The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

KOMPAS


KOMPAS, Jumat, 21 Mei 2004

Dari Passo dan Tulehu
"Perang" Tidak Menyelesaikan Masalah

KERUSUHAN yang merebak di Ambon beberapa saat setelah aksi pengibaran bendera Republik Maluku Selatan sempat membuat penduduk Desa Waai panik. Padahal, baru sekitar tujuh bulan mereka kembali ke desanya setelah hampir empat tahun hidup di pengungsian. Saat mereka melarikan diri dari desanya, rumah mereka dijarah, dibakar, dan diratakan dengan tanah. Tanaman perkebunan dihancurkan. Sebuah cara saling menghancurkan yang lumrah bagi masyarakat di Maluku dalam konflik antardua kelompok warga yang bertikai sejak tahun 1999.

KAMI trauma dengan peristiwa 1999. Ketika kami mendengar Ambon rusuh lagi, ada yang sudah mulai angkat-angkat barang," kata Simon Kayadoe (47).

Sekitar 6.000 warga desa itu mengungsi pada Juli 2000 setelah mendengar desa mereka akan diserang. Mereka lari ke hutan, memotong bukit, menuju Desa Passo. Perjalanan itu ditempuh selama dua hari. Bagi anak-anak dan orang tua, perjalanan itu menempuh waktu seminggu. Di hutan mereka sempat diserang. Tidak kurang dari 24 orang tewas selama perjalanan yang melelahkan dan menegangkan itu. Sebagian tewas jatuh masuk jurang, sebagian lagi tewas kena tembak. Bagi mereka tidak ada lagi terpikirkan untuk menyelamatkan harta benda.

"Kompor, bahkan beras pun, terpaksa dibuang di perjalanan. Kami hanya minum air sungai dan makan apa yang bisa ditemukan di hutan," kata Kayadoe.

Tidak heran begitu mendengar konflik meletup lagi di Ambon, 25 April 2004, mereka mulai segera bersiap-siap meninggalkan kembali desa yang baru mulai dibangun kembali. Akan tetapi, saat mendengar warga Waai hendak mengungsi, raja-raja dari desa Muslim di sekitarnya meminta agar mereka tidak meninggalkan desa itu dan menjamin keselamatan mereka. Keyakinan itu makin kuat setelah raja-raja dari empat desa Muslim di sekitarnya datang bersama-sama ke Waai untuk meyakinkan warga bahwa keselamatan mereka akan dijamin

"Waktu dorang singkirkan barang-barang, justru orang Tulehu marah. Kami tidak boleh mengungsi," kata Ny Martje, guru SD negeri di Waai.

Inisiatif untuk melindungi warga Waai dan Suli merupakan inisiatif raja-raja di Kecamatan Salahutu. Belajar dari konflik 1999, mereka mengembangkan komunikasi di antara para raja yang diangkat sebagai kepala desa. Ada enam desa di Kecamatan Saluhutu, terdiri atas empat desa berpenduduk Muslim: Tulehu, Liang, Tial, dan Tengah-Tengah; serta dua desa berpenduduk Kristen: Waai dan Suli. Waai diapit dua desa Muslim, Tulehu dan Liang. Tulehu merupakan ibu kota kecamatan sehingga sekaligus merupakan pusat kegiatan pendidikan, ekonomi, dan pelabuhan yang menghubungkan Ambon dengan pulau-pulau lain di sekitarnya. Dalam hitungan pragmatis, bila keselamatan warga Waai tidak dilindungi, warga dari empat desa juga tidak akan tenang karena mereka juga bertetangga dengan desa-desa yang berpenduduk Kristen.

"Kami raja-raja di Salahutu langsung ambil inisiatif. Apalagi beberapa warga Waai mulai mengungsi. Kami bersama- sama ke Waai untuk memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat di sana. Mereka tidak perlu resah dengan kejadian di Ambon," kata Raja Tulehu Jhon Ohorella.

Pada tanggal 30 April di Balieo Tulehu enam raja Salahutu menandatangani kesepakatan bersama untuk tetap menjaga perdamaian di wilayahnya dan bersama- sama mengutuk gerakan Front Kedaulatan Maluku/Republik Maluku Selatan (FKM/RMS). Kesepakatan yang dirintis dari bawah itu dihadiri oleh Bupati Maluku Tengah.

"Kami ingin menjaga wilayah ini tetap stabil karena kalau di sini terganggu, seluruh Ambon akan terganggu. Kalau sudah begitu, rakyat kecil yang paling merasakan keterpurukan," kata Ohorella.

KESEPAKATAN raja-raja di Salahutu itu sangat penting artinya untuk meredam kerusuhan yang terjadi di Kota Ambon. Di Desa Passo yang merupakan basis masyarakat Kristen juga memilih bersikap sama. Raja Passo Ny Theresia Maitimu sejak lama telah melakukan gerakan rekonsiliasi baku bae dengan raja- raja di jazirah Leihitu. Desa Wayame yang terletak delapan kilometer dari Bandar Udara Pattimura juga merupakan desa yang mengambil jarak dengan konflik. Titik-titik perdamaian itu dapat mengisolasi konflik di Ambon agar tidak melebar ke seluruh Pulau Ambon. Bila Passo dan desa-desa Muslim di Salahutu dan Leihitu bergerak, warga di pulau-pulau lain pun kemungkinan besar akan kembali bergolak.

Menurut Bob (55), warga Desa Hutumury yang penduduknya beragama Kristen, kerusuhan yang terjadi di Kota Ambon tidak berpengaruh sama sekali pada warga di desanya. "Orang-orang dari Tulehu sering melalui jalur ini dan tidak pernah diganggu," ujarnya.

Sejak kerusuhan menyusul peristiwa 25 April, Maimutu terus berjaga sampai dini hari. Menjelang 25 April, ia bersama masyarakat bekerja keras menjaga agar jangan sampai ada bendera RMS berkibar di desanya. Bendera itu bisa menjadi alasan bagi sekelompok orang untuk mengobarkan kerusuhan baru di Ambon. Satu bendera RMS memang sempat berkibar, tetapi langsung diturunkan. Di saat seperti ini, tiap hari ia berkeliling mengontrol penjagaan keamanan di desa, khususnya di daerah perbatasan sampai pukul 02.00 atau 03.00 dini hari.

Maimutu terus melakukan pendekatan ke Desa Waai dan Tulehu agar bisa mengamankan jalur darat di wilayah itu. Dari Passo mereka bisa melalui jalan gunung sampai ke Kota Ambon. Theresia juga mencoba membuka komunikasi dengan Raja Batumerah agar barikade yang memisahkan Passo dan Batumerah bisa dibuka kembali. Apalagi kedua desa memiliki hubungan persaudaraan. Bila jalur itu terbuka, sebagian besar jalur darat di Pulau Ambon akan kembali normal.

"Kami tidak bisa cepat-cepat membuat kesepakatan. Harus pandai-pandai membaca situasi. Baik di Passo maupun Batumerah memiliki banyak warga pendatang," kata Maimutu.

Dari Tulehu ke Ambon, dalam kondisi normal, warga hanya membutuhkan ongkos angkutan sebesar Rp 5.000. Akan tetapi, dalam kondisi saat ini, warga harus mengeluarkan biaya antara Rp 30.000 sampai Rp 40.000 untuk menjangkau kota. Itu pun harus melalui perjalanan yang melelahkan dengan berganti-ganti mobil dan perahu cepat.

"Sudah cukup konflik di Ambon yang berlangsung selama empat tahun," kata Maimutu.

KONFLIK yang meletup kembali di Ambon makin memperpanjang derita masyarakat di wilayah itu. Egmon Lopulissa (35) mengungsi dari Poka ke Lateri setelah desa mereka diserang pada pertengahan tahun 1999. Bengkel tempat ia bekerja habis terbakar. Sejak itu ia hidup tanpa pekerjaan di tempat pengungsian. Setelah dua tahun situasi berjalan aman, ia dan keluarganya memutuskan untuk kembali ke desa. Belum sampai tiga bulan ia balik ke desanya, konflik kembali terjadi di Ambon.

"Beta perkirakan keadaan sudah aman. Tahu-tahu ada insiden lagi," kata Egmon, yang kini mengungsi di bekas gudang cengkih UD Rimba Raya di Passo, Ambon.

Menjelang 25 April, situasi di desanya mulai tegang. Pada 23 April, terjadi insiden pada saat pembagian bahan bangunan rumah dari pemerintah yang menghadapkan dua komunitas berbeda agama. Seorang tewas. Sehari sesudahnya warga yang baru tiga bulan kembali dari pengungsian itu kembali menyingkir, apalagi mereka mendengar akan ada aksi pengibaran bendera RMS keesokan harinya.

"Kami tidak mau konyol. Tanpa jaminan keamanan, kami tidak akan kembali lagi ke desa kami semula," kata Egmon.

Siti Fatimah (30) bersama tiga anaknya harus kembali ke barak pengungsian di THR Waihong. Ia harus kembali hidup berdesak-desakan bersama ratusan pengungsi lain yang memenuhi tempat pengungsian itu. Sejak konflik pertama meletus di Ambon, ia telah mengungsi dari perumahan di Waringin. Setahun lalu mereka kembali ke tempat asal setelah pemerintah membangun kembali 180 rumah yang pernah rata dengan tanah.

"Sudah setahun ini semua berjalan aman. Kami bisa berkomunikasi dengan warga Kristen seperti biasa. Duduk sama-sama, pergi belanja ke sebelah. Tahu-tahu terjadi lagi," kata Fatimah.

Ohorella menyatakan kekesalannya mengapa pemerintah dan aparat keamanan seolah-olah tak bisa mencegah ulah sekelompok orang yang melakukan pengibaran bendera RMS. Ia heran pada tahun 1960-an tidak pernah ada upacara-upacara RMS, tetapi sekarang itu terus terjadi. Aparat, kata Ohorella, semestinya bersikap tegas. Tidak boleh lagi ada demo-demo gila dan pengibaran bendera RMS.

"Ini kan negara. Tidak bisa ada ritual pengibaran bendera RMS tiap tahun," kata Ohorella.

Akan tetapi ia juga tidak setuju apabila aksi segelintir orang diselesaikan dengan mengobarkan aksi kekerasan baru di Maluku.

"Perang tidak akan menyelesaikan masalah. Sepanjang Indonesia masih merupakan negara, tidak ada lagi penyelesaian dengan kekerasan. Semua persoalan harus diselesaikan secara hukum. Bila Maluku tidak aman, Indonesia juga tidak akan stabil. Pemerintah, berpikirlah. Berapa kali sudah membangun-membangun, tetapi semua begini lagi…," kata Ohorella. (P Bambang Wisudo)

Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/nunusaku
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044