oposisionline.com, 26 April 2004 02:57:58
Republik Maluku Selatan Antara Kambing Hitam dan Mimpi
Inlanders
Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) sebenarnya kelanjutan dari
pertentangan antara golongan nasionalis-republikein dan golongan federalis ekstrim
yang berkembang sejak tahun 1946. Pemberontakan ini juga bagian dari
pemberontakan di Makassar, sejak pemberontakan Andi Azis pada awal bulan April
1950.
Inti pemberontakan RMS ialah usaha mempertahankan secara ekstrim ide
federalisme melalui perjuangan bersenjata. Pemberontakan ini melibatkan
kesatuan-kesatuan KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger--Tentara Kerajaan
Hindia Belanda-red) di Ambon. Sebenarnya ada segi lain dari peristiwa ini, yaitu
tindakan indisipliner dari kesatuan-kesatuan KNIL.
Peralihan ke pemerintahan Indonesia yang berwujud RIS, menimbulkan ketegangan
pada pegawai-pegawai negeri di daerah ini. Lantaran di Ambon juga terdapat
pihak-pihak yang pro-Republik dan pihak-pihak yang pro-Belanda. Ditambah lagi,
tiadanya suatu badan yang dapat mengatasi ketegangan-ketegangan secara damai.
Di antara pihak-pihak yang bertentangan, terdapat organisasi-organisasi pemuda semi
militer (laskar-laskar) yang sewaktu-waktu bisa menimbulkan bentrok-bentrokan fisik.
Dalam keadaan yang demikian kehidupan masyarakat tidak aman. Apalagi bila
diingat bahwa masyarakat Ambon sejak dahulu hidup dalam semacam dualisme.
Pada suatu pihak terdapat orang-orang yang mengikuti keyakinan Kristen. Pada
masa-masa sebelumnya keadaan tersebut tidak terlalu dirasakan sebagai suatu
dualisme karena rupanya ada usaha-usaha dari pemerintah Belanda untuk mencegah
pertentangan yang nyata antara kedua belah pihak. Tapi, sejak zaman Jepang dan
Proklamasi Kemerdekaan, perbedaan ini mulai nyata.
Banyak orang Islam yang masuk ke Partai Indonesia Merdeka (PIM) dan berjuang
bersama orang-orang Kristen di dalamnya. Golongan Kristen yang menentang mereka
tergabung dalam organisasi "Gabungan Sembilan Serangkai dan Persatuan Timur
Besar".
Pada awal tahun 1950 kesatuan-kesatuan KNIL dari suku Ambon dipindahkan ke
Ambon. Ditambah dengan kesatuan-kesatuan yang sudah ada di Ambon, jumlah
mereka mencapai 2000 orang lebih. Namun yang lebih penting lagi, di antara mereka
ada kesatuan komando "Baret Merah dan Baret Hijau" yang berkemampuan tempur
tinggi. Mereka juga merupakan kesatuan KNIL yang paling mengalami indoktrinasi
sebagai pengawal kolonialisme Belanda paling tangguh. Mereka sama sekali tak
dapat membayangkan bahwa suatu waktu Indonesia akan diperintah oleh orang
pribumi. Dalam keadaan mental demikian, taklah mengherankan, mengapa terjadi
perkelahian-perkelahian antara mereka dengan golongan yang berpaham
nasionalisme.
Pembunuhan-pembunuhan dan penganiayaan banyak dialami oleh tokoh-tokoh dan
anggota-anggota organisasi-organisasi nasionalis. Selain KNIL, terdapat pula
kesatuan Polisi Negara ciptaan Dr Soumokil dengan mental dan tindakan-tindakan
yang sama. Situasi itu sangat menguntungkan Soumokil sewaktu tiba di Ambon.
RMS Berdiri
Pemberontakan RMS adalah peristiwa berdirinya Republik Maluku Selatan yang
mencoba lepas dari Negara Indonesia Timur (NIT). Peristiwa terjadi di Ambon, 25 April
1950, oleh orang-orang bekas KNIL dan pro-Belanda di bawah pimpinan Mr. Dr. Ch.
R. Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur. Terbentuknya Republik
Indonesia Serikat (RIS) yang diikuti pembentukan Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan masalah, terutama dari tentara KNIL
yang tidak bersedia bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai
pasukan inti APRIS.
Soumukil yang memimpin gerakan separatis ini telah mempersiapkan secara matang
"Proklamasi RMS" dengan memindahkan pasukan KNIL dan pasukan Baret Hijau
yang terlibat pemberontakan Andi Azis ke Ambon. Maka pada 25 April 1950, mereka
mengumumkan berdirinya Republik Maluku Selatan, setelah sebelumnya melakukan
teror dan pembunuhan.
Pemerintah Pusat mencoba menyelesaikan peristiwa dengan mengirim misi yang
diketuai Dr. Leimena. Pengiriman misi berdasar hasil Konferensi Maluku di
Semarang, 13 Juli tahun itu juga. Konferensi ini diikuti para politikus asal Ambon yang
menganjurkan agar dikirim misi perdamaian ke Ambon yang terdiri dari para politikus,
pendeta, dokter dan wartawan. Rupanya, misi damai itu dianggap gagal, sehingga
pemerintah memutuskan untuk menumpas pemberontakan dengan kekuatan senjata.
Pemerintah lantas membentuk sebuah pasukan di bawah pimpinan Kolonel A.A
Kawilarang. Tanggal 14 Juli 1950, pasukan Expedisi APRIS/TNI mulai melakukan
penumpasan di pos-pos penting RMS yang memusatkan kekuatan pasukannya di
Pulau Seram dan Ambon. Selain di darat RMS menguasai perairan laut Maluku
Tengah dengan memblokade dan menghancurkan kapal-kapal kecil milik pemerintah.
Akhirnya, setelah melalui pertempuran-pertempuran sengit, pada tanggal 18
November kota Ambon dapat dikuasai pasukan-pasukan APRIS.
Setelah APRIS berhasil merebut kota Ambon dan menangkap tokoh mereka yang
terlibat, sisa-sisa pasukan RMS yang masih ada melarikan diri ke hutan-hutan dan
untuk beberapa tahun lamanya melakukan kegiatan pengacauan. Soumokil yang
berhasil menyelamatkan diri, pada tahun 1962 berhasil ditangkap dan dijatuhi
hukuman mati, 12 April 1964.
Mitos RMS
Sesungguhnya anggapan bahwa masyarakat Maluku di Belanda merupakan ?sarang
RMS? adalah mitos besar. RMS sudah lama mati di Maluku, sedang gerakan dan
kegiatan RMS di Belanda lama-kelamaan menjadi semacam "dokumen hidup" dan
ritual politik. RMS di Belanda, makin berkurang popularitas maupun dukungan
aktifnya. Dinamika Eropa dan Belanda menciptakan warna warni politik. Namun,
perubahan Indonesia pasca 1998 dan perang saudara di Maluku Utara dan Ambon
sejak 1999, membawa dampak besar. Pertumpahan darah itu melukai masyarakat
Maluku di Belanda.
Komunikasi meningkat antara pemuka gereja, masjid dan aktivis LSM di Belanda dan
Indonesia untuk meningkatkan upaya perdamaian dan rekonsiliasi. Namun ada
kekhawatiran, segelintir pemuda Maluku yang radikal bisa kehilangan kesabaran.
Yang terpenting sekarang adalah perdamaian dan rekonsiliasi di Maluku, bukan RMS,
demikian konsensus komunitas Maluku di Belanda, termasuk kalangan RMS sendiri.
Dengan demikian gravitasi atau bobot perhatian mulai beralih ke Maluku sendiri. Dulu
RMS berpretensi menjadi semacam pelopor atau perintis bagi rakyat Maluku di
Maluku. Kini, untuk pertama kali, mereka menyadari bahwa masa depan Maluku
berada di tangan masyarakat Maluku di Indonesia. (Sarat Dinamika Emosi 50 tahun
Masyarakat Maluku Di Belanda, Aboeprijadi Santoso)
Di sisi lain muncul ketakutan dan prasangka yang berlebihan dari pihak Indonesia
terhadap orang-orang Maluku di Belanda. Menurut Wiem Manuhutu Direktur Museum
Maluku di Belanda, ada suatu gambaran yang terbatas dan prasangka yang salah
tentang masyarakat Maluku di Belanda. Masyarakat Maluku sekarang sangat
majemuk. Dan persepsinya tentang RMS sendiri berbeda-beda. Memang ketika
datang di Belanda, mayoritas dari mereka adalah bekas anggota KNIL. Tetapi tidak
semuanya RMS, tidak semuanya orang-orang yang berpolitik dan tergolong RMS
seperti dalam gambaran di Indonesia. (Tidak Semua Warga Maluku Di Belanda
Pendukung RMS, Radio Nederland di Hilversum, 21 Maret 2001)
RMS dan Kondisi Maluku Saat ini
Saat ini, terutama sejak pecah Prahara 19 Januari 1999 (kerusuhan antara warga
kampung Batumerah Atas --Kariu, Aboru, Oma, Halalu-- dan Batumerah Bawah
--Kailolo, Pelau, One, Kabau-- di Kota Maadya Ambon, hari pertama Idul Fitri.
Kerusuhan ini memicu pembentukan Kodam XVI/Pattimura, 15 Mei --red), nama
Republik Maluku Selatan kembali mencuat dan disebut sebut sebagai dalang dari
tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah manusia modern itu.
Republik Maluku Selatan kemudian diidentikkan dengan Kristen atau Republik
Maluku Sarani. Artinya bahwa Kristen Maluku adalah RMS. Padahal, sesuai fakta
sejarah, tahun 1960, Gereja Protestan Maluku (GPM) ikut merespon penolakan
seluruh rakyat Maluku melalui pesan tobat. Langkah ini diambil karena GPM sungguh
menyadari keberadaan RMS ditolak seluruh rakyat Maluku. Dengan demikian
mengidentikkan kalangan Kristen dengan Republik Maluku Selatan sebetulnya
merupakan stigma yang sangat merugikan kalangan Kristen di Maluku. Stigmatisasi
itu pelan-pelan mulai luntur setelah penandatanganan Perjanjian Maluku di Malino
awal 2002 lalu.
Presiden RMS Dr Soumokil yang berada di Kairatu, ketika itu juga menerima pesan
tobat GPM yang diantar oleh Pendeta Dr. Piet Tanamal dkk. Inti pesan tobat yang
diserukan GPM adalah ikrar menyahuti masalah-masalah di Maluku. Pokok
pertobatan itu sebagai usaha badan tertinggi gereja sinodal (muktamar gereja-red)
guna mengambil langkah berdiri sebagai gereja Tuhan yang memberitakan
kedamaian, keadilan (Sejarah Maluku, J. Pattikayhatu).
Banyak orang percaya bahwa RMS hanyalah sebuah upaya mencari kambing hitam,
ketika pemerintah tak mampu menangani konflik dan kekerasan yang berkecamuk di
masyarakat.
Banyak pihak percaya bahwa isu RMS sengaja diangkat untuk menghilangkan atau
menghapus ingatan masyarakat terhadap keterlibatan aparat negara dalam konflik
dan kekerasan di Maluku, selama tahun 1999 sampai tahun 2002. RMS
bersama-sama Forum Kedaulatan Maluku, sengaja dijadikan kambing hitam. Isu
RMS menjadi kenyataan yang sengaja digembar-gemborkan saat konflik di Maluku,
sehingga menjadi dalih dan legitimasi gerakan dan pengamanan aparat keamanan di
Maluku yang diboncengi oleh kelompok tertentu. Isu FKM/RMS juga dipercaya
banyak kalangan sebagai sarana untuk melegitimasi peran TNI dalam Komando
Operasi Pemulihan Keamanan di Maluku. (Sammy Supit: Berpolitik Perlu Perjuangan,
silutlink.com, April 18, 2004)
Bagi orang Maluku, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah keputusan
final. Maluku adalah satu dari delapan provinsi yang mula-mula mendirikan Republik
Indonesia. Maka kalau ada yang ingin merdeka, maka kemedekaan masyarakat
dalam NKRI.
Jadi pemerintah tak perlu ragu terhadap komitmen nasionalisme orang Maluku.
Karena sejak tahun 1928, Jong Ambon sudah menyatakan komitmennya dalam
Sumpah Pemuda. Lebih dari itu, orang Maluku masih tetap mengenang ucapan Bung
Karno di Kota Masohi Maluku Tengah, tahun 1950-an. "Indonesia tanpa Maluku bukan
Indonesia. Maluku tanpa Indonesia bukan Maluku." [ ]
Penulis : Dino F. Umahuk
Jurnalis dan Sastrawan, tinggal di Ambon
Tanggal publikasi : 2004-04-26 02:57:58
|