KOMPAS, Rabu, 12 Mei 2004
Sulitnya Menata Kembali Kota Ambon
KERUSUHAN Kota Ambon yang dipicu perayaan Hari Ulang Tahun Ke-54 Republik
Maluku Selatan 25 April lalu harus dibayar mahal oleh Pemerintah Kota Ambon yang
selama dua tahun terakhir mulai giat menata diri.
IBARAT membangun sisa-sisa reruntuhan, membangun Kota Ambon tidak semudah
membalik telapak tangan. Ada rasa curiga di antara warga, ada keraguan investor
yang menuntut rasa aman dan percaya diri, juga ada kesumat di antara warga.
Bagaimana pun, aparat Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon harus menangani semua
kerepotan ini dalam upayanya menjalankan amanah rakyat.
Dalam dua tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Kota Ambon menunjukkan angka
mengesankan. Bila pada awal terjadi konflik tahun 1999 pertumbuhan ekonomi 2,27
persen, pada tahun 2003 melesat menjadi 3,31 persen.
Bila sulit mengukur indikator kemajuan ekonomi dari sekadar angka pertumbuhan
ekonomi, tengok saja Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Ambon. Tahun 2000,
misalnya, PAD Kota Ambon "hanya" Rp 400 juta. Namun, pada tahun 2001 PAD
Kota Ambon meningkat menjadi Rp 4 miliar, dan meningkat dua kali lipat di tahun
2002 menjadi Rp 8 miliar, serta pada tahun 2003 melesat lagi menjadi Rp 11,4 miliar.
"Bila tak ada kerusuhan baru, kami memprediksi untuk tahun 2004 meningkat lagi
menjadi Rp 14 miliar. Asumsinya memang tahun 2004 ini adalah tahun pemulihan
ekonomi kota" kata Wali Kota Ambon Jopie Papilaja, Selasa (11/5). "Tetapi, dengan
situasi seperti ini, investor yang sudah dalam taraf penyelesaian administrasi dan
perbankan, sekarang wait and see lagi, bahkan sudah ada yang membatalkan."
Akibat kerusuhan memang bisa berimbas pada segala hal. Dari persoalan pengungsi,
melemahnya perekonomian, hingga menyisakan masalah-masalah sosial lain.
Contoh kecil soal sampah. Kalau Anda berani jalan-jalan ke Kota Ambon dan
sekitarnya, yang menjadi pemandangan sehari-hari adalah bertumpuknya sampah di
sudut-sudut Kota Ambon.
Sampah bertumpuk di mana-mana, seperti di wilayah penampungan pengungsi
Gedung THR Waihaong, ruas jalan menuju Waringin, di Batugantung dan Kudamati.
Belum lagi yang dekat-dekat dengan pusat perkantoran dan pemerintahan.
Pemkot Ambon menangani sampah dengan menggunakan cara-cara darurat. Pemkot
Ambon memang memiliki truk sampah. Namun, persoalannya, mobil pengangkut
sampah tidak bisa lewat ke jalan-jalan tertentu. Sopir angkutan sampah baru berani
mengangkut sampah setelah ada jaminan keselamatan dari aparat keamanan.
Karena itu, kunci dari semua aktivitas warga kota adalah rasa aman.
Solusi darurat untuk mengatasi sampah sekarang adalah operator yang menjalankan
truk-truk sampah terpaksa hanya beroperasi di kawasan masing-masing.
Akan tetapi, tetap saja jumlah sampah menumpuk pada saat tempat pembuangan
akhir (TPA) juga bersifat darurat. Dulu TPA ada di Airkuning di kawasan Galunggung.
Namun, karena sekarang sudah ada permukiman baru, TPA di wilayah ini sudah tak
ada. Sekarang untuk darurat TPA ada di kawasan Kudamati di Gunungnona. Itu pun
bukan TPA resmi.
Pemkot Ambon sekarang sedang menjajaki TPA alternatif di Kate-kate. Dalam
keadaan normal, Kota Ambon setiap hari menghasilkan 400 ton sampah. Akan tetapi,
anehnya, setelah terjadi konflik, produksi sampah malah lebih dari 400 ton setiap
harinya.
Prioritas penataan
Menurut Papilaja, membangun dan menata kembali Kota Ambon sebagaimana yang
telah dijalankan selama dua tahun terakhir adalah membangun dulu manusianya serta
menata dan mengelola aspek psikologis sosial warga kota.
Namun, Papilaja mengakui ada faktor yang, menurut dia, sangat membantu, yakni
pusat konflik sekarang hanya di Kota Ambon. Itu pun radiusnya hanya satu kilometer
persegi, yakni di Batugantung, Waringin, dan Taleke. Terlebih lagi, konflik sekarang
ini bersifat vertikal, yakni oleh sekelompok warga yang menamakan diri Front
Kedaulatan Maluku/Republik Maluku Selatan (FKM/RMS) melawan pemerintah. Ini
sedikit membantu meski diakui ada upaya untuk menggiring konflik ke arah konflik
horizontal atau antarwarga.
Persoalan yang harus diselesaikan dalam waktu sesegera ini adalah
kebutuhan-kebutuhan pokok bagi sedikitnya 13.000 pengungsi. Pemkot Ambon
memang terlihat selalu ngotot dalam soal penanganan pengungsi ini, tetapi tidak
ditanggapi secara wajar dan proporsional.
Akibatnya, penanganan pengungsi terkesan asal-asalan sebab diurus Pemerintah
Provinsi (Pemprov) Maluku lewat pos komando penanggulangan pengungsi.
Menangani pengungsi, kata Papilaja, pendekatannya jangan terlalu kaku. Pengungsi
di Ambon memiliki karakteristik berbeda karena bukan pengungsi akibat bencana
alam.
Persoalan pengungsi di Kota Ambon adalah bagaimana menjadikan pengungsi hidup
rukun saat dikembalikan ke tempat asalnya. Ini diperlukan sentuhan kultural dan
psikologis yang tidak hanya membangun rumah buat pengungsi.
Ada juga masalah lain, yakni pengungsi yang tidak bisa kembali ke lokasi asal. Ini
pun tidak mendapat porsi memadai. Pemprov, misalnya, menyatakan serahkan saja
kepada mereka, yakni pengungsi itu sendiri. Namun, menurut Papilaja, ini tak bisa
dilakukan begitu saja sebab warga masih mudah terprovokasi. Pada dasarnya,
mereka tidak bisa atau sulit menata kehidupannya secara manusiawi.
Pemkot Ambon sendiri terkesan tidak berdaya menangani pengungsi sebab tidak
memiliki otoritas apa pun. Otoritas anggaran, misalnya, ada pada pemprov.
Dalam penyelesaian konflik Ambon ini, terjadi konflik kepentingan antara pemkot dan
pemprov.
Karena Kota Ambon memiliki karakteristik sendiri akibat konflik, saat ini sedang
dipersiapkan suatu skenario baru untuk menata kembali Kota Ambon yang bertumpu
pada pembangunan berdimensi damai.
Caranya, mengidentifikasi dulu penyebab konflik, faktor yang dapat mendukung
percepatan konflik misalnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), lalu pembangunan
kembali masyarakat korban konflik. Pembangunan fisik juga dipersiapkan, namun
lebih mendukung terapi sosial, seperti membangun jalan lingkungan dan saluran air di
permukiman.
"Kalimat sederhananya, bila dalam infrastruktur lingkungan tidak memadai, maka
akan terjadi rasa putus asa. Tetapi, bila diperbaiki, ada proses pencerahan karena
warga merasa diperhatikan," papar Papilaja.
Rakyat Kota Ambon sesungguhnya hanya menuntut tiga hal. Pertama, harapan
bahwa kedamaian dan perdamaian ada dan terjamin kelangsungannya. Kedua,
perhatian terhadap apa saja kebutuhan warga kota, baik fisik maupun nonfisik, bukan
kebutuhan birokrat, melainkan kebutuhan yang diperlukan rakyat. Ketiga, kejujuran
dan kesungguhan semua pihak untuk membangun Kota Ambon. (PEPIH NUGRAHA)
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|