KOMPAS, Jumat, 21 Mei 2004
Satu Kilometer Sepanjang "Jalur Gaza" Ambon
"WARGA kami tidak ikut turun ke Ambon. Kami hanya melihat saja karena konflik itu
hanya satu titik. Ini bukan soal agama seperti tahun 1999, tetapi semata-mata soal
RMS," kata Abdulrahim Nasela, tetua Desa Hitu Messeng, yang menjadi salah satu
pusat pemerintahan dan penyebaran agama Islam di Pulau Ambon pada masa lalu.
SATU titik yang disebut Nasela tidak lain adalah ruas jalan sepanjang satu kilometer
di kawasan Waringin Talake, salah satu wilayah perbatasan komunitas Muslim dan
Kristen di Ambon. Di situ pertempuran sengit terjadi antarwarga kedua komunitas
selama hampir seminggu sejak hari pertama kerusuhan terbaru di Ambon, yang
dipicu aksi pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS), 25 April 2004. Dari
aksi lempar batu, serang-menyerang dengan senjata tajam, batu, dan bom molotov,
tembakan senapan dan rangkaian bom rakitan berlangsung berhari-hari sejak Minggu
(25/4) sore. Di situ pula korban sasaran sniper berjatuhan.
Jamil (15) menceritakan, saat ia ikut melakukan penyerangan di Waringin, seorang
kawannya jatuh terkena tembakan sniper di kepala. Beberapa saat setelah itu peluru
mengenai anggota tubuh kirinya. "Pas merayap ada tembakan susulan, tetapi tidak
ada yang kena," tutur Jamil. Hari itu sekitar 10 orang tewas. Sejumlah anak terkena
luka bakar yang cukup parah di sekujur tubuh saat sebuah bom molotov menerjang
drum penyimpanan minyak dan meledak.
Kawasan Waringin-Talake merupakan tempat permukiman padat. Sejumlah sekolah
berlokasi di situ. Termasuk kantor alternatif gubernur yang menempati gedung
Telkom. Sebelum aksi peringatan RMS, gubernur telah menginstruksikan dinas-dinas
untuk mengosongkan tempat itu. "Ada satu dinas yang tidak mau mendengar
instruksi saya," kata Gubernur Maluku Karel Ralahalu.
Di Kawasan Waringin, Talake, Batu Gantung, itu ratusan rumah warga terbakar. Juga
terbakar dua sekolah, salah satunya, SMA Muhammadiyah, dan gedung Universitas
Kristen Indonesia Maluku (UKIM). Beberapa waktu setelah pertempuran reda, daerah
itu masih menjadi sasaran aksi. Dua orang ditangkap, Abaye (29) dan Ruslan (32), di
kawasan tersebut karena kedapatan membawa bom. Pada siang hari kawasan itu
sunyi sepi, hanya ada aparat yang berjaga- jaga. Sampai saat ini pada malam hari
kawasan itu gelap gulita. Warga bergerombol di luar jalur yang pernah menjadi medan
pertempuran itu.
Korban akibat kerusuhan pasca-aksi pengibaran bendera RMS, 25 April, begitu besar.
Sedikitnya 38 orang tewas, 200 orang luka-luka, dan ribuan orang kembali
mengungsi. Tercatat pula sebuah universitas dan tiga gedung sekolah, dua tempat
ibadah, gedung perwakilan Perserikatan Bangsa Bangsa, dan 536 rumah penduduk
hangus terbakar. Kerusuhan itu juga mengakibatkan terputusnya kembali interaksi
antara komunitas Muslim dan Kristen di Ambon yang sudah berlangsung hampir dua
tahun. Bahkan, pasar transaksi yang menghubungkan penghidupan antara
masyarakat Muslim dan Kristen di Ambon sampai hari ini tidak bisa berjalan.
APA jawaban pemerintah terhadap kerusuhan itu? Seminggu setelah kerusuhan,
Pemerintah Daerah Provinsi Maluku mengajukan proposal biaya penanganan
pascakonflik sebesar Rp 1,59 triliun. Proposal itu disampaikan Karel Ralahalu kepada
pemerintah melalui Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah yang berkunjung ke Ambon,
Selasa (4/5). Pemerintah pusat kemudian setuju mengucurkan dana pemulihan
konflik sebesar Rp 33 miliar. Tambahan personel militer dan Brimob pun kembali
dikirim. Hampir-hampir tidak ada upaya pemerintah untuk menyelidiki atau
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Rencana aksi pengibaran bendera RMS di rumah dr Alex Manuputty pada 25 April
begitu terang benderang. Menjelang 25 April, Maluku dinyatakan dalam siaga I.
Sebanyak 560 personel Kepolisian Daerah (Polda) Maluku dan 430 personel Kodam
XVI Pattimura disiagakan. Pada bulan Maret, Pangdam Pattimura Mayor Jenderal
(Mayjen) TNI Syaifudin Summah telah membuat pernyataan bahwa pihaknya telah
menyiagakan pasukannya dan "tidak mau kecolongan bila RMS melakukan hal-hal
yang mengacaukan keutuhan negara". Akan tetapi, sebuah bendera RMS, Jumat
(23/4), berkibar di dekat pos Arhanud 11 TNI AD di Karang Panjang, Ambon. Di
Polda, setelah insiden itu, kepada pers, Syaifudin menyatakan telah
menginstruksikan tembak di tempat bagi mereka yang tertangkap basah melakukan
pengibaran bendera RMS.
Upacara pengibaran bendera memperingati 54 tahun RMS tetap bisa berjalan. Hampir
dua jam bendera berkibar di halaman rumah Alex. Tidak ada tembak di tempat, tidak
ada penindakan segera. Yang terjadi justru iring-iringan massa bersama para
simpatisan dan pendukung Front Kedaulatan Maluku/Republik Maluku Selatan
(FKM/RMS) mengikuti Sekjen FKM/RMS Moses Tuanakotta yang digiring dari
Kudamati ke Polda Maluku. Seluruh yel-yel, lagu-lagu, dan bendera RMS menyertai
iring- iringan itu sehingga tidak salah bila segera berkembang isu bahwa Polda
mengamankan pawai RMS. Pawai itu mengakibatkan munculnya massa tandingan di
kalangan komunitas Muslim di Ambon. Itu tidak terlalu mengherankan karena selama
empat tahun konflik Maluku, keberadaan RMS dicoba dikaitkan dengan warga Kristen
melalui pelabelan Kristen-RMS.
Ketika iring-iringan massa dan pendukung FKM/RMS balik dari Polda, massa yang
membawa bendera merah putih menghadang dari wilayah permukiman Muslim di
perempatan Tugu Trikora. Di situ bentrok terjadi. Mula-mula hanya lempar-lemparan
batu, kemudian terjadi pembakaran kios bahan bakar, tetapi segera terdengar
rentetan tembakan dan aksi para penembak jitu. Ketika korban berjatuhan, serentak
kerusuhan itu menyebar ke beberapa tempat di Ambon, seperti Poka, Mardika,
Talake, dan Pohon Pule.
Konflik yang terjadi tidak bisa disederhanakan dengan penjelasan konflik antara
pendukung RMS dan pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dimensi-dimensi konflik komunal berlatar belakang agama masih sangat kental.
Dalam waktu singkat, komunitas Muslim dan Kristen kembali berhadap-hadapan di
perbatasan permukiman kedua komunitas di hampir seluruh wilayah di Ambon.
Penyerangan kapal Doloronda yang menyebabkan tiga orang tewas, 18 luka-luka, dan
beberapa lainnya hilang tidak ada hubungan sama sekali dengan urusan FKM/RMS.
Disusul kemudian dengan peristiwa pembakaran Gereja Nazaret dan sejumlah rumah
penduduk di Karangpanjang, Rabu (28/4) sekitar pukul 03.00 dini hari.
UPAYA pihak-pihak tertentu untuk mengobarkan lagi konflik Maluku telah kandas
sekalipun ada usaha-usaha untuk memperluas konflik yang terjadi pasca-aksi
pengibaran bendera RMS. Di Pulau Buru, sejumlah orang tidak dikenal melakukan
penembakan ke arah penduduk dengan menggunakan perahu cepat. Dua orang tewas
dan enam lainnya luka- luka. Penembakan juga terjadi di Latuhalat yang
menyebabkan seorang luka-luka. Desas- desus akan ada penyerangan hampir tiap
hari terdengar, bunyi bom sesekali terdengar di malam hari, tetapi provokasi
semacam itu tidak lagi memancing amarah massa.
Sr Brigitta Renyaan, aktivis perempuan yang terlibat dalam kegiatan resolusi konflik di
Maluku, mengatakan bahwa ia sempat kecewa karena masyarakat di Ambon bisa
dengan mudah ditarik kembali dalam konflik. Masyarakat Ambon, kata Brigitta,
memang dijebak untuk ikut dalam konflik karena begitu kuatnya isu disertai ancaman
kekerasan. Akan tetapi, menurut dia, respons masyarakat tidak seperti dulu.
Masyarakat pada dasarnya telah jenuh dan lelah dengan situasi konflik.
"Situasi sekarang jauh berbeda dengan konflik pada tahun 1999. Dulu serangan
terjadi terus-menerus, siang malam, tanpa berhenti. Sekarang kekerasan memang
terjadi, tetapi hanya sekali-sekali dan cepat berhenti," kata Renyaan.
Berbagai spekulasi muncul mengapa konflik di Ambon meletup lagi hanya gara-gara
aksi sekelompok orang yang melakukan aksi pengibaran bendera RMS. Aksi itu
hampir rutin dilakukan tiap tahun dan pemerintah tidak menumpas gerakan itu
sekalipun gerak-gerik tokoh FKM/RMS begitu mudah ditangkap oleh masyarakat
awam. Puluhan aparat intelijen dari Kopassus masih diterjunkan di Ambon. Institusi
kodam telah kokoh berdiri, gubernurnya pun punya latar belakang militer. Di kalangan
masyarakat Ambon berkembang berbagai macam analisis konspirasi, seperti
kerusuhan ini dibuat sebagai alasan pemberlakuan darurat militer karena status
darurat militer di Aceh akan disudahi. Ada yang mengaitkan kerusuhan terakhir
sebagai upaya untuk mendiskreditkan pasangan calon presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Ada pula yang mengaitkannya dengan upaya untuk
meyakinkan calon pemilih di tingkat nasional, presiden kelak harus di tangan militer
bila ingin Indonesia aman.
Jacky Manuputty, Sekretaris Pusat Pengendalian Krisis Gereja Protestan Maluku,
mengatakan bahwa asumsi dan analisis yang berkembang di tengah masyarakat
sah-sah saja sepanjang tidak ada klarifikasi.
"Asumsi itu bisa benar atau keliru. Sejauh ini memang tidak ada upaya pemerintah
untuk melakukan klarifikasi mengapa konflik bisa begitu cepat terpicu dan
berkembang," ujarnya.
Fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan memang terjadi pembiaran aksi
pengibaran bendera RMS pada 25 April dan kerusuhan yang menyusul setelahnya.
Aparat militer, kepolisian, maupun pemerintah daerah persis mengetahui rencana aksi
itu dan kemungkinan bentrokan di masyarakat yang di timbulkannya. Tokoh-tokoh
FKM/RMS telah membuat pernyataan terbuka di media massa lokal, sebaliknya juga
beberapa tokoh Muslim yang kemudian membentuk posko Anti-RMS. Pada saat
bendera dikibarkan, arak-arakan massa dan pendukung RMS, sampai bentrok terjadi,
hanya segelintir aparat yang terjun di lapangan. Tidak ada gas air mata dan peralatan
pengendali huru-hara disiapkan, tetapi peluru tajam. Wajar kalau muncul tudingan
bahwa pemerintah seolah-olah telah membiarkan semua terjadi dengan semua akibat
yang ditimbulkannya, termasuk 38 nyawa melayang sia-sia.
Pembiaran dan tidak adanya penegakan hukum, pengungkapan kebenaran dalam
konflik Maluku juga disorot oleh sejumlah aktivis resolusi konflik, para peneliti, dan
tokoh Maluku, dalam diskusi tertutup yang diselenggarakan Pusat Penelitian Politik
LIPI, Aliansi Jurnalis Independen, dan Institut Titian Perdamaian di Jakarta, 31 April
2004. Direktur Eksekutif Institut Perdamaian Ichsan Malik menyatakan bahwa konflik
di Ambon meletup lagi karena tidak berjalannya proses penegakan hukum, sistem
komunikasi dalam masyarakat yang macet, dan agenda penanganan pascakonflik
terbengkalai.
"Tidak ada proses belajar selama empat tahun konflik yang membuat masyarakat
Maluku hancur lebur," kata Ichsan.
Dugaan keterlibatan oknum militer dalam kerusuhan pasca-25 April sangat kuat.
Dalam peristiwa pembakaran Gereja Nazaret dan sejumlah rumah warga di
Karangpanjang, sejumlah saksi menunjuk keterlibatan sejumlah oknum aparat militer
dari Arhanud 11 TNI-AD. Warga di Hative Kecil, Ambon, memergoki tiga aparat dari
kesatuan tersebut berfoto ria dengan menggunakan bendera RMS. Di Tanah Tinggi,
seorang pemuda diminta berpose dengan M-16 dan diedarkan di wilayah komunitas
Muslim dengan menyebutnya sebagai "rambo RMS". Tiga peristiwa yang diduga
melibatkan aparat dari kesatuan tersebut menjadi catatan resmi Pusat
Penanggulangan Krisis GPM.
Pangdam Pattimura Mayjen Syarifudin Summah menyatakan bahwa tindakan tiga
oknum Arhanud 11 hanyalah action belaka. Tiga aparat militer dari Arhanud 11 itu
bersama komandan kompi akhirnya ditahan di Pomdam XVII Pattimura untuk
diproses lebih lanjut. Beberapa hari setelah itu, Koptu Benyamin Yakob Sinay dari
Kodim 1504 Ambon juga ditangkap karena terlibat dalam kegiatan FKM/RMS.
Suriadi, aktivis Posko Anti- RMS, menyatakan bahwa mereka memercayakan kepada
TNI-Polri untuk menuntaskan persoalan FKM-RMS sampai ke akar-akarnya. Akan
tetapi, Suriadi juga mengancam apabila TNI-Polri sampai batas waktu yang
ditetapkan tidak bisa menyelesaikan persoalan, mereka akan melakukan
penyelesaian dengan cara mereka sendiri. Posko Anti-RMS yang dipimpin Salim
Bahasoan yang diberi jabatan sebagai panglima juga mengeluarkan pernyataan "tidak
ada kata damai bagi umat Islam dalam bentuk apa pun sepanjang FKM-RMS belum
dilibas atau ditumpas oleh TNI-Polri".
Macetnya pasar transaksi di Ambon pascaperistiwa 25 April juga tidak lepas dari
seruan Posko Anti-RMS yang menyatakan "dilarang keras bagi umat Islam
bertransaksi dengan umat Kristen (FKM-RMS) dalam bentuk apa pun".
Di tengah gencarnya seruan-seruan itu, belum ada langkah yang serius dari
pemerintah untuk menangani konflik yang kembali terjadi di Ambon, termasuk
penanganan gerakan FKM-RMS. Tidak ada keinginan untuk mengungkap kebenaran
atas apa yang terjadi. Semua dibiarkan menjadi tanda tanya, dan itu pula yang
dieksploitasi oleh sekelompok orang untuk memperpanjang konflik di negeri seribu
pulau itu.
Di saat situasi belum pulih, empat aktivis FKM/RMS kabur dari tahanan Polda
Maluku. Pada Selasa (18/5) tiba-tiba saja sebuah bendera RMS diterbangkan ke
udara dengan balon. Itu pula yang menjadi salah satu pemicu aksi unjuk rasa dan
pemasangan barikade yang dilakukan Posko Anti-RMS di Jalan AY Patti, Ambon.
Pertempuran sepanjang satu kilometer di Waringin-Talake lagi-lagi menyandera
seluruh warga Ambon. (P Bambang Wisudo)
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|