To: indonesian-studies@y<...
From: "Satrio Arismunandar"
Date: Wed, 21 Apr 2004 07:18:28 -0700 (PDT)
Subject: [indonesian-studies] Bahaya Naiknya SBY dan Netralitas TNI
TNI Netral?
Secuil opini ttg SBY dan klik2 dalam TNI + elite politik terkini
Ya jelas nggak. Mungkin Ryamizard sendiri netral karena faksi dia memang kecil. Dia
nggak ada ketrampilan untuk menggalang faksi sendiri. Hubungan dia dengan
Megawati (karena bapaknya Birgjen Ryacudu adalah Soekarnoist), nggak menjamin
dia akan terus maju. Ryamizard tahu bahwa dia nggak akan jadi Panglima TNI.
Sementara, sekarang ini pertentangan antara dia dengan Endriatono semakin
memuncak. Awalnya adalah soal Pam Obvitnas, dimana Endriartono ambil posisi
bahwa TNI harus lepaskan diri. Tapi, Ryamizard nggak setuju. Kedua, soal proyek
Raiders. Ada sepuluh Yon Raiders baru dibentuk. Endriartono ingin kalau Kasum TNI
yang mengontrol Raiders ini, karena Kasum TNI yang mengendalikan semua operasi
tempur. Tapi Ryamizard, karena merasa bahwa dia yang bikin, maka dia yang harus
kendaliken.
Kayaknya, pertentangan antara Mabes TNI dan TNI-AD ini sudah nggak bisa
didamaikan. Hanya aja, nggak ada yang memperhatikan. Eksesnya sampai
kemana-mana.
Dibalik pertentangan ini, secara diam-diam muncul faksi SBY didalam tentara, yang
semakin hari semakin kuat dan semakin besar peranannya.
Sekarang, saya kira, faksi SBY sudah sangat kuat.
Nggak bisa lagi ditandingin. SBY punya dukungan "keluarga" di TNI baik keluarga
inti maupun keluarga batih. Dari keluarga inti. Panglima Divisi II Kostrad sekarang,
Mayjen Erwin Sujono kabarnya adalah juga menantunya Sarwo Edhie.
Thus, Erwin adalah ipar dari SBY (sama seperti Kiki Syahnakri dengan Arie Kumaat
mantan Kabakin yang sama-sama mengawini anak bekas gubernur Sulut GH
Mantik). Kabar (yang ini malah sangat bagus) lain yang terdengar adalah bahwa Erwin
Sudjono adalah keturunan Cina dan menjadi salah satu dari sedikit sekali keturunan
Cina yang berhasil naik ke jajaran elit TNIAD. Dia pernah satu kelas dengan Djoko
Santoso.
Selain itu, ada juga "keluarga" lain. Wakasad sekarang, Letjen TNI Djoko Santoso
(Klas 14 -- 1975) adalah orangnya SBY.
Demikian juga Pangdam Jaya, Mayjen TNI Agustadi SP (kelas 13 -- 1974). Semua
orang ini seperti juga SBY adalah orang-orang Kostrad. Ditengah konflik
Endriartono-Ryamizard, SBYY juga berhasil menempatkan Brigjen Suroyo Gino
(kelas 15; 1976) untuk jadi Wapang Koops di Aceh, menggantikan Brigjen Safzen
Noerdin yang dari Marinir itu. Selain itu, masih ada Letjen Sudi Silalahi, yang sedang
menunggu surat pemecatannya dari sekretaris Menko Polkam.
Sebelum mendalam ke soal-soal TNI dan keterlibatannya dalam Pemilu Presiden
nanti, kita lihat dulu profil SBY ini.
Ada yang sangat aneh disini. Ditengah carut marutnya wajah TNI, dimana hampir
semua perwira TNI punya dosa, ada satu orang yang "tidak berdosa" dan tidak bisa
dituntut tanggungjawab apapun. Orang ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Orang
ini sangat cerdik, sangat trampil membangun images, selain itu juga licik dan sangat
oportunistik. SBY menjadi Kasdam saat Peristiwa 27 Juli. Tapi sampai saat ini
tangannya dianggap bersih.
Dia menjadi Aster Kasum TNI saat kerusuhan di Timtim. Kemudian, saat dia menjadi
Menko Polkam, dia mencoba negosiasi damai dengan GAM. Namun dia juga menjadi
otak dari darurat militer di Aceh, menjadi otak dari operasi militer di Papua. Dia juga
tampil dalam wajah "damai" karena berhasil meredam konflik-konflik komunal
terutama di Ambon dan Maluku. Namun benarkah SBY sebersih ini? Ada banyak
kebetulan yang tidak saling berkaitan sehingga mengundang tanda tanya dari seorang
tentara ini.
Pertama, semua orang-orang dari faksi SBY adalah alumni Ambon. Sebut saja Sudi
Silalahi. Pada tahun 2000, Sudi Silalahi memfasilitasi keberangkatan Laskar Jihad ke
Ambon sekalipun Gus Dur sebagai presiden waktu itu sudah berusaha keras
mencegahnya. Djoko Santoso adalah orang yang berperanan "mendamaikan" Ambon.
Kehadirannya disana bersama dengan sekitar 20an batalyon TNI dan Brimob
membantu mendinginkan suasana. Selanjutnya, Djoko digantikan oleh Agustadi yang
kemudian menggantikannya juga sebagai Pangdam Jaya. Reputasi bagus dibangun
SBY didaerah-daerah konflik.
Kedua, SBY rupa-rupanya memanfaatkan betul momentum-momentum, yang entah
dia ciptakan sendiri atau kebetulan terjadi namun berguna untuk kepentingannya. Di
Indonesia, wajah SBY tampil hampir setiap hari. Bahkan sebelum dia mengundurkan
diri, kantor Menko Polkam punya beberapa iklan tayangan masyarakat, dengan SBY
disana menyapa rakyat kecil. Sementara orang sibuk berebut untuk jadi Calon
Presiden, SBY di iklan itu sibuk dengan orang kecil. Menurut orang, momentum
terbesarnya adalah ketika ia mundur dari kabinet. Namun menurut saya, momentum
terbesarnya adalah ketika berhasil mendudukkan orang-orangnya pada posisi-posisi
penting di TNI-AD. Ini terjadi sangat sistematis.
Ketiga, sama seperti di Ambon, SBY juga tampil dengan wajah lain di Aceh. Dia
melakukan negosiasi dengan GAM. Namun dia pula yang merancang penerapan
darurat militer. Dia pula, sebagai Menko Polkam, yang mengontrol kebijakan di Aceh.
Dia menempatkan Bambang Dharmono disana, ketika gagal, Bambang yang
kabarnya orangnya Endriartono, digantikan oleh George Toisutta yang lebih dekat ke
Ryamizard. SBY cukup kuat dan punya gigi setelah mendudukkan Brigjen Suroyo
Gino sebagai Wapang Koops. Namun, ada momentum yang tepat. Bulan depan,
darurat militer akan berakhir. Jelas akan ada evaluasi. Militer jelas sudah gagal total
disana. Raiders yang katanya berkekuatan 3 kali lipat infanteri biasa, ternyata hanya
pepesan kosong. Tidak ada petinggi GAM yang tertangkap. Bahkan TNI tidak berhasil
membebaskan sandera Ferry Santoro yang sudah hampir setahun "dilindungi" oleh
GAM. Nah, disini, ada kebetulan lagi, SBY mundur dari Menko Polkam sehingga
tidak bisa lagi diminta pertanggungan jawab atas semua kegagalan di Aceh.
Semua fenomena ini unik. SBY selalu nampak sebagai kekecualian, bersinar
sendirian ditengah-tengah lumpur tinja yang melanda TNI. Kebetulan?
Wallahu 'alam! Tampaknya karir SBY ini benar-benar "carefully crafted."
Langkah-langkahnya dirancang secara sistematis. Momentum demi momentum
dimanfaatkannya.
Ada kabar bahwa anak-anak buah SBY di tentara sudah mulai giat
mengkampanyekan dia untuk jadi presiden. Partai demokrat menang di
daerah-daerah perkotaan serta di daerah-daerah dekat tangsi-tangsi Kostrad!
Dukungan untuk SBY muncul dari banyak orang. Bahkan Bill Liddle, Professor ilmu
politik dari Ohio State University (OSU), sudah berkampanye untuk SBY. Liddle
menempatkan banyak anak didiknya di dalam dunia politik Indonesia dan sekarang
Liddle mungkin sudah menjadi ilmuwan asing yang paling berpengaruh terhadap
politik Indonesia. Salah satu murid Liddle, yang sekarang sedang belajar di OSU,
adalah orang (yang katanya) masuk lingkaran dalam SBY. Murid yang lain ada di
lingkaran Megawati, dan masih banyak yang ada di birokrasi, di lingkaran politisi
Islam, dan lain sebagainya.
Jika SBY benar-benar naik, apa efeknya untuk tentara? Tentara Indonesia tidak akan
mampu merebut kekuasaan melalui jalan kudeta. Itu sudah pasti.
Perpecahan didalam sedemikian hebat dan sudah sejak jaman Soeharto sengaja
dipelihara klik-klik yang demikian. Satu-satunya jalan adalah merebut kekuasaan
dengan jalan demokrasi. SBY adalah pembuka jalan ini. Dilihat dalam konteks
sekarang ini, tidak ada jendral yang punya pengaruh sebesar dan sedalam SBY di
dalam tubuh tentara. Kekuatannya terutama ada di Kostrad serta di beberapa Kodam
yang strategis.
Pesaing SBY paling-paling adalah Ryamizard, yang basis kekuatan diluarnya adalah
PDI-P, yang sekarang sedang keok. Endriatono tidak punya power apa-apa ke dalam
TNI-AD karena memang dia nggak ada klik. Dulu dia masuk ke bilangannya Wiranto,
namun menjauh dari Wiranto setelah tahu naik jadi Panglima TNI. Kekuasaan
Prabowo di Kopassus sudah dihabisin. Mainnya Prabowo ke Golkar hanya untuk
menganggu agar Wiranto tidak naik. Rivalitas lama dalam wadah baru. Kalau Golkar
pasang Wiranto, pertarungan akan menjadi seru karena ada dua jendral jadi capres.
Namun, orang Golkar saya kira tidak sebodoh itu.
Kalau Wiranto jadi Presiden, Indonesia akan sangat terkucil dari dunia internasional.
Reputasinya sebagai jagal di Timor-Timur sampai saat ini masih menggantung dan
akan ada kemungkinan pengadilan internasional didirikan.
Yang mencemaskan dari SBY adalah backing dari tentara yang ia miliki. Ini tidak
main-main. Kalau dia naik, saya kira, Golkar akan mudah dia pegang. PDI-P jelas
akan tersingkir. Partai-partai Islam akan tetap jadi oposisi.
Kembali ke soal pokok. Akankah TNI netral dalam pemilu mendatang? Saya rasa
tidak. Mereka sangat berkepentingan akan naiknya SBY. Mereka juga tahu, Amerika
karena kepentingannya lebih suka SBY yang naik. Tentara Indonesia sudah terlalu lama
terisolasi. SBY akan jadi, seperti sajak awal di Bumi Manusia-nya Pram, "Ini hanya
langkah awal . dari sebuah perjalanan yang panjang." Ini yang paling mencemaskan
saya.
Beberapa keterangan/tanggapan lanjut :
Tapi kesan saya sikap TNI dalam Pemilu-04 yang baru lalu itu memang berubah. Ada
3 pertanyaan:
>(1) Apakah nggak ada hal lain yang lebih mendasar untuk menjelaskan perubahan
sikap itu?
Pertama, soal klik. Ini nggak bisa dianggap enteng. Di Indonesia, inilah yang paling
menentukan. Ini akan sangat berpengaruh pada pola aliansi.
Kembali ke pertanyaan: Apakah sikap TNI pada tahun 2004 ini merupakan perubahan
signifikan? Saya kira, tidak juga. Pemilu legislatif, tidak penting untuk TNI karena
mulai tahun ini mereka harus hengkang dari semua privelege politik itu. Nggak ada
gunanya main di legislatif. Yang lebih mendasar sekarang adalah cari pijakan kuat
dan kuasai yang paling atas (presiden). TNI TIDAK netral dan TIDAK AKAN PERNAH
NETRAL. Mereka ngeliat sekali kemana angin berhembus. Dengan kekuatan SBY
yang sekarang, TNI akan jadi kekuatan yang "the last resort" tetapi yang dimainkan
duluan adalah kartu sipilnya. Aliansi Golkar-Demokrat saya kira pasti jadi. Cuman,
disini masalahnya: Apakah si Akbar mau ngalah. Kalau Wiranto sih, bagi saya, kartu
mati. Kalau mau ancur-ancuran: Golkar pasang Wiranto, Demokrat pasang SBY.
Nah, itu baru tarung, tentara lawan tentara. Scenario ini tampaknya the least.
>(2) Kalau memang para penggede TNI masih mau main politik lewat pemilu, tapi
TNI-> nya sendiri netral, apakah itu nggak lebih baik?
Ini pertanyaan berbau "oknum." Biasanya, kalau tentara atau Orba membela diri,
selalu bilang "Bukan TNI-nya yang salah tapi oknumnya!" Tapi ini, soalnya adalah
soal sistemik. TNI masih punya Aster, masih punya kekuatan territorial, dari pusat ke
desa-desa. Mereka bisa pakai ini dalam keadaan mendesak. Kapan mereka bisa
netral kalau semua peralatan untuk main politik mereka punya semua. Kegagalan
terbesar reformasi adalah gagalnya menghapus struktur territorial ini. Struktur ini,
kerja dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Dandim punya kerja sampingan
illegal logging, setor ke komandan atasan, kemudian dari atasan datang kenaikan
pangkat, network, dan lain sebagainya. Ini levelnya sistemik! Bukan individual.
Ingat kasus pendongkelan Gus Dur. Kalau Ryamizard nggak ngarahken moncong
senjata ke istana, GD nggak akan turun.
>(3) Faktor-faktor apa yang harus kita amati untuk melihat, atau persisnya ngecek,
apakah TNI netral?
Kalau mau serius, lihat berapa jumlah caleg-caleg yang punya aliansi dengan militer
(pensiunan, anak tentara, punya hubungan bisnis, dll).
Memang mereka secara institutional bilang netral. Tapi institusi militer itu anggotanya
berapa sih? 600 ribu! Keluarganya kan boleh nggak netral.
Nah, disini letak soalnya. Sulit mengatakan TNI netral tanpa melihat side-effects dari
kehadiran TNI.
Terus terang, sulit juga bagi saya membayangkan TNI nggak netral. Mental mereka
nggak disitu.
[Catatan: Ini keterangan dari seorang teman yg sudah lama jadi da watcher ABRI-TNI
- trims, ben abel]
|