Maluku Media Centre, Selasa, 11/05/2004 01:50:46 WIB
M. Najib Azca
Membaca Konflik (Baru) Ambon
Sumber : Koran Tempo, 9 Mei 2004
Bertepatan dengan peringatan ulang tahun Republik Maluku Selatan (RMS), 25 April
2004, rangkaian konflik komunal kembali membakar kota Ambon. Pecahnya konflik
baru ini mengakhiri suasana damai yang telah terbangun sejak penghujung 2002.
Bahkan, sebenarnya, sejak akhir 2001 hampir tak ada lagi konflik besar antara kedua
komunitas. Seperti dicatat oleh laporan International Crisis Group (2002), sejak akhir
2001 pola konflik di Maluku bersalin rupa: dari konflik dua komunitas menjadi
rangkaian bentuk teror, semisal peledakan bom dan ranjau, penyerangan mendadak
terhadap suatu komunitas, serta penembakan misterius oleh penembak gelap.
Kondisi keamanan membaik secara berarti sejak pertengahan 2002 setelah
investigasi polisi berhasil menyingkap keterkaitan sekelompok anggota geng Coker
pimpinan Berty Loupatty dengan sejumlah aparat keamanan dari Kopassus (Tempo
edisi 13 Januari 2003). Hasil investigasi itu berhasil menyingkap sejumlah teka-teki
peristiwa terror yang terjadi sebelumnya.
Kondisi keamanan di Ambon terus membaik, terutama setelah dilangsungkannya
pemilihan Gubernur Maluku pada 16 Agustus 2003, yang sebelumnya selalu
dibayang-bayangi kecemasan akan rusuh sehingga beberapa kali ditunda. Puncaknya
terjadi pada Maret-April lalu: pelaksanaan kampanye Pemilu 2004 berlangsung
dengan relatif aman dan damai. Di Ambon saya menyaksikan massa berpawai
dengan bergairah, namun tanpa rusuh dan tanpa darah tertumpah.
Namun, peristiwa kerusuhan 25 April 2004 menunjukkan bahwa tragedi kekerasan
sosial yang terjadi sejak 19 Januari 1999 hingga pertengahan 2002 masih
meninggalkan luka-luka sosial yang mendalam di Ambon. Mengapa damai masih
rapuh dan getas di Ambon? Ada sejumlah faktor yang bisa menjelaskan.
Pertama, konflik komunal yang terjadi sejak 19 Januari 1999 telah menghasilkan
terjadinya segregasi komunitas di pulau Ambon: ada "daerah Islam", ada "daerah
Kristen". Segregasi komunitas berdasarkan agama sebenarnya merupakan salah
satu warisan era kolonial, sehingga kemudian terbentuk "Negeri Salam" dan "Negeri
Sarani". Pemukiman campuran (Islam-Kristen) yang mulai tumbuh dan berkembang
terutama sejak 1970-an kini hilang, dan setelah konflik orang kembali kepada
pemukiman berdasarkan agama masing-masing. Bahkan sejumlah asrama militer di
Ambon masih ditempati oleh aparat dari agama tertentu secara terpisah.
Kedua, masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran di Ambon. Hal ini
diperburuk dengan banyaknya pengungsi yang belum kembali ke daerah asal.
Ketiga, masih banyaknya senjata (baik rakitan maupun standar militer) yang masih
dimiliki secara ilegal oleh masyarakat. Diperkirakan masih ada sekitar 500 pucuk
senjata dan ribuan peluru organik militer yang beredar secara ilegal di masyarakat
dan ratusan lain senjata dan bom rakitan. Fakta ini membuat potensi kekerasan
semakin besar di kota Ambon.
Keempat, masih adanya kelompok "garis keras" dalam dua komunitas tersebut.
Dalam komunitas Kristen, kelompok ini sebagian besar berafiliasi kepada Forum
Kedaulatan Maluku yang merupakan penerus gerakan separatis Republik Maluku
Selatan (RMS). Di komunitas Islam, kelompok ini sebagian besar tergabung dalam
kelompok-kelompok laskar yang berafiliasi kepada (dulu) Laskar Jihad dan kelompok
sejenisnya. Identifikasi adanya kelompok "garis keras" ini terutama terjadi menjelang
perundingan damai Malino II pada Februari 2002, ketika kelompok-kelompok tersebut
menolak datang ke meja perdamaian.
Kelima, masih adanya kelompok "garis keras" di kalangan aparat keamanan. Yang
dimaksud adalah (1) mereka yang percaya bahwa pendekatan militer merupakan
modus terbaik dalam penanganan konflik di Ambon, khususnya yang terkait dengan
isu separatisme, (2) mereka yang berupaya untuk meneruskan eksistensi dan peran
besar aparat keamanan dalam situasi pascakonflik, (3) mereka yang terlibat dan
bersikap partisan selama konflik namun tidak mendapat hukuman. Munculnya
fenomena penembak gelap dalam konflik mutakhir ditengarai merupakan bagian dari
ulah kelompok ini.
Lanskap sosial politik pascakonflik seperti inilah, antara lain, yang membuat kondisi
damai di Ambon masih getas. Setiap ikhtiar membangun perdamaian yang langgeng
di Ambon maupun Maluku pada umumnya harus menyentuh faktor-faktor kerentanan
sosial tersebut secara cermat, seksama, dan serius. Jika tidak, kita masih akan
menghadapi peristiwa-peristiwa kekerasan serupa di masa-masa mendatang.
Dengan bacaan semacam itu, kita meletakkan peringatan hari ulang tahun RMS
sebagai event pemicu belaka, yang di saat lain bisa dilakukan oleh aktor dan faktor
yang lain. Meningkatnya eskalasi politik di tingkat pusat, misalnya, bukan mustahil
meluberkan amunisi kompetisi dan perseteruannya ke jazirah para raja itu.
Ketika berada di Ambon pada masa kampanye pemilu lalu, penulis mendapat cerita
dari seorang mantan aktivis yang sekarang bekerja di pemerintahan. Menurut dia,
waktu itu banyak terlihat wajah-wajah baru preman berkeliaran di kota Ambon.
Menurut info yang didapatnya, para preman itu tidak bergerak untuk kepentingan
pemilu legislatif, melainkan kepentingan pemilihan presiden. Alasannya, pemilu
legislatif merupakan ajang politik yang menjadi agenda dan pertaruhan utama para
elite lokal untuk melakukan sirkulasi politik, sehingga mereka berkepentingan untuk
mengamankan dan mensukseskannya. Sedangkan pemilihan presiden lebih
merupakan agenda dan pertaruhan elite politik di Jakarta. Ia menyebut nama seorang
kandidat presiden yang ditengarai berada di belakang kehadiran para preman itu.
Pemilu legislatif kemudian memang berlangsung aman di Ambon. Prahara terjadi
genap 20 hari setelah pencoblosan dilangsungkan. Saya tidak tahu apakah ramalan
politik yang dituturkan sang teman itulah yang kini sedang terjadi di Ambon.
* M. Najib Azca, Dosen Pascasarjana Sosiologi dan peneliti pada Pusat Studi
Keamanan dan Perdamaian UGM.
© 2003 Maluku Media Centre, All Rights Reserved
|