Maluku Media Centre, Selasa, 11/05/2004 02:04:10 WIB
Cangkir Perdamaian di Kedai Kopi
Reporter : Koran Tempo, 9 Mei 2004
DI atas reruntuhan bangunan toko tua di kawasan Trikora, Ambon, kedai kopi itu
dibangun seadanya. Keberadaanya sungguh simbolis. Hanya belasan meter dari Tugu
Trikora, monumen keberanian Nyong Ambon mengusir kumpeni Belanda, dia seperti
titik terbaik untuk perdamaian. Kedai kopi itu hanya sepelemparan batu dari Gereja
Silo dan Masjid An-Nur. Di kedai itulah warga muslim dan kristiani bertemu dan
bercanda ria.
Kawasan Trikora adalah pusat keramaian kota Ambon semasa damai. Tetapi ketika
pecah kerusuhan pada 1999, kawasan ini bak neraka kecil. Pertempuran sengit kerap
terjadi di sini. Maklum, karena letaknya persis di tengah-tengah permukiman
muslim-kristiani, dua massa yang berseteru mudah tumpah ke situ, menjadikan
Trikora sebagai medan baku bunuh.
Inilah kawasan yang tak pernah sepi selama "perang saudara" itu. Salak bedil
bersahut-sahutan siang-malam. Bom menggelegar, langit Trikora hitam pekat, ratusan
bangunan menjadi puing, puluhan nyawa menjemput ajal. Ambon hancur menyisakan
reruntuk.
Begitu seramnya keadaan di sana, tak ada warga yang berani membangun kembali
gedung-gedung roboh itu meski perang telah berhenti. Semuanya menunggu keadaan
betul-betul tenteram.
Para sopir truk pengangkut barang yang harus melewati kawasan ini menerapkan kiat
unik agar tak dicegat musuh di jalan. Dari Pelabuhan Yos Sudarso, yang letaknya
sekitar setengah kilometer dari Tugu Trikora, truk dikemudikan oleh sopir yang
muslim. Memasuki kawasan Trikora, sang sopir mengurangi laju kendaraannya, lalu
berhenti di samping Tugu. Di situ sudah menunggu sopir truk yang beragama Kristen.
Sopir Kristen itulah yang mendistribusikan barang ke toko-toko dan rumah tangga
yang memerlukannya. Berhari-hari "ritus" itu harus dilakukan para sopir.
Tapi warga tidak selamanya takluk pada ketakutan. Tiga tahun dalam ketegangan,
mereka toh lelah juga. Gerakan damai baku bae merayap pelan-pelan di setiap
lapisan masyarakat. Lalu sampailah pada tengah malam 31 Desember 2002, ketika
ribuan warga dari dua komunitas itu berhadap-hadapan lagi di area Tugu Trikora. Saat
itu dari beberapa kapal di laut terdengar bunyi sirene sahut-menyahut. Di daratan,
letusan senjata menyalak ramai. Suara senapan itu disambut ledakan yang
memekakkan telinga di sejumlah tempat.
Tapi malam itu tak ada perang! Yang ada hanyalah warga yang tengah merayakan
upacara perdamaian persis di ujung tahun. Bunyi sirene dan letusan senjata tadi
hanya partisipan yang meramaikan pergantian tahun. Langit Ambon benderang oleh
kembang api. Di kawasan paling berdarah selama perang tiga tahun itu, dua seteru
menabur damai. Kata yang beberapa saat rasanya mustahil terdengar itu
bersama-sama disemai di bekas genangan darah yang telah jauh meresap ke dasar
bumi.
Merasa keadaan mulai tenang, beberapa warga mulai menghidupkan lagi kawasan
Trikora. Kedai kopi pun didirikan oleh seorang warga. Di sana disajikan kopi panas,
the, dan aneka penganan khas Ambon. Semula cuma polisi yang berani mampir di
kedai. Maklum, warga masih dicekam trauma berkepanjangan.
Tetapi waktu cukup sabar untuk membiarkan warga Islam maupun Kristen menyadari
bahwa perdamaian mesti segera dirajut semakin luas. Pelan-pelan mereka menuju
kedai, hingga kian hiduplah kawasan itu. Ia menjadi tempat perjumpaan kawan lama,
yang pernah saling membidik.
Di kedai itu, cerita dendam antara Nyong Ambon selama masa kerusuhan seperti
cuma sebuah dongeng. Kristen dan Islam duduk semeja, bersenda gurau,
terbahak-bahak. Saling traktir saban hari. "Gara-gara kerusuhan, katong tapisah (kita
terpisah) cukup lama," kata Jopi, seorang sopir angkutan yang kerap nongkrong di
situ.
Sejak upacara pergantian tahun itu, keberanian untuk membaur juga merasuk ke
sejumlah tempat. Pasar Baku Bae yang terletak di Jalan Pantai Mardika ramai
dikunjungi warga, walau tetap di bawah pengawalan ketat aparat keamanan. Hotel
Ambon Manise yang terletak di kawasan ini juga ramai tamunya. Setelah rasa saling
percaya kian kuat mengakar, pelan-pelan aparat menarik semua pasukannya. Warga
Kristen yang berbelanja ke situ sama amannya dengan warga muslim yang berjualan.
Ketika bertemu pun mama-mama itu kerap bersenda gurau.
Tapi cuma sejenak. Pertempuran Ambon seperti kisah sinetron di layar televisi. Dari
satu episode ke episode lainnya. Dan sebuah pertempuran baru meletus pada 25
April lalu setelah peringatan ulang tahun Republik Maluku Selatan. Aparat polisi
seperti tak sanggup melerai. Kerusuhan pecah, darah pun tumpah. Uniknya,
kebanyakan jiwa yang meregang disebabkan peluru tajam, padahal massa yang
berhadapan-hadapan hanya mencengkeram batu atau kayu. Dari manakah
peluru-peluru itu?
Kawasan Trikora kembali sepi. Kedai kopi tadi pun senyap kembali. Pasar Baku Bae
yang mulai menggeliat, kembali senyap. Meja jualan berkelimpangan di sana-sini,
ditinggal begitu saja oleh pemiliknya. Segenap penghuni kawasan ini mengungsi.
Yang terlihat di sana cuma aparat keamanan, hilir-mudik dengan bedil siap menyalak.
Kesunyian juga menghinggapi sejumlah tempat wisata di seantero Ambon. Pantai
Natsepa di Desa Suli, dan pantai Liang di Desa Laing, Kecamatan Salahutu,
Kabupaten Maluku Tengah, misalnya, kini tak ramai lagi. Padahal, setelah perang
reda, kawasan ini ramai dikunjungi keluarga dan kaum muda. Karena letaknya di
kawasan Kristen, yang berani datang ke situ ya cuma warga Kristen. Itu pun cuma
segelintir.
Para pedagang di sana, jelaslah, gusar. Maria, 51 tahun, misalnya, merasa dapurnya
amat terancam gara-gara kerusuhan ini. Ia berjualan rujak di kawasan ini lama
sebelum kerusuhan meledak. Selama keadaan tenang, katanya, oma bercucu dua ini
bisa membawa pulang kepeng Rp 100 ribu sehari. Kini periuk nasi sang nenek
berputar ke titik nadir. "Siapa yang mau beli kalau kondisi seperti ini?" keluhnya.
Oma Maria kini hampir-hampir bangkrut.
Yang juga terlihat sepi setelah kerusuhan 25 April lalu itu adalah kawasan wisata
pantai Liang. Kawasan rekreasi itu sempat menggeliat lagi setelah keadaan aman,
tapi kini senyap lagi. Para pedagang yang kerap berjualan di situ pun menganggur.
Kawasan wisata Manuala Beach, sekitar 35 kilometer dari kota Ambon, nasibnya
lebih merana lagi. Sejak kerusuhan episode pertama meletus pada 1999, kawasan
wisata ini tak terurus lagi. Atap sejumlah bangunan bocor di sana-sini. Padahal, dulu,
kawasan ini kerap didatangi sejumlah turis lokal yang hendak berwisata. Para
pedagang yang biasa berjualan di situ cuma bisa bermuram durja. Dagangan sepi,
kantong kian kempis.
Yang juga luluh-lantak adalah tempat wisata seperti benteng tua peninggalan Belanda
dan Gereja Emanuel di Kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Gereja dan benteng itu
dulu ramai dikunjungi wisatawan. Kini, "Tak ada lagi pengunjung seperti sebelum
kerusuhan di Ambon," kata Halim Soulissa, warga yang tinggal di kawasan tersebut.
Museum Siwalima di kawasan Airsalobar, Kecamatan Nusaniwe, sudah lama
merana. Padahal, di sini terdapat barang-barang purbakala, juga kerangka ikan paus
sepanjang 30 meter.
Ambon Plaza, satu-satunya pusat perbelanjaan terbesar di kota Ambon, belakangan
senyap lagi. Selama kerusuhan 1999-2002, Amplaz--begitu warga Ambon menyebut
pusat perbelanjaan ini--hanya dikunjungi warga muslim. Maklum, letaknya di pusat
kawasan muslim.. Warga Kristen tak berani ke situ. Sejak tahun lalu, setelah
keadaan aman, warga Kristen sudah berani berbelanja di situ. Para pedagang pun
girang sebab pembeli kian banyak. Kini, setelah kerusuhan meletus pada 25 April
lalu, Amplaz cuma dikunjungi warga muslim. Jam buka pun dibatasi: empat jam
sehari. Kantong pedagang pun kembang-kempis.
Wenseslaus Manggut, Mochtar Touwe, dan Jonathan (Ambon)
© 2003 Maluku Media Centre, All Rights Reserved
|