Masariku Network, 17 Mei 2004
Kesaksian dari salah seorang korban kerusuhan di daerah
Sarinande, Talake Ambon
Kesaksian oleh : Bpk. P (nama disamarkan), korban pembakaran rumah penduduk
wilayah Sarinande, Talake.
Reporter : Pdt. Emmy Sahertian
Dari : Divisi Data dan Dokumentasi HAM
Yayasan Lentera Kasih
Waktu : 05 Mei 2004
Keterangan.:Wawancara dilakukan melalui HP, di saksikan oleh Pdt. Chris Sahetapy,
anggota DPR Prop. Maluku.
Tempat: Jakarta.
Deskripsi kejadian:
Sewaktu kerusuhan pecah tanggal 25 april 2004, Bpk P yang mempunyai rumah di
daerah Sarinande, Talake - Ambon sudah meminta bantuan keamanan kepada pihak
kepolisian dan tentara, namun mereka menjawab dengan tidak serius. Dengan panik
ia pergi ke KAPOLDA, sementara istri dan anak-anaknya disuruh mengungsi.
KAPOLDA menjawab bahwa dia ingin mengirimkan aparat ke tempat tersebut namun
jumlah anak buahnya terbatas, sementara masa yang merusak sangat banyak,
sehingga tidak bisa. Dengan kecewa ia pergi dan mencari bantuan ke KODAM.
Pimpinan Kodam menjawab bahwa anak buahnya sudah turun dan akan ditambah
lagi untuk pengamanan. Dengan harapan ia kembali ke rumah namun ternyata
didapati daerah pemukiman penduduk di Talake sudah dibumi hanguskan, termasuk
rumahnya, tidak ada satu aparat kemananpun di tempat tersebut. Ia merasa ditipu
oleh pimpinan tentara tersebut. Ia meloncati pagar untuk menyelamatkan rumahnya
yang sebagian telah terbakar. Sesampai di dalam ternyata ada seorang masa
penjarah harta benda sedang bersembunyi. Hal ini diketahui ketika salah seorang
masa penjarah tersebut ingin memukul kepala Bpk. Peter dengan batu bata secara
diam-diam dari belakang. Orang tersebut kemudian melarikan diri dan berteriak
kepada masa yang lain di luar rumah untuk lari karena yang empunya rumah ada di
dalam.
Saat itu rumahnya tidak dapat lagi diselamtkan, dan ia berlari minta perlindungan. Di
jalan ia bertemu dangan istri dan anaknya dan mereka menyaksikan betapa masa
pro-NKRI menjarah barang-barang milik penduduk dan membakar rumah-rumah
tersebut, sementara tidak ada satupun aparat keamanan yang mencoba
mengamankan lokasi.
Percakapan via Handphone:
Bpk P :
Ibu, ini suatu kejadian yang sangat keterlaluan. Saat ini harta benda kami sudah
dijarah-habis-habisan dan rumah kami sudah hangus abis. Mereka hingga hari ini
masih menjarah sisa-sisa rumah di Talake, mungkin nanti sisa temboknya pun akan
dibongkar oleh mereka. Sementara aparat waktu itu tampaknya membiarkan
kerusuhan ini berlangsung.
Pdt. Emmy :
Waktu itu bagaimana ceritanya
Bpk.P:
Waktu keadaan sudah kacau, beta (saya) lari ke KAPOLDA untuk minta bantuan
aparat, namun dijawab bahwa mereka bisa saja menurunkan aparat, tapi sekrang
anggotanya sedikit, sementara masa besar telah turun. Beta (saya) sampai paksa
agar tolong kepolisian tanggap karena akan terjadi konflik lebih besar. KAPOLDA
tetap pada jawabannya, sehingga membuat beta(saya) kecewa sekali. Sepertinya
ada pembiaran.
Lalu beta pulang dan minta bantuan ke MAKODAM. Mereka menjawab bahwa
mereka akan menurunkan aparat ke daerah Sarinande. Tapi waktu beta pulang, masa
sudah banyak dan membakar rumah-rumah penduduk, termasuk rumah saya.
Penduduk yang punya rumah berlari-larian panik minta tolong namun tidak ada
aparat. Akhirnya mengungsi ramai-ramai tinggalkan rumah masing-masing yang
sedang terbakar.
Pdt. Emmy :
Waktu itu ada aparat atau tidak
Bpk.P:
Tidak ada ibu, KODAM bilang mau turunkan aparat namun tidak ada satu pun aparat
kecuali masa penjarah, pembakar dan pembunuh. Sampai dengan hari ini tempat
kami masih di jarah. Ada sisa-sisa bangunan terbakar dan mereka datang mencuri
bahan-bahan bangunan.
Pdt. Emmy :
Saat ini ada aparat atau tidak
Bpk. P:
Aparat baru muncul ketika semua rumah-rumah itu hangus beberapa jam kemudian.
Itupun hanya aparat kepolisian sektor yang berpatroli dan sangat sedikit, mereka
tidak mengamankan daerah tersebut. Saat ini daerah diblokir dengan penjagaan yang
minim.
Tolong ibu dorang advokasi kami, terutama harta benda kami yang dibiarkan dijarah
habis-habisan dan dibakar habis tanpa pengamanan saat itu. Aparat membiarkan
kekerasan berlangsung.
Jakarta. 5 May 2004
|