The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Maluku Media Centre


Maluku Media Centre, Selasa, 11/05/2004 02:06:01 WIB

Ichsan Malik, Fasilitator Gerakan Bakubae
"Kesadaran Konflik Rakyat Maluku Sudah Tinggi"

Reporter : Koran Tempo, 9 Mei 2004

Salah satu kontribusi besar hingga terwujudnya perdamaian di Ambon adalah gerakan moral bakubae, yang muncul atas prakarsa warga Ambon sendiri. Gerakan itulah yang telah menciptakan rasa saling percaya antara kelompok-kelompok dalam masyarakat, hingga dalam tiga tahun terakhir Ambon menjalani hari-harinya dengan damai.

Di belakang gerakan itu tak bisa ditinggalkan peranan Ichsan Malik yang bertindak selaku fasilitator. "Jaringan bakubae adalah organisasi tanpa bentuk, dan sekretariatnya ada di telepon genggam saya selama 3,5 tahun ini," kata dosen Pascasarjana Universitas Indonesia dan Koordinator Institut Titian Damai itu. Salah satu kunci keberhasilan gerakan ini karena semuanya dilakukan secara sukarela. "Sekali berbau proyek, habis kita," katanya kepada Yuyuk Andriati dari Koran Tempo, Jumat lalu. Berikut petikannya.

Bagaimana proses yang dilalui gerakan bakubae?

Prosesnya dimulai dengan menjahit semua kelompok masyarakat, dari pengungsi, pengacara, jurnalis, intelektual, pimpinan negeri atau raja, pemuka agama. Awalnya, masing-masing anggota masyarakat itu membentuk kelompok sendiri. Syarat untuk mengusahakan perdamaian adalah adanya kesadaran konflik yang tinggi di antara mereka. Lalu mereka harus duduk dalam kapasitas yang berimbang. Dari sini kita lakukan konsolidasi internal, misalnya tim pengacara gereja dan tim pengacara Al-Fatah kita pertemukan dan melakukan kerja sama sampai akhirnya bisa terbentuk Lembaga Bantuan Hukum Bakubae. Mereka menjadi pembela bagi korban Maluku. Setelah tahapan konsolidasi ini, bisa dilakukan negosiasi sehingga saling berbaikan atau bakubae itu tercapai.

Bagaimana posisi Perjanjian Malino II dalam konteks ini?

Negosiasi yang dilakukan lewat Malino itu sebenarnya agak manipulatif karena kesadaran konflik mereka belum tinggi dan kapasitasnya tidak berimbang. Malah pemerintah (menyatakan) harus begini harus begitu. Inisiatif tidak datang dari masyarakat.

Itu bedanya dengan bakubae?

Bakubae melakukan proses dengan pelan-pelan, karena kita memang tidak mau melakukan manipulasi. Pertemuan pertama digelar antarpanglima perang. Lalu masuk ke tengah, yaitu kelompok moderat yang tidak terkait langsung, tetapi bisa jadi sumber penyakit, seperti jurnalis dan pengacara. Baru kemudian berunding di pertemuan latupati (musyawarah raja-raja). Setelah proses menjahit ini, kita sudah sampai pada bentuk anyaman. Semuanya bisa duduk dan berunding, kesepakatan pertamanya adalah hentikan kekerasan. Tahap kedua, pemberdayaan sosial, ekonomi, dan budaya. Tahap ketiga, penegakan hukum.

Seberapa jauh berbagai tahapan itu sudah dilakukan?

Tahap penghentian kekerasan sudah tercapai. Tetapi begitu masuk ke tahapan selanjutnya tidak jalan. Agenda pascakonlfik ini terbengkalai dan ini menjadi bom waktu. Dengan korek api kecil saja, seperti moment RMS itu, bisa terbakar lagi. Ini adalah masalah besar kita. Jadi, sampai kapan pun, selama belum ada pemberdayaan ekonomi, pendidikan, kesehatan, pengungsi, dan sistem sosial, Ambon akan jadi bom waktu. Hanya tergantung dari penyulutnya, kadang korek api, obor dan macam-macam.

Bagaimana dengan fase penegakan hukum?

Berbeda dengan Eropa dan Amerika, sistem hukum mereka yang disebut truth of justice sudah jalan. Afrika Selatan punya kepemimpinan yang kuat dan punya truth and reconciliation. Bakubae kita sebut truth and resolution. Jadi, resolusi dulu, berhenti dulu kekerasan, baru penegakan hukum. Jadi, kita tidak bicara penegakan hukum dulu, karena semua sistem lumpuh.

Apakah kerusuhan 25 April kemarin bakal memicu peperangan yang lebih besar lagi?

Masyarakat Maluku sekarang sudah tidak rentan lagi. Dulu, kalau ada satu orang saja mati, maka 80 negeri bisa berperang. Tetapi peristiwa kemarin tidak ada serang-menyerang antarmasyarakat. Hanya panik-panik saja dan itu wajar. Kesadaran konflik rakyat Maluku sudah tinggi dan kapasitas untuk menanganinya sudah bagus. Kelemahannya ada di pemerintah dan sistem hukum, di tentara dan polisi yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk itu.

Selama upaya damai, langkah-langkah konkret apa yang sudah dilakukan oleh masyarakat?

Membuka Pasar Bakubae misalnya. Memang semula hanya dua pedagang muslim dan dua Kristen saja yang berdagang. Mereka ketakutan, satu jam dagang, terus lari. Selama seminggu hanya ada 4 muslim dan 4 Kristen, lalu dalam sebulan sudah mulai 10 orang, dan 3 bulan jadi 20 . Sekarang sudah 400-an lebih. Itu bentuk inisiatif masyarakat. Kita juga melihat dua kantong terbesar masyarakat muslim dan Kristen melakukan barter sayur dengan minyak. Inisiatif lainnya, misalnya, kursus komputer. Simbol-simbol seperti itu merupakan inisiatif masyarakat yang nyata. Kita hanya mendorong saja. Itu yang dilakukan jaringan bakubae.

Menurut Anda, langkah yang perlu diperbaiki dalam gerakan perdamaian di Maluku?

Kontribusi bakubae saya kira sekitar 15-25 persen dalam perdamaian di Maluku. Kita lihat juga banyak bentuk inisiatif lokal lainnya, ada juga kontribusi Malino, kontribusi tentara dan polisi. Yang penting sebetulnya, bagaimana agenda masyarakat menguat, disadari bersama, dan mulai membangun masa depan. Aceh itu kan agenda tentara dan GAM--tidak ada agenda masyarakat. Lain dengan Maluku, di sini ada bakubae. Kita mau hentikan kekerasan dan meski berbenturan denggan agenda lain seperti agenda politik, politisasi elite politik dan militer, kita terus jalan. Kita membangun (berdasarkan) agenda korban dan kontribusi bakubae signifikan dalam membangun kekuatan dari bawah. Justru yang perlu diperbaiki itu langkah-langkah pemerintah pascakonflik.

Apa yang perlu diperbaiki oleh pemerintah setelah perdamaian tercapai?

Sekarang masuk tahap empowerment. Masalah pertama yang harus dituntaskan adalah masalah pengungsi. Afrika Selatan itu enak karena punya komisi di bawah undang-undang untuk mengurusi pengungsi. Di Indonesia tidak ada. Agenda Perjanjian Malino yang menjanjikan ekonomi akan diperbaiki juga tidak ada wujudnya. Perbaikan bidang pendidikan dan kesehatan juga tidak ada. Pemerintah hanya sibuk urusan politik, padahal pascakonflik itu agendanya sangat banyak dan tidak terpenuhi.

Berdasarkan pengamatan Anda di masyarakat, masih ada dendam di rakyat Ambon?

Luka ada, ketakutan masih ada. Mereka yang korban langsung pasti masih menyimpan luka. Tetapi mereka menyadari jadi korban tidak ada yang menang, tidak ada yang kalah. Yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu. Semua jadi korban. Karena kita semua jadi korban dan hancur, mari kita bakubae. Kesadaran itu yang mematahkan dendam. Kalau luka, itu pasti masih ada mungkin sampai lima tahun lagilah.

Peran pemerintah dan aparat bagaimana?

Bakubae itu benar-benar gerakan dari bawah. Mungkin ini tidak adil bagi pemerintah dan aparat karena berdasarkan jajak pendapat masyarakat, pemerintah dan aparat dianggap part of problem. Kita takut melibatkan mereka karena takut bangunan ini akan runtuh. Tapi kalau bangunannya sudah kuat jalinannya, mungkin akan bagus. Sempat terpotong oleh Malino, tapi prematur. Mereka membiarkan kita saja itu sudah salah satu bentuk dukungan yang bagus. Kita tidak melihat pemerintah berupaya untuk memfasilitasi dan menciptakan situasi di mana inisiatif bisa tumbuh. Pemerintah tidak punya visi yang kuat untuk semua wilayah konflik di Indonesia. Leadership tingkat lokal juga lemah. Sekarang koordinasi gubernur, tentara, dan polisi nggak jalan. Masing-masing jalan sendiri.

© 2003 Maluku Media Centre, All Rights Reserved
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/nunusaku
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044