KOMPAS, Sabtu, 01 Mei 2004
Jusuf Kalla: Muatannya Berbeda
KERUSUHAN yang terjadi di Ambon awal pekan ini memiliki muatan berbeda dengan
konflik yang melanda daerah tersebut beberapa tahun silam. Dahulu terjadi
ketimpangan sosial yang memicu konflik SARA. Kini kerusuhan yang terjadi dipicu
oleh masalah separatisme yang digagas sekelompok kecil masyarakat.
UPAYA perdamaian Baku Bae telah memberikan hasil maksimal yang mengakhiri
tiga tahun kerusuhan sosial yang berbungkus isu agama. Sekitar 5.000 korban
meninggal dunia akibat kekerasan waktu itu. Sebagai Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Jusuf Kalla bersama Menteri Koordinator
Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Susilo Bambang Yudhoyono
mengunjungi Ambon menemui pihak yang bertikai. Kesimpulan yang diperoleh adalah
kerusuhan tersebut dipicu oleh persoalan sosial ekonomi dengan muatan politik atas
nama agama.
"Semula masyarakat Ambon Kristen hidup berkecukupan dari perkebunan cengkeh,
perikanan, dan kehutanan. Namun, mereka mendapat pukulan telak saat pemerintah
melakukan monopoli melalui BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh) di
zaman Soeharto," kata Jusuf. "Harga cengkeh dari Rp 10.000 per kilogram jatuh ke
Rp 2.500 per kilogram. Di saat yang sama masyarakat pendatang yang umumnya
beragama Islam memiliki penghidupan lebih baik sebagai pedagang. Ditambah lagi
sistem birokrasi di Ambon yang didominasi birokrat beragama Islam. Padahal, ini
tidak terlepas dari minimnya kaum terpelajar Kristen yang pulang ke kampung
halaman seusai menempuh pendidikan di Jawa."
Perekonomian warga asli dari sektor perkebunan merosot tajam, ditambah prasangka
yang berkembang di masyarakat, menjadi kesempatan bagi pihak ketiga
memanfaatkan situasi. Birokrasi di sana seolah memarjinalkan peranan warga Kristen
di Ambon.
Alhasil, terjadilah kerusuhan yang sangat diwarnai isu agama itu sehingga
mengaburkan persoalan utama: kesenjangan sosial ekonomi yang seharusnya
diantisipasi sejak dini. Dikarenakan dalam perkembangannya isu utama konflik
adalah persoalan agama, langsung diadakan pendekatan kepada tokoh agama dan
ketua masing-masing kelompok yang bertikai.
UPAYA menggalang perdamaian dilakukan secara intensif. Dalam dua pekan, Jusuf
tiga kali mengunjungi Ambon. Dia menemui para tokoh agama langsung di sejumlah
masjid dan gereja. Bahkan, beberapa kali Jusuf datang tanpa membawa pengawal
untuk menunjukkan ketulusan hati yang disambut dengan rasa haru serta tangis para
tokoh tersebut.
Berawal dari pertemuan satu pihak, berlanjut menjadi pertemuan dua belah pihak di
Ambon. Dari persetujuan awal, Jusuf membawa para tokoh ke Makassar, Sulawesi
Selatan, untuk duduk bersama membahas rencana perdamaian. Titik terang mulai
muncul. Pertemuan segera berlanjut ke tempat yang lebih sejuk: Malino.
Akhirnya, sesudah pertemuan ketujuh terhitung sejak perundingan di Ambon,
kesepakatan damai tercapai di Malino. Ambon Lease (meliputi Pulau Haruku,
Saparua, dan Nusa Laut) berangsur aman dalam dua tahun belakangan. Sebelas butir
perjanjian Maluku ditandatangani di Malino. Hal penting yang disepakati adalah
seputar keberadaan pasukan paramiliter di Maluku dari kedua belah pihak (Kompas,
13 Februari 2002).
Butir 3, 4, dan 5 secara khusus membahas persoalan tersebut. Butir tiga menyatakan
tekad menolak, menentang, dan menindak segala bentuk gerakan separatisme yang
mengancam keutuhan dan kedaulatan NKRI, antara lain RMS. Butir 4 mengatakan,
sebagai bagian dari NKRI, masyarakat Maluku berhak untuk berada, bekerja, dan
berusaha di seluruh wilayah Republik Indonesia. Begitu pula sebaliknya, masyarakat
Indonesia lainnya dapat berada, bekerja, dan berusaha di wilayah Provinsi Maluku
secara sah dan adil dengan memperhatikan dan menaati budaya setempat serta
menjaga keamanan dan ketertiban.
Adapun butir 5 menegaskan, segala bentuk organisasi, satuan, kelompok, atau
laskar yang bersenjata tanpa izin di Maluku dilarang dan harus menyerahkan senjata
atau dilucuti dan diambil tindakan sesuai dengan hukum yang berlaku. Pihak-pihak
yang mengacaukan Maluku wajib meninggalkan Maluku. Ketiga butir perjanjian itu
merupakan terobosan. Ia mencairkan kebekuan saat berlangsungnya perjanjian dua
hari di Malino, Kabupaten Gowa (77 kilometer selatan Makassar), Sulawesi Selatan.
Sebelum pertemuan, kedua belah pihak saling mengusung isu separatisme RMS dan
keluarnya Laskar Jihad dari Maluku. Pihak Islam mengatakan Laskar Jihad ada di
Maluku sebagai akibat, bukan sebab. Demikian pula pihak Kristen mengatakan RMS
yang muncul adalah sebagai akibat, bukan sebab.
Pihak Laskar Jihad mengklaim datang ke Maluku, Juni 2000, setelah kerusuhan
berlangsung satu tahun lebih. Sebaliknya, pihak Front Kedaulatan Maluku mengaku
muncul, Desember 2000, sebagai reaksi atas kedatangan milisi. Alhasil, situasi
konflik Ambon justru semakin panas.
Saat memimpin pertemuan, hujan deras mengguyur Malino, Jusuf Kalla selaku Ketua
Tim Mediator membuka pertemuan pleno dengan mengatakan, "Orang bilang hujan itu
pertanda kemakmuran dan kebahagiaan. Marilah kita bicara soal kemakmuran."
"Yang kita tanda tangani bersama juga menjadi tanggung jawab bersama,
masyarakat Maluku dan pemerintah," katanya. Jusuf pun membacakan sebelas butir
perjanjian Maluku di Malino. Kini, meski perjanjian damai telah dicapai, luka batin
akibat konflik beberapa tahun silam belum pulih secara utuh. Keadaan ini, menurut
Jusuf, rentan dimanfaatkan pihak ketiga untuk mengail di air keruh.
TANTANGAN berikut adalah memulihkan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Konflik
menghancurkan 28.000 rumah, fasilitas umum, tempat ibadah, dan pelbagai fasilitas
lain. Upaya membangun kembali tidaklah mudah. Masih banyak pengungsi asal
Sulawesi Tenggara yang belum kembali dari pengungsian. Sementara itu, pengungsi
asal Sulawesi Selatan sudah kembali ke Maluku.
Di pihak lain, kata Jusuf, pemerintah sudah membangun 21.000 unit rumah sederhana
bagi masyarakat. Tahun ini diproyeksikan pembangunan 8.000 unit rumah yang tiap
unit menelan biaya Rp 10 juta. Sejauh ini pemerintah sudah mengeluarkan Rp 200
miliar untuk membangun rumah. Kebijakan untuk menggabungkan penggunaan
fasilitas umum seperti perkantoran telah berlangsung. Para pegawai Muslim-Kristen
dapat bekerja di tempat yang sama seperti sebelum kerusuhan.
Namun, menurut sosiolog Tamrin Amal Tomagola, persoalan sosial pascakerusuhan
Ambon tak ditindaklanjuti secara serius. Besarnya angka pengangguran dan pelbagai
potensi kerawanan sosial entah bagaimana seolah dibiarkan terjadi.
Sepekan sebelum kerusuhan pecah awal minggu ini, Jusuf mengatakan mengunjungi
Universitas Pattimura di Ambon dan menyatakan keadaan sebetulnya secara umum
telah aman. Katanya, kerusuhan yang pecah awal pekan ini adalah dampak dari
tindakan kelompok kecil anggota separatis RMS. Sebetulnya semua pihak yang
terlibat dalam kerusuhan Ambon hingga kini menyatakan tidak mendukung aksi
separatisme. "Tiap tahun ada upacara pengibaran bendera RMS. Tahun ini muncul
reaksi keras, mungkin terkait pengaruh lolosnya Alex Manuputty yang sudah
mendapat vonis hukum, tetapi dapat lolos ke Amerika Serikat," kata Jusuf. "Oknum
tersebut memicu aksi teror dan kekerasan tak ubahnya Hasan Tiro."
Dia sudah menyampaikan keluhan sekaligus saran ke Duta Besar Amerika Serikat
(AS) Ralph Boyce karena keberadaan Alex Manuputty tentu mencoreng citra AS.
Tokoh separatis itu dapat hidup aman di AS. Ini menimbulkan kecurigaan masyarakat
kenapa Alex Manuputty begitu mudah meloloskan diri, dan itu memuncak dalam aksi
kekerasan terakhir.
Lagi pula, para pemimpin kelompok yang bertikai dalam kerusuhan Maluku beberapa
tahun lalu menyatakan sama sekali tidak terlibat dalam bentrokan awal pekan ini.
Namun, Jusuf Kalla menolak mengaitkan persoalan ini dengan kepentingan politik
pihak tertentu menjelang pemilihan presiden mendatang.
Dalam sidang kabinet, Jusuf telah menyarankan menggunakan undang-undang teroris
diterapkan menjerat kelompok separatis. Aksi mereka sudah ditolak semua pihak di
Maluku. Mereka tidak ubahnya dengan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
pimpinan Hasan Tiro yang mengacaukan keadaan dengan provokasinya.
"Ini hanya tindakan reaksi masyarakat yang emosional melawan perilaku arogan
kelompok separatis. Semua pihak sudah sepakat bahwa RMS adalah musuh
bersama," kata Jusuf. "Kekerasan yang pecah disebabkan oleh dendam dan
kecurigaan yang muncul kembali. Demikian pula pola segregasi pemukiman
masyarakat memudahkan terjadinya pengumpulan massa serta melakukan
provokasi."
Namun, dia optimistis situasi akan membaik dalam satu atau dua pekan mendatang.
Prinsipnya, Ambon harus diupayakan terbuka, rekonsiliasi digalang, pengungsi
dikembalikan, dan seluruh golongan mendapat perlakuan setara. Jika persoalan ini
tidak terkait dengan kerusuhan bersuasana suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA) dan sekadar aksi separatis, siapakah para penembak jitu yang
bergentayangan itu?
Bahkan, sejumlah aparat kepolisian mengatakan, penembak jitu tersebut memiliki
perlengkapan lebih canggih dibandingkan dengan mereka. Tidak ada pihak yang
mengklaim berdiri di balik aksi penembak gelap itu. Terlepas dari seluruh pertanyaan
yang muncul, patutlah kita mengingat butir pertama perjanjian Malino: "Mengakhiri
semua bentuk konflik dan perselisihan." (Iwan Santosa)
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|