KOMPAS, Jumat, 30 April 2004
Ambon, Korban Kegagalan Negara
Oleh Tamrin Amal Tomagola
TERCENUNG, terpekur. Dengan mata kosong, penulis mengeja kalimat demi kalimat
dalam berita utama Kompas, Kamis (29/4), di halaman pertama tentang "hasil
kunjungan" para jenderal Polkam ke Ambon yang "hanya sampai" di bandara.
Ternyata, nyali keempat jenderal itu sama ciutnya seperti Megawati, yang juga
terhenti langkahnya di bandara ketika ia sebagai Wakil Presiden mengunjungi Ternate
di tahun 2000.
Megawati masih dapat dimaklumi karena ia seorang sipil dan perempuan pula.
Keempat jenderal politik dan keamanan (Polkam) itu sungguh berbeda dengan mentor
mereka, Jenderal Besar Soeharto. Mantan Ajudan Panglima Besar Jenderal
Soedirman tersebut tanpa ragu mencemplungkan diri ke dalam tank dan langsung
membelah medan perang Bosnia yang ganas dan sama sekali tak bisa diduga.
Kelompok separatis Front Kedaulatan Maluku/Republik Maluku Selatan (FKM/RMS)
dengan "gertak Ambon" mereka berhasil menciutkan nyali para jenderal Polkam.
Ibuku Pertiwi, ke mana lagi beta mesti berpaling? Luka dan bisa sudah demikian
mendera rakyat Ambon. Di antara deraian air mata, beta berdoa: Tuhan tempatku
mengadu, di pintu-Mu beta mengetuk: ampunilah para punggawa negara yang bukan
hanya gagal melindungi warganya, tetapi juga takut menjenguk mereka.
Sungguh memprihatinkan bila, setelah lebih dari tiga tahun Alex Manuputty dengan
Neo-RMS-nya-Forum Kedaulatan Maluku-bergentayangan di Ambon dan Seram, baru
sekarang dipermaklumkan bahwa telah tercapai kesepakatan bersama yang
memvonis gerakan sepatis FKM/RMS sebagai musuh bersama. Aneh, sebab sesuai
dengan nama dan fungsi aparat negara, lembaga ini tidak membutuhkan konsensus
sosial atau politik. Baginya yang ada hanya satu: perintah dari presiden untuk
mempertahankan keutuhan negara. Diminta atau tidak diminta, begitu wujud negara
konstitusional terancam kelangsungannya, seorang prajurit hanya dan harus
menunggu perintah presiden untuk bertindak.
Mengapa selama ini tidak ada tindakan tuntas berkesinambungan yang menyeluruh?
Desa tempat bermukim para separatis itu sudah sejelas tapak tangan kita
masing-masing. Mengapa harus membiarkan tiga tahun berlalu tanpa tindakan yang
signifikan? Lebih buruk lagi, Alex Manuputty dapat dengan mudah lolos ke Amerika
Serikat! Janganlah berang bila di masyarakat luas, khususnya di Ambon, beredar
persepsi bahwa gerakan tersebut dan gerakan-gerakan lain di luar kerangka
konstitusional memang sengaja dibiarkan dan dipelihara untuk agenda-agenda
tersembunyi yang tetap gelap bagi masyarakat sipil.
Kesan bahwa masalah-masalah keamanan telah, sedang, dan akan terus
dimanipulasi untuk tujuan-tujuan politik, karier, dan finansial sulit dihindari. Periksalah
kesehatanmu masing-masing, apakah di dadamu masih berdegup Pancasila dan di
urat nadimu masih mengalir darah berwarna merah yang menyegarkan cinta putih di
hati Pertiwi?
WALAUPUN para jenderal Polkam telah sungguh mengecewakan penulis dan rakyat
Ambon umumnya, penulis masih berusaha untuk menyumbangkan analisis situasi
untuk dicarikan solusinya. Mudah-mudahan para jenderal Polkam masih membuka
mata hati dan telinga-nurani untuk menyimaknya. Menurut hemat penulis, paling
kurang ada tiga kelompok faktor yang berkombinasi dan berproses sedemikian rupa
sehingga meletupkan lagi konflik dengan kekerasan sejak Minggu 25 April 2004.
Kelompok faktor yang pertama adalah loyonya determinasi dan konsistensi
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menindaklanjuti butir-butir
kesepakatan Malino yang dicapai tahun 2002. Kelompok faktor ini adalah akar atau
inti permasalahan yang meletupkan rangkaian kekerasan dalam beberapa hari
terakhir. Setelah duet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla berhasil membuhul
kesepakatan antara komunitas Kristen, Komunitas Islam, TNI dan Polri,
bersama-sama dengan pemerintah pusat dan daerah, hampir tidak ada tindak lanjut
signifikan yang bergulir di lapangan. Parahnya, komisi-komisi yang dibentuk di Malino
hampir tak bertemu antara sesamanya selama hampir tiga tahun. Akibatnya,
menumpuklah frustrasi di kedua komunitas agama di Ambon.
Tumpukan frustrasi itu disumbangkan oleh paling kurang tiga masalah pokok yang
terkatung-katung. Pertama, tidak terselesaikannya persoalan hak keperdataan atas
tanah dan bangunan sehingga para pengungsi tidak dapat kembali ke desa atau asal
masing-masing. Pengungsi Kristen di dalam Kota Ambon tidak bisa pulang ke negeri
mereka karena tanah dan bangunan mereka masih diduduki pengungsi Muslim.
Kelompok terakhir ini juga tidak bisa pulang ke negeri mereka masing-masing karena
alasan yang sama. Demikian seterusnya, seperti lingkaran setan yang tak berujung.
Kedua, besarnya proporsi pemuda dan pemudi yang menganggur dalam Kota Ambon.
Para kawula muda ini dapat menjadi sumber potensi kekerasan bila sewaktu-waktu
ada ledakan konflik dalam kota. Ketiga, buruknya pelayanan dasar dalam hal
kesehatan dan pendidikan. Baik organ dan aparatur pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar ini. Akhirnya
lembaga-lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang masuk mengupayakan
pelayanan dasar ini. Ironisnya, lembaga yang disebut terakhir ini telanjur diidentikkan
dengan salah satu umat beragama dan karena itu dianggap berpihak. Tidak heran bila
kantor lembaga PBB merupakan salah satu gedung pertama yang dibakar.
Dalam menangani ketiga hal itu, pemerintah provinsi cenderung bekerja sendiri dan
bertindak langsung dengan mem-by pass, baik pemerintah kabupaten dan wali kota
maupun pemerintah kecamatan. Kantor Wilayah Departemen Sosial cenderung
bekerja sendiri langsung dengan para Bapak Raja dan Ibu Raja di tingkat desa atau
negeri. Kesan bahwa para birokrat warisan Orde Baru mengawal proyek
masing-masing secara ketat tak dapat dihindari. Manusia pengungsi lebih tampil
dalam wujud angka-angka dan rupiah. Maka, berlakulah kalimat sindiran bagi para
birokrat ini: setiap bencana adalah proyek dan setiap proyek adalah bencana.
Akan halnya pemerintah pusat juga setali tiga uang dengan Pemerintah Daerah
Maluku. Stamina dan konsentrasi pemerintah pusat menjadi loyo dan pecah karena
dua hal. Pertama, ada proyek separatis yang lebih besar di Aceh yang bukan hanya
melibatkan pengerahan pasukan yang jauh lebih besar, tetapi jumlah dana yang
aduhai. Kedua, baik RI 1 maupun RI 2 dan juga para menko serta beberapa menteri
telah mulai memasang ancang-ancang untuk perebutan suara dan kursi dalam pemilu
presiden dan wakil presiden 2004. Hasil akhir kombinasi faktor-faktor di atas adalah
rakyat Ambon terlupakan dan telantar. Mereka telah disimpan dalam lipatan dokumen
sejarah dengan nama dokumen: Konferensi Malino Dilengkapi dengan Catatan
Kebanggaan: Darurat Sipil dan Malino Berhasil Menghentikan Tragedi Kemanusiaan
di Poso dan Ambon.
KELOMPOK faktor kedua adalah lengah dan teledornya penanganan oleh aparat
Kepolisian Daerah (Polda) Maluku. Sesungguhnya, kelompok faktor inilah yang
menjadi pemicu kekerasan 25 April lalu. Polda lengah dalam upaya
berkesinambungan untuk melumpuhkan gerakan separatis FKM/RMS. Waktu tiga
tahun adalah lebih dari cukup untuk melumpuhkan baik pentolan maupun sisa
jaringan separatis yang masih bertahan setelah Alex Manuputty dipenjarakan. Tidak
perlu harus menunggu sampai ada kegiatan penaikan bendera RMS.
Keteledoran Polda juga terperagakan secara memprihatinkan ketika aparat Polda
mengawal kelompok separatis berpawai di jalan-jalan utama Kota Ambon. Lebih
konyol lagi setelah belasan pentolan mereka ditahan, sisa massa dibiarkan lepas ke
jalan untuk kembali ke tempat semula. Tindakan ini sama dengan sengaja
melemparkan umpan manusia ke jalan untuk dihadang kelompok yang
berseberangan. Sebuah keteledoran operasional yang harus dibayar mahal dengan
puluhan nyawa dan ratusan orang yang luka-luka.
Kelompok faktor ketiga adalah adanya pihak yang mengail di air keruh. Ada bukti
sporadis di lapangan, misalnya siapa sesungguhnya yang membakar sekolah
Muhammadiyah dan Gereja-yang menunjuk ke arah keberadaan para provokator
profesional. Kelompok terakhir ini bisa saja bertujuan: (1) mengirim pesan bahwa
Indonesia tetap membutuhkan pemimpin militer yang kuat; (2) menghancurkan
kredibilitas Yudhoyono-Jusuf sebagai pihak yang pernah dianggap berjasa mengakhiri
kekerasan di Poso dan Maluku lewat dua kali pertemuan Malino.
Bila Anda benar-benar hadir di Ambon, wahai para provokator, sangat mungkin
senjata Anda menjadi bumerang dengan hasil akhir yang sama sekali terbalik. Bila
ingin meyakinkan rakyat Indonesia bahwa mereka memerlukan pemimpin yang kuat
dan berlatar belakang militer, bisa saja rakyat akan tahu bahwa kerusuhan di Ambon
adalah suatu rekayasa dan berbalik menolak pemimpin tertentu yang muncul dari
kalangan militer.
* Tamrin Amal Tomagola Sosiolog
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|