The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Maluku Media Centre


Maluku Media Centre, Selasa, 11/05/2004 01:53:53 WIB

Setelah Panglima Berdamai

Reporter : Koran Tempo, 9 Mei 2004

INILAH kenangan Santy Manuhutu tentang Ambon. "Indah sekali. Pantainya bersih, jalannya bersih, dan udaranya bersih. Makanannya enak-enak," tutur mantan Putri Indonesia itu seperti menahan kerinduan. Itu adalah kota Ambon yang dikenalnya delapan tahun silam (1996). Ambon yang benar-benar manise.

Santy mengakui sepanjang hidupnya yang 30 tahun itu dia hanya mengenal Ambon selama tiga hari (harap diingat, Santy lahir tahun 1974). Itulah ketika sebagai Putri Indonesia dia mesti melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai sudut Tanah Air. Dalam tiga hari itulah keindahan Ambon tercetak manis dalam kenangannya.

Meski bermarga Manuhutu, Santy sebenarnya tumbuh dan besar di Jakarta. Sebelumnya ia tidak pernah menjamah tanah kelahirannya itu. "Setahu saya, saudara-saudara dekat ayah saya semua di Belanda dan Jakarta. Tidak ada (lagi) yang di Ambon," akunya. Walau begitu, kerusuhan yang kembali pecah di kota Ambon sejak 25 April lalu memercikkan keprihatinannya. Tentu saja juga keprihatinan banyak orang.

Kerusuhan itu seperti pecahan mimpi buruk saja. Maluku dilumat api kebencian antarwarga sejak April 1999. Pertumpahan darah antara warga Islam dan Kristen berlangsung masif dan menyebabkan ribuan jiwa melayang.

Di tengah api yang membara itulah setapak demi setapak dilakukan pertemuan-pertemuan dan dijalin anyaman-anyaman damai antara berbagai lapisan masyarakat. Pemuka agama dari kedua belah pihak, Islam dan Kristen, saling bertemu. Begitu juga panglima perang dan raja-raja (adat) yang bertikai. Ayunan damai ini kemudian diikuti lapisan masyarakat yang lebih luas. Inilah gerakan yang kemudian dikenal sebagai gerakan moral bakubae (dalam arti harfiah berarti saling berbaikan)

Berhasil. Gerakan murni dari akar rumput itu memetik hasil. Maka, dalam tiga tahun terakhir, masyarakat Ambon mulai merasakan percikan damai yang sempat lenyap dibakar dendam. Ibaratnya, mereka kini bisa minum kopi di meja yang sama. Lihatlah kawasan Trikora, Ambon, yang dulu menjadi lokasi "favorit" pertempuran dua kubu.

Di sela-sela reruntuhan bangunan itu didirikan sebuah warung kopi tempat warga muslim dan Kristen bertemu dalam suasana damai. Di sana mereka duduk semeja memesan secangkir kopi maupun segelas teh dan kudapan khas Ambon. Silih berganti mereka membayar minuman yang diteguk semeja. "Gara-gara kerusuhan katong tapisah cukup lama," kata Jopi, seorang sopir yang menjadi pelanggan di sana (baca "Cangkir Perdamaian di Kedai Kopi").

Berdirinya warung kopi itu bukan hasil kerja semalam. Munculnya rasa saling percaya antarwarga berbeda kubu itu adalah buah proses bakubae yang dikerjakan secara telaten dan menguras kesabaran. Menurut fasilitator bakubae, Ichsan Malik, gerakan itu mula-mula diikuti dua kubu yang masing-masing kubu diwakili enam orang. Mereka dipertemukan dalam sebuah lokakarya guna menyamakan persepsi mengenai konflik yang terjadi. "Kami membutuhkan waktu 20 hari agar enam orang dari masing-masing kelompok itu bersedia bertemu," ujar aktivis LSM dan dosen Pascasarjana Universitas Indonesia itu. Setelah itu, pertemuan lanjutan dihadiri 40 orang (bakubae II), dan 80 orang (bakubae III). Seperti anyaman, gerakan itu kemudian menjalar ke mana-mana.

Gerakan bakubae murni dicetuskan dari akar rumput, yakni mereka yang menjadi korban dan juga pelaku pertempuran. "Gerakan ini dalam tahap awal berusaha menghentikan kekerasan," kata Ichsan. Untuk sampai ke sana, menurut dia, prosesnya dimulai dengan menjahit semua kelompok masyarakat.

Pertemuan pertama digelar antara para panglima perang. Setelah itu masuk ke kelompok moderat yang tidak terkait langsung tetapi bisa jadi sumber penyakit, seperti jurnalis dan pengacara. "Baru kemudian kita berunding di pertemuan latupati (musyawarah raja-raja)," tutur Ichsan.

Setelah proses menjahit ini, gerakan bakubae sudah sampai pada bentuk anyaman. Semuanya bisa duduk dan berunding. Setelah kekerasan dapat dihentikan, tahap kedua adalah pemberdayaan sosial, ekonomi, dan budaya. Tahap ketiga, penegakan hukum (baca "Kesadaran Konflik Rakyat Maluku Sudah Tinggi").

Di lapangan, gerakan bakubae menemukan wujud nyata pada penyelenggaraan Pasar Bakubae di pusat kota Ambon. Tidak mudah, karena warga masih dicekam trauma. Awalnya, hanya ada dua pedagang muslim dan dua Kristen yang berdagang, itu pun hanya berdagang selama satu jam.

Dengan cadangan kesabaran yang tinggi, upaya memupuk rasa saling percaya antarwarga terus dilakukan secara telaten. Sebulan kemudian, sudah 10 orang yang berdagang, dan tiga bulan 20 orang. "Sekarang sudah 400-an pedagang lebih," Icshan menandaskan. Masyarakat juga terus berinisiatif menciptakan akses kebersamaan lain, misalnya seperti menggelar kursus komputer dan sebagainya. "Itu simbol-simbol dari inisiatif masyarakat yang nyata. Kami hanya mendorong saja."

Kini gerakan bakubae dihadang ujian dengan meletusnya kerusuhan pada 25 April lalu. Sebuah kerusuhan dengan roma politis yang kental, karena pecah setelah peringatan ulang tahun Republik Maluku Selatan. Dalam peristiwa ini banyak orang tewas. "Delapan puluh persen mereka yang tewas karena terkena peluru yang ditembakkan dari jarak 500 meter atau lebih," kata Ichsan.

Untunglah, masyarakat Ambon mampu menahan diri. Masyarakat dari komunitas Islam dan Kristen tidak melakukan mobilisasi apa pun untuk terjun kembali dalam peperangan. Para tokoh gerakan bakubae memasang pagar di antara dua komunitas guna mencegah provokasi.

Meski demikian, kerusuhan 25 April itu seperti lampu kuning bagi semua pihak. Kondisi Ambon rentan terhadap berbagai rekayasa pihak lain yang memiliki kepentingan (politik) pribadi atau kelompok.

Imam Prasojo, sosiolog dari Universitas Indonesia, menunjuk kerentanan itu salah satunya bersumber pada banyaknya agenda dalam Perjanjian Malino II yang tidak diwujudkan. Perjanjian Malino II pada 2002 yang diprakarsai pemerintah telah mempertemukan kedua kelompok dan menelurkan sejumlah kesepakatan. Salah satunya adalah: menolak, menentang, dan menindak segala bentuk gerakan separatisme yang mengancam keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan RI, antara lain RMS.

Imam melihat tindakan pencegahan terhadap kelompok-kelompok yang mengerucut pada tindakan separatis tidak dilakukan. "Benih separatis seperti itu harus dicegah sejak awal dan jangan dibiarkan mengkristal seperti sekarang," katanya.

Untuk mencegahnya, kata dia, diperlukan kebijakan kembar, yaitu menindak tegas gerakan separatis sekaligus memberikan insentif kepada rakyat Ambon agar kehidupan mereka bisa lebih makmur. Selama ini, kata dia, birokrasi pemerintahan di Ambon tidak berbuat banyak untuk menumbuhkan perekonomian masyarakat lokal. Seharusnya pemerintah daerah bisa menghidupkan partisipasi masyarakat sekaligus membangun kembali daerahnya.

Imam menyesalkan banyaknya kegiatan pembangunan dilakukan melalui jalur-jalur proyek dan kontraktor yang tidak menyertakan masyarakat. "Ini harus dikurangi karena tidak memberikan ruang bagi masyarakat yang dulu bertikai untuk berinteraksi lebih bagus. Kalau bangunan untuk kepentingan masyarakat bersama, lebih baik dikerjakan gotong-royong."

Saran senada disampaikan Lambang Triyono MA, Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM. Menurut dia, harus dilakukan building trust, membentuk jaringan komunikasi antara dua komunitas lewat tokoh-tokoh properdamaian dengan mengadakan pertemuan-pertemuan dan menciptakan ruang-ruang netral. "Saat ini ruang netral yang ada di sana sangat sempit," kata Koordinator Promosi Pembangunan untuk Perdamaian itu.

Saat ini, menurut dia, hanya ada di tiga tempat netral, yaitu kantor gubernuran, Perum Poka, dan daerah Wayame. Di luar itu, hampir semuanya berpotensi bagi terjadinya konflik laten. Diakuinya, segregasi sosial pascakonflik memang masih menjadi faktor yang sangat berat. Kelompok Islam dan kelompok Kristen tinggal secara terpisah dan tidak ada jaringan atau ruang yang bisa menjembatani komunikasi di antara mereka.

Maluku akan selalu meminta warganya untuk terus bersabar menganyam kerekatan antarmereka. Kelak, Maluku kembali memiliki pantai yang bersih, jalan yang bersih dam udara bersih. Seperti kenangan Santy.

Tulus Wijanarko/Yuyuk Andriati/Syaiful Amien/Mochtar Touwe (Ambon)

© 2003 Maluku Media Centre, All Rights Reserved
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/nunusaku
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044