The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

KOMPAS


KOMPAS, Sabtu, 01 Mei 2004

"Utang" dari Malino II

KETIKA Ambon panas, ketika rakyat menjadi korban, pertemuan di tengah balutan hawa dingin ketika hujan turun di kawasan Malino, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan, pada pertengahan Februari 2002 lalu adalah catatan yang harus kembali direnungkan. Saat itu, sebanyak 70 orang perwakilan dua komunitas yang bertikai di Ambon ditambah 10 mediator dan 20 peninjau bersepakat menandatangani 11 butir deklarasi "Perjanjian Malino untuk Maluku"-atau yang kemudian lebih dikenal dengan Deklarasi Malino II.

Inilah puncak bertemunya dua pihak yang bertikai di Maluku setelah berlangsungnya sejumlah pertemuan pendahuluan yang panjang dan melelahkan. Sebelumnya pula, sejak pertengahan 1999, sejumlah upaya perdamaian kandas karena nyatanya tetap saja terpantik konflik di wilayah seribu pulau itu. Suasana haru mewarnai penandatanganan deklarasi pada 12 Februari 2002 itu. Perwakilan kedua komunitas yang sebelumnya sulit untuk bertegur sapa, sempat beradu kuat memaparkan versi pihaknya masing-masing saat awal pertemuan, nyatanya bisa bertemu dengan kesadaran untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Deklarasi Malino II diyakini bisa menjadi prasyarat untuk melanjutkan agenda pemulihan keamanan, penegakan hukum, dan rehabilitasi sosial-ekonomi setelah wilayah Ambon khususnya dan Maluku pada umumnya terhantam konflik horizontal sejak awal tahun 1999. Tegas mengemuka dalam pertemuan tersebut, ke-11 butir deklarasi yang ditandatangani itu bukanlah deklarasi damai, melainkan lebih tepat sebagai kesepakatan menghentikan konflik. Damai merupakan ujung akhir dari sebuah perjalanan, sementara berhenti berkonflik adalah pintu masuk pertama yang harus disegerakan.

Hal yang termasuk dalam butir deklarasi itu adalah kesepakatan mengakhiri konflik, menjaga hubungan antara kedua belah pihak, serta melucuti segala bentuk organisasi bersenjata tanpa izin di Maluku. Dalam butir kesepakatan itu juga termuat masalah pengembalian pengungsi, pembentukan tim investigasi independen nasional yang antara lain untuk mengusut awal konflik, serta rehabilitasi sarana ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan keagamaan.

Oleh karena itu, tegas pula dinyatakan bahwa Deklarasi Malino II adalah kesepakatan tiga pihak. Dua komunitas yang terlibat konflik jelas merupakan pihak utama dari kesepakatan tersebut. Namun, pemerintah pun harus ditarik untuk secara aktif bertanggung jawab memenuhi kewajiban sesuai dengan deklarasi tersebut. Butir deklarasi yang ditandatangani menjadi tanggung jawab bersama, masyarakat Maluku secara keseluruhan dan juga, terutama, pemerintah.

MUNCULNYA kerusuhan di Ambon 25 April lalu mengingatkan kembali bahwa masih banyak utang yang terbawa dari Deklarasi Malino II. Meminjam istilah sosiolog dari Universita Indonesia (UI), Tamrin Amal Tomagola, terpantiknya kerusuhan di Kota Ambon, Provinsi Maluku, menunjukkan loyonya konsistensi dan determinasi pasca-Deklarasi Malino II. Perjanjian kedua kelompok yang bertikai pada awal tahun 2002 itu harus diakui bisa sejenak meredakan ketegangan antarwarga. Namun, ketenangan itu terbukti justru melenakan kesiagaan aparat keamanan di samping masih banyak persoalan laten yang dilupakan pemerintah dalam menangani persoalan yang dihadapi masyarakat Ambon pascakonflik.

Di luar faktor keteledoran aparat keamanan, Tamrin mengkritik keras kelambanan pemerintah pusat atas beberapa masalah besar yang tidak tertuntaskan pasca-Deklarasi Malino II. Masalah penanganan dan pengembalian pengungsi, pengangguran, dan terbatasnya peluang kerja merupakan "amunisi" yang sewaktu-waktu bisa meledakkan pertikaian.

Layanan kesehatan dan pendidikan kepada masyarakat yang lebih banyak dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat di satu sisi justru memancing perasaan terdiskriminasi pada kelompok tertentu. Persepsi kelembagaan yang lebih lekat pada kelompok tertentu merupakan hal yang tidak terhindarkan dan bisa memuncak ketika ada pemicunya karena segala persoalan sudah telanjur menumpukkan rasa frustrasi pada kedua kelompok.

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (waktu itu) M Jusuf Kalla yang menjadi ketua tim moderator pernah menjanjikan pemulihan Maluku diharapkan tuntas dalam setahun. Berulang kesempatan, Jusuf selalu mengedepankan keharusan menghentikan konflik di Ambon dan Maluku. Penghentian konflik menjadi mutlak untuk menyelamatkan warga Ambon dan Maluku terjerembab menjadi warga paria, miskin, dan terbelakang karena belitan konflik yang tidak berkesudahan.

Mengutip pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (waktu itu) Susilo Bambang Yudhoyono, yang merupakan salah seorang mediator dalam pertemuan tersebut, mereka yang terlibat dalam Deklarasi Malino II adalah orang-orang pemberani dan bertanggung jawab atas masa depan yang lebih baik. Meskipun belum tentu memuaskan semua pihak, dengan tetap lebih mengedepankan hati nurani, kesediaan menandatangani deklarasi merupakan bagian dari kontrak pertanggungjawaban yang harus ditaati.

Momentum penandatanganan Deklarasi Malino II sudah dua tahun berlalu. Setelah kerusuhan sempat hadir memanaskan Ambon, mari mengenang kembali jalan panjang menuju pertemuan itu sembari menghitung kembali "utang" yang belum terbayarkan seusai penandatanganan kesepakatan Deklarasi Malino II.(dik)

Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/nunusaku
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044