Media Indonesia, Selasa, 11 Mei 2004
Acang dan Obet Bersatu Lagi di SMA 45 Ambon
TIDAK ada yang berubah dari Ambon pascakonflik sosial. Sejak kerusuhan sosial
meletus kembali pertengahan April lalu, masyarakat Ambon, Maluku terpecah lagi
menjadi dua kelompok. Kelompok muslim atau yang populer disebut Acang (diadopsi
dari kata Hasan) dan masyarakat Kristen yang kerap disebut Obet (diadopsi dari kata
Robert).
Mereka tidak hanya dipisahkan agama, tempat tinggal, maupun aktivitasnya pun
terlokalisasi di balik garis demarkasi. Acang tinggal di kawasan muslim dan Obet pun
demikian, terlokalisasi di kawasannya.
Tapi tidak demikian untuk siswa-siswa SMU 45 Ambon. Kemarin, saat mereka
melaksanakan ujian nasional (UN), tidak terlihat sedikit pun sisa-sisa konflik itu.
Tidak ada garis demarkasi seperti di tempat lainnya.
Sementara sekolah-sekolah lain terpaksa memisahkan siswanya berdasarkan
agama, di SMU 45 semua siswa justru tetap membaur. Ketika di tempat lain
Acang-Acang berkumpul di satu sekolah dan Obet-Obet di sekolah lainnya, di SMU
45 Acang dan Obet mengikuti ujian bersama.
Di sekolah yang berada di Jl Dr Latumenten itu, sebuah kawasan perbatasan massa
muslim dan Kristen, si Acang duduk bersebelahan dengan si Obet. Tak ada halangan
yang memisahkan mereka. Tak ada dendam warisan konflik yang mengisi otak
mereka. Yang ada hanya keinginan kuat untuk mendapatkan angka standar kelulusan
nasional 4,01.
Marlen Tuhumuri, salah seorang siswa SMU 45, mengaku sempat tegang. Tetapi
bukan tegang karena isu konflik. Dia tegang dan gelisah karena soal-soal ujianya
cukup sulit. ''Kalau mengenai tempat ujian yang disatukan ini, saya tidak ada
masalah. Yang jadi masalah adalah soal ujiannya yang sulit, tapi saya bisa
mengerjakanya, kok.''
Kepala SMU 45, Kety menyatakan siswa di sekolah ini memang sengaja tidak
dipisahkan. Sejak lama sekolah ini diusahakan untuk tidak terkena virus konflik
Ambon. ''Kami mantapkan mereka, kami bilang di sekolah ini para siswa adalah
penerus bangsa, dan tidak boleh bercampur dengan hal yang berbau kerusuhan,'' kata
Kety.
Berbeda halnya dengan SMU Kartika XVI, semua siswa yang mengikuti ujian di
sekolah ini beragama Kristen. Siswa muslim terpaksa harus diungsikan ke SD Tawiri
yang ada di kawasan muslim. Mereka bergabung dengan siswa SMU Muhammadiyah
yang juga harus mengungsi ke SD ini.
Sekolah yang berada di kawasan rawan konflik ini juga tidak lepas dari kawalan
aparat keamanan. Dua aparat TNI dari Kostrad Yonif 413 Kodam IV/Diponegoro
bersenjata lengkap terlihat bersiaga di gerbang sekolah.
Terlepas dari soal ujian itu, SMU 45 mungkin bisa dijadikan contoh ideal bagi upaya
menciptakan hidup rukun di Ambon. Ini tidaklah berlebihan, paling tidak sebagai
tempat belajar. Belajar untuk hidup berdampingan. (Hamdi Jempot/X-8)
Copyright © 2003 Media Indonesia. All rights reserved.
|