tidak sama dengan Kristen. "Anda tahu,
umat Kristen banyak yang tidak setuju FKM/RMS, juga orang-orang di
pemerintahan," ujar Lies.
Untuk kesekian kalinya pula, Ketua BPH Sinode GPM Pendeta Dr IWJ Hendriks STh
menegaskan, umat Kristen Maluku bukanlah RMS. Untuk itu, dia meminta aparat
keamanan untuk segera menangani kemungkinan konflik yang kemungkinan
dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. "Ini penting agar masyarakat yang tidak tahu
apa-apa tidak menjadi korban," kata Hendriks.
Karena itu Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto menyatakan, terdapat satu titik
temu pemahaman bersama di antara warga masyarakat Ambon bahwa tidak ada satu
kelompok pun yang mendukung keberadaan kelompok separatis FKM/RMS.
Organisasi itu tidak identik dengan agama tertentu. Dengan begitu, sebaiknya
FKM/RMS dijadikan musuh bersama yang harus ditindak tegas sesuai hukum yang
berlaku.
"Tidak sepatutnya sebagai orang Indonesia memberikan dukungan kepada kelompok
separatis. Aparat keamanan akan berbuat maksimal untuk menindak FKM/RMS,"
kata Panglima TNI menegaskan.
Meski demikian, pihaknya lebih menyerahkan inisiatif untuk menyelesaikan konflik
atau menjaga agar konflik tidak meluas kepada masyarakat.
Sebab, seberapa pun besarnya jumlah bantuan keamanan personel TNI, apabila
masyarakatnya tidak mau berdamai, kedamaian tidak akan terwujud.(PEP/DMU)
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|