Maluku Media Centre, Selasa, 11/05/2004 02:03:23 WIB
Semanis Kenangan Ambon Manise
Reporter : Koran Tempo, 9 Mei 2004
RATUSAN tahun silam, Kepulauan Maluku menyimpan daya tarik magis bagi
pemburu kejayaan dan kemakmuran. Kekayaan wilayah Maluku Utara, Selatan,
maupun Tengah tercium hingga ke daratan Eropa, yang kelak menjadi pelaku bisnis
terbesar di wilayah timur Indonesia itu. Kendati demikian, sesungguhnya pedagang
dari Gujarat, Persia, dan Arablah yang memperkenalkan surga rempah-rempah ini ke
dunia luar.
Jejak para pedagang Asia ini tertancap pertama kali di sebuah pantai kampung
bernama Hitu, sebelah utara Ambon. Kedatangan mereka tak lain karena magnet
"emas hijau" alias cengkeh dan rempah-rempah yang begitu melimpah di Kepulauan
Maluku.
Selain berburu rempah-rempah, kedatangan mereka turut mempengaruhi kehidupan
sosial penduduk lokal. Seraya melakukan kontak dagang, mereka juga menyebarkan
kepercayaan melalui pergaulan sosial. Alhasil, agama Islam berkembang di Hitu
hingga Ternate. Kelak, kedua tempat itu menjadi pusat pengaruh Islam di Nusantara.
Daratan Eropa jadi sasaran utama rempah-rempah yang dibawa oleh pedagang Timur
Tengah. Kehangatan rempah-rempah yang sukar didapat di daerah barat membuat
pasar Eropa menyamakannya dengan harta karun dan emas. Daya tarik
rempah-rempah itulah yang menimbulkan rasa penasaran mereka, dan mendorong
bersauhnya kapal-kapal layar Eropa di Kepulauan Maluku. Banyak pemerintah
negeri-negeri Eropa bermimpi untuk memiliki kepulauan ini. Mereka percaya jika telah
menguasai daratan rempah-rempah, kekuatan dan kekayan akan datang kepada
mereka.
Pelaut Eropa bertahun-tahun lamanya mengarungi samudra untuk mengendus
perjalanan pedagang Timur Tengah ke Maluku. Usaha ini tak sia-sia setelah pada
akhir abad ke-15 mereka menemukan kepulauan impian itu. Portugislah yang
menorehkan prestasi sebagai negara Eropa pertama yang datang ke Ambon. Tak
lama setelah bertambat, awak kapal membangun pelabuhan yang bernama Nuestra
Senhora da Anunciada, yang letaknya sekarang menjadi kota Ambon. Mereka juga
membawa misi menyebarkan ajaran kristiani, yang akhirnya memang berakar kuat di
beberapa wilayah.
Kepopuleran Ambon pun sempat membuat kerajaan Spanyol melenyapkannya dari
peta. Tentu saja untuk merahasiakan letaknya dari para pelaut asing. Maklum,
penjelajahan dalam rangka menemukan pulau-pulau baru pada masa itu sedang
marak-maraknya.
Ketimbang Maluku Utara dan Selatan, Ambon yang terletak di Maluku Tengah itu
dianggap sebagai daerah yang paling mendatangkan keuntungan. Setelah diokupasi
Portugis, Ambon tumbuh menjadi wilayah perkebunan rempah-rempah. Bau uang
merebak kuat dari ranah kecintaan Kapitan Pattimura ini.
Tak ayal, kota ini menjadi pusat perseteruan negara-negara Eropa untuk monopoli
perdagangan rempah-rempah. Nama Ambon sendiri dipercaya diambil dari kata apon,
yang berarti perkebunan.
Kejayaan Portugis di Ambon tak berlangsung lama. Beberapa tahun kemudian,
Belanda dengan niat menguasai perdagangan rempah-rempah menyerbu masuk.
Lebih dari 40 benteng hancur berantakan menjadi saksi pertempuran
Belanda-Portugis. Kolonial satu ini rupanya tergiur meraup gulden dari cengkeh
Ambon. Mereka mengumpamakan rempah-rempah sebagai pohon uang.
Bangunan paling keramat bagi Portugis, Benteng Kota Laha, kemudian mengganti
nama menjadi Benteng Victoria setelah Belanda sukses mendepak Portugis. Mereka
memperkuat pertahanan dengan menambah pembangunan benteng di sepanjang tepi
laut. Benteng-benteng itu menjadi saksi bagaimana negara-negara Barat ingin
bertahan di kepulauan ini hingga abad ke-16.
Kemenangan Belanda juga berbuah pemusatan aktivitas VOC (Verenigde Oost
indische Compagnie) di Ambon pada 1610. Monopoli Belanda atas kontrol cengkeh
dan pala di semua wilayah Kepulauan Maluku semakin menjadi-jadi setelah pasukan
kompeni berhasil mengalahkan Inggris yang coba-coba mengambil alih kekuasaan.
Kota Ambon pun disulap Belanda menjadi kota besar dengan status otonomi. Daya
tarik utama kota ini adalah panoramanya yang begitu indah. Dari bukit di pinggiran
kota Karang Panjang orang bisa melihat Selat Ambon yang indah serta kota besar
yang diterangi lampu. Pemandangan menakjubkan di kala senja.
Sayangnya, keindahan Ambon itu tidak diiringi kerukunan antarkelompok
masyarakatnya. Kepercayaan yang ditinggalkan pedagang Timur Tengah dan
Portugis, yakni ajaran Islam dan Kristen, memunculkan letupan-letupan. Untuk
mengembalikan kedamaian kepada para pengikut dari kedua agama itu, pemuka
agama dan masyarakat membentuk konfederasi Pela Gandong.
Pela bermakna saudara. Bentuknya berupa kerja sama atau persekutuan dari dua
atau lebih desa untuk menghancurkan kecurigaan dan sentimen agama yang
berkembang di antara penduduk desa pada sekitar abad ke-16. Pela menjadi adat
sekaligus memuat hukum publik yang kelak secara turun-temurun dipegang teguh
rakyat Ambon.
Pela yang asli mengikuti aturan yang ketat akan hukum dan prinsip-prinsip yang telah
disepakati bersama. Konfederasi juga mengajarkan para anggotanya untuk memiliki
kekuatan guna memenangkan pertempuran melawan penjajahan dan bertahan hidup.
Salah satu hukumnya yang amat populer ialah larangan menikah sesama anggota
dari konfederasi yang sama. Pastinya untuk menghindari incest. Sumpah pela juga
mencakup dukungan dan kerja sama saling menguntungkan. Mulai dari membangun
rumah, menanam, panen, serta aktivitas lainnya yang memerlukan tenaga banyak
manusia. Pela menerapkan hak dan kewajiban dari para anggotanya secara cermat.
Sebagai peneguh janji, tiap kepala desa mengangkat sumpah dengan cap darah yang
menandakan persaudaraan antara satu desa dan desa yang lain.
Begitu banyaknya bentuk pela di Ambon menimbulkan afiliasi keagamaan. Aliansi
antara warga kristiani dan muslim bahkan terlihat dalam pembangunan gereja dan
masjid.
Sayangnya, dalam tiga dekade terakhir gerakan pela kehilangan semangatnya. Hal
itu berbarengan dengan banyaknya kaum muda yang meninggalkan kampung
halaman dan mengaburkan kebudayaan asli.
Desa-desa yang awalnya terikat kuat dengan pela (bekerja sama dalam suka maupun
duka), beberapa waktu lalu kembali ke ajang pertempuran--ngotot mempertentangkan
agama. Tradisi yang mengandung identitas dan nilai-nilai budaya asli orang Ambon,
yaitu cinta persauudaraan dan perdamaian, hanya tersisa dalam literatur-literatur
buatan luar negeri.
Namun, ini tak berlaku bagi penduduk asal Maluku yang dibuang ke Belanda. Di
tempat pembuangan, mereka begitu setia dengan sistem pela. Hasilnya,
persaudaraan mereka semakin erat dan hangat. Keterasingan menimbulkan
semangat untuk membentuk ikatan kuat antarindividu dalam komunitas Maluku di
Belanda. Contoh riilnya, pela berani menanggung beban finansial dari pernikahan dan
pemakaman. Bahkan tuntutan dan kebutuhan ekonomi dibagi rata pada setiap
anggota.
Kapan pela kembali ke Ambon?
Sri Wahyuni (PDAT/berbagai sumber)
© 2003 Maluku Media Centre, All Rights Reserved
|