KOMPAS, Rabu, 05 Mei 2004
Nila Setitik Rusak Ambon Semuanya
MOSES Tuanakotta, Sekretaris Jenderal Front Kedaulatan Maluku/Republik Maluku
Selatan (FKM/RMS), Sabtu (1/5), duduk sendiri di salah satu ruang Serse Kepolisian
Daerah Maluku.
Lelaki berperawakan tegap dengan kumis tebal dan kulit gelap itu terlihat menebar
senyum ketika wartawan hendak mengambil gambarnya. Namun, karena masalah
etika, Kepala Direktorat Serse Polda Maluku Komisaris Besar Usman Nasution tidak
mengizinkan wartawan mengambil gambarnya dari depan. Lelaki yang mengenakan
kaus tahanan Polda berwarna merah cerah itu ditempatkan terpisah dengan 36
tahanan lainnya. Termasuk di antara mereka adalah istri Pimpinan Eksekutif
FKM/RMS Alex Manuputty, Ny Holy, dan putrinya, Christine.
Tuduhan kepada para tahanan yang merupakan anggota atau pendukung FKM/RMS
itu tidak main-main. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 106 menjerat
mereka sebagai melakukan makar dengan ancaman hukuman setinggi-tingginya
seumur hidup. Menurut Kepala Polda Maluku Brigjen Bambang Sutrisno, proses
hukum terhadap para tersangka sudah dilakukan dan akan diselesaikan secepatnya.
Bahkan, bila proses hukum tidak memadai di Maluku, Kepala Polri Jenderal (Pol) Da'i
Bachtiar menyatakan siap membawa para tersangka, terutama pimpinan terasnya, ke
Jakarta.
Akan tetapi, sebagaimana sebuah organisasi, ditangkapnya Dr Alex Manuputty pada
17 April 2002 telah memunculkan pimpinan baru yang mengambil alih komando
organisasi. Setelah Manuputty ditangkap, Moses Tuanakotta mengambil alih
pimpinan. Moses, yang selama dua tahun mengendalikan organisasi, dicokok aparat
keamanan pada 25 April 2004 saat merayakan HUT Ke-54 FKM/RMS di Kudamati, di
kediaman Manuputty, yang selama ini dijadikan markas FKM/RMS. Setelah Moses
ditangkap, kini muncul Thos Talahua yang dalam keorganisasian duduk sebagai
Kepala Divisi Departemen Perikanan dan Kelautan.
Secara organisatoris, Thos sesungguhnya tidak terkait langsung dengan
kewajibannya mengendalikan organisasi. Namun, ketika orang kedua setelah
pimpinan eksekutif, yakni sekjen yang dijabat Moses tidak operasional karena Moses
tertangkap, akhirnya Thos "memegang" kendali organisasi, khususnya memberikan
keterangan kepada dunia luar.
"Perjuangan kami adalah damai dengan mendirikan RMS yang sejahtera. Untuk
memperjuangkan cita-cita, kami mendirikan FKM. Kami tidak pernah takut dengan
penguasa Indonesia di Jakarta maupun Ambon. Jadi, silakan saja kalau mereka mau
menangkap kami," kata Thos.
Thos mengaku, yang berada di belakang FKM/RMS adalah rakyat Maluku sendiri.
Menurut dia, tidak ada skenario seperti yang dikatakan Kepala Badan Intelijen Negara
(BIN) Hendropriyono bahwa negara asing berada di belakang FKM/RMS. Thos
menyebut dugaan Kepala BIN itu sebagai tanpa alasan mendasar. Dia berharap ada
intervensi internasional turun tangan, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk
mengamankan rakyat Maluku.
Mengenai kerusuhan yang dipantik perayaan HUT ke-54 FKM/RMS, Thos
menyatakan sangat prihatin dengan jatuhnya korban tewas dan luka-luka. Dia merasa
dengan kejadian ini FKM/RMS disudutkan dan dikambinghitamkan. Padahal, menurut
dia, ini adalah setting Pemerintah Indonesia sejak awal agar punya justifikasi untuk
menangkap FKM/RMS. "Perayaan itu hanya momentum yang secara cerdik dipakai
Pemerintah Indonesia," kata Thos yang mengaku sering kontak setiap saat dengan
Alex Manuputty yang kini berada di luar negeri.
Seberapa besarkah FKM/RMS? Thos mengelak menyebutkan berapa jumlahnya
dengan alasan tidak obyektif. Untuk mengetahui berapa jumlahnya, dia menyarankan
agar dilakukan jajak pendapat sendiri. FKM/RMS, menurutnya, juga tidak membuat
kartu anggota. Sebab, bila ada kartu anggota, militer Indonesia dengan mudah akan
menangkapi anggota FKM/RMS. Namun, pada saat polisi menggerebek rumah Alex
Manuputty, salah satu barang bukti yang ditemukan antara lain daftar 229 nama
anggota FKM/RMS yang disertai foto lengkap. Menurut pihak aparat keamanan, polisi
tengah meneliti nama-nama di daftar tersebut dan mempertimbangkan untuk
memburu mereka.
Apa sesungguhnya tujuan FKM/RMS? Thos mengatakan, dengan FKM/RMS
pihaknya ingin mendirikan sebuah negara yang berdaulat. Menurut dia, sesungguhnya
sudah sejak lama secara sah telah terbentuk RMS. Adapun FKM yang didirikan 18
Desember 2000 lahir di tengah rakyat Maluku yang menderita akibat konflik. "FKM
inilah yang memperjuangkan cita-cita RMS," katanya.
Thos tidak peduli dengan kenyataan di lapangan bahwa FKM/RMS berhadapan
dengan mereka yang mencintai NKRI dan umat Kristen pun banyak yang tidak setuju
dengan FKM/RMS. Namun yang jelas, katanya, FKM/RMS tidak pernah merancang
konflik dan tidak pernah menginginkan konflik terbuka dengan mereka yang mencintai
NKRI. Perjuangan yang ditempuh, menurutnya, adalah dialog dengan mediasi
masyarakat atau pihak internasional yang independen. Dia yakin dengan cara dialog
itulah bakal lahir sebuah negara yang bernama RMS.
Tentu saja cita-cita mendirikan sebuah negara dalam negara bernama Negara
Kesatuan Republik Indonesia dicibir mereka yang benar-benar mencintai NKRI ini.
Mereka yang cinta akan NKRI sampai mati sesungguhnya tidak tersekat-sekat
karena etnis, agama, ras, dan golongan sehingga berkali-kali Gubernur Maluku Karel
Albert Ralahalu menyatakan penolakan terhadap istilah pendukung FKM/RMS
melawan pendukung NKRI. "Ini murni masalah separatis FKM/RMS, bukan masalah
agama," katanya.
M Saleh Nurlete, seorang warga Ambon yang mengaku mengurus 5.000 pedagang di
Pasar Mardika, geram dengan ulah FKM/RMS yang menurutnya telah
menghancurkan kebersamaan yang selama dua tahun terbina dengan baik antara
warga Muslim dan Kristiani. Menurut dia, merebaknya konflik baru di Ambon tidak
lepas dari peran aparat keamanan yang kurang tegas menangani FKM/RMS.
"Jelas mereka (FKM/RMS) itu makar, kelompok separatis yang mau mendirikan
negara dalam negara, kok tidak ditangkap saat itu? Eh, malah dikawal lagi!"
Pada perkembangannya, satu per satu anggota FKM/RMS ini memang ditangkap dan
bahkan Kepala Polda Maluku sendiri akan terus memburu mereka yang diduga
anggota FKM/RMS. Tetapi apa lacur, nila setitik rusak Ambon semuanya. Korban
sudah terlalu banyak berjatuhan, darah sudah telanjur membasahi tanah Ambon
Manise. (PEP)
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|