Sala Waku Maluku, 29 April 2004
Manajemen Isu FKM/RMS Dalam Konflik Maluku
Oleh: Hengky Hattu dan Semmy Littik (Tim Kajian Konflik Maluku - Yayasan Sala
Waku Maluku, Ambon)
Jatuhnya korban jiwa, luka dan harta sejak 25 April 2004 yang lalu sungguh
menyakitkan hati masyarakat Maluku, apapun agama, suku dan latar belakang
sosialnya. Nampaknya para aktor intelektual, teroris dan preman yang mengeruk
untung dari konflik Maluku belum juga puas menyiksa masyarakat di daerah ini. Luka
hati dan jiwa yang mulai mengering, kembali ditoreh dan berdarah lagi demi
memenuhi nafsu keserakahan sesaat dan sesat. Mengapa ditenggarai ada permainan
di balik peristiwa April berdarah kali ini?
Kalau dicermati isu yang dikembangkan dalam konflik Maluku sejak 1999 lalu,
nampak bahwa ada suatu pola manajemen isu yang dianut untuk memelihara konflik
horizontal di Maluku. Isu kesukuan pada awal konflik ternyata tidak relevan sebab
semua suku bangsa Indonesia yang ada di bumi Maluku sama-sama menelan getah
pahit dari konflik kaum elit tersebut. Kemudian diangkatlah isu agama ke permukaan,
dan memang mampu memperpanjang konflik horizontal, tapi harus mendatangkan
supporter dari luar Maluku sebab rakyat Maluku sendiri tidak antusias bermusuhan
mengingat nenek-moyang mereka satu (Alifuru) walau agama mereka berbeda-beda.
Selain itu, tidak mungkin ada orang waras yang mau merusak kampung halamannya
dan sumber penghidupannya sendiri. Setelah konflik mereda karena kesadaran
masyarakat sendiri dan tekanan internasional, dimainkanlah isu FKM/RMS.
Lalu, mengapa isu FKM/RMS ini perlu dibesar-besarkan sampai terasa sangat
membosankan dan dipaksakan untuk ditelan oleh masyarakat negeri kepulauan ini?
Hipotesa yang bisa diajukan di sini adalah adanya upaya memelihara konflik
horizontal di Maluku sebagai sebuah "proyek berkelanjutan" dimana isu-isu yang
dikembangkan hanyalah kamuflase belaka. Karena isu agama terlalu dekat dengan
isu terorisme yang lagi marak disoroti dunia, maka dipilihlah isu nasionalisme sebab
pertentangan ide nasionalisme sering dianggap urusan dalam negeri yang sulit
dicampuri Negara lain. FKM/RMS dinilai tepat untuk ditabrakkan dengan NKRI. Tapi
ada kelemahan hakiki dalam manajemen isu FKM/RMS ini yang berpotensi merusak
nama baik Indonesia di mata dunia dan dapat mempercepat proses disintegrasi
bangsa.
Pertama, isu FKM/RMS ini telah secara membabi-buta diarahkan untuk memojokkan
salah satu kelompok agama. Dikotomi primordial agama jelas memancing massa
kelompok agama untuk berkelahi, walau Kakanwil Depag Maluku (Drs. Hasyim
Marasabessy) dan Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku (Pendeta Hendriks)
mengatakan pertikaian kali ini bukan karena isu agama. Benar sekali, pihak-pihak
yang diadu sama-sama pro-NKRI. Mana ada rumah ibadah milik FKM/RMS atau
rumah pengungsi yang dibangun dengan dana FKM/RMS di daerah ini? Bukankah
rumah-rumah ibadah itu juga dibangun oleh WNI yang pro-NKRI? Bukankah
rumah-rumah pengungsi di Talake, Poka dan Rumah Tiga itu dibangun dengan dana
sosial pemerintah NKRI? Apa hubungan isu nasionalisme dengan penganiayaan
orang-orang tak bersalah, termasuk anak-anak balita, ibu hamil dan manula yang baru
tiba dengan kapal Doloronda dari Kupang? Bukankah tindakan anarkis seperti itu
justru anti-NKRI dan tetap menunjukkan isu agama dimainkan kembali dengan
selimut nasionalisme? Tentu kita tidak lupa bahwa partai-partai politik nasionalis yang
besar, seperti Golkar, PDIP, Partai Demokrat dan PAN, berisi manusia dari berbagai
agama, suku dan golongan. Mengawinkan isu nasionalisme (NKRI vs FKM/RMS)
dengan primordialisme agama dalam konflik Ambon ini sungguh sumbang dan naïf
(kalau tidak ingin disebut bodoh). Bukti-bukti lapangan seperti di atas akan
mementahkan isu nasionalisme yang dikemukakan sebab aparat keamanan juga
harus menembaki para pecinta NKRI yang main hakim sendiri. Di dunia internasional,
isu yang akan muncul tetap isu terorisme dan pelanggaran HAM berat oleh
pemerintah Indonesia sebab sudah terjadi tindakan kekerasan terhadap orang-orang
tak bersalah berdasarkan primordialisme agama.
Kelemahan kedua, isu FKM/RMS ini sebenarnya tidak populer. Justru para pejabat
Negara dan Daerah ini, entah secara sadar atau naif, yang gemar membesarkan dan
mempopulerkan isu FKM/RMS setiap menjelang tanggal 25 April. Cocoklah Walikota
Ambon Drs. M.J. Papilaya, M.Si. menyebut HUT RMS sebagai "hiburan tahunan"
bagi masyarakat luas sebab aparat keamanan dan pendukung FKM/RMS asyik
"berpesta", sementara masyarakat luas bersikap "emangnya gue pikirin". Hidup
sehari-hari saja sudah mencekik, untuk apa susah-payah memikirkan persoalan
politik masa lalu? Hitung saja berapa jumlah orang dan luas wilayah yang terlibat
acara dimaksud, pasti bisa ditebak kecilnya dampak isu ini bagi masyarakat Maluku.
Bahkan masyarakat umumnya ikut menjaga lingkungan masing-masing agar tidak
dijadikan basis kegiatan tahunan itu. Bukankah masyarakat yang sering memukan
bendera RMS di pohon-pohon? Entah siapa pengibarnya, yang jelas aparat keamanan
hanya bertugas menurunkan bendera. Artinya, masyarakat Maluku tidak naïf (baca:
bodoh) menghadapi isu FKM/RMS. Justru masyarakat heran dengan sikap tidak
konsisten Polda Maluku yang menangkap para pejabat FKM setelah upacara bendera
selesai, bukan sebelum upacara, dan tidak membubarkan upacara. Padahal aparat
hukum di daerah ini sebelumnya sudah tahu tempat upacara sudah pasti di daerah
Kudamati dan sampai menggelar Operasi Merah-Putih segala. Baik pemerintah
pusat, Pemda dan aparat keamanan perlu berkaca pada fakta-fakta di atas agar
terluput dari sikap naif dan terkesan memprovokasi kekacauan masyarakat melalui
isu FKM/RMS. Justru dengan menghambur opini di media massa sebelum dan
selama kerusuhan ini, Pemerintah pusat, Pemda dan aparat keamanan telah
menaikkan image FKM/RMS. Padahal aksi yang dibutuhkan adalah sebaliknya, yakni
pendekatan interaktif-persuasif yang low-profile di lapangan dalam bentuk dialog dan
penyuluhan hukum dan tatanegara sehingga ada kesatuan persepsi antara
masyarakat dan pemerintah, dan meningkatkan kewaspadaan diri dan lingkungan
masyarakat.
Kelemahan lainnya, gaung isu FKM/RMS ini tidak kuat di dunia internasional. Selain
tidak melibatkan perjuangan bersenjata, pihak FKM/RMS sendiri nampak kurang
populer di tingkat lokal. Masyarakat Maluku di tingkat akar rumput tahu persis bahwa
FKM/RMS tidak ada sangkut-pautnya dengan kerusuhan Maluku sejak tahun 1999
lalu. Lain halnya dengan Timor Timur yang didukung mayoritas rakyat akar-rumput
dilengkapi dengan partai politik Fretelin, wadah bersenjata Falintil, pelobi internasional
Ramos Horta yang piawi, pemimpin karismatik Xanana Gusmao, dan jaringan
internasional yang luas. Mereka juga punya tema yang menarik simpati internasional,
yakni invasi Indonesia atas kedaulatan Timtim. Kombinasi di atas sangat menyulitkan
posisi pemerintah RI di dunia internasional. Mantan Menlu Ali Alatas menyebutnya
"bagai kerikil di dalam sepatu Indonesia". Selain itu, munculnya isu FKM/RMS
setelah konflik Maluku memanas membuat FKM/RMS tidak diperhitungkan oleh dunia
sebagai bagian dari akar masalah di Maluku. Terbukti dalam perundingan Malino,
FKM/RMS tidak dilibatkan dan tidak ada dampaknya. Oleh sebab itu, agak janggal
jika setiap menjelang 25 April, para pejabat keamanan Negara dan daerah ini sangat
antusias mengantisipasi aksi FKM/RMS. Bahkan Wakasad Letjen Joko Santoso
yang mantan Pangdam Pattimura pun secara naïf mengkambinghitamkan FKM/RMS
sebagai akar konflik di Maluku (Siwalima, 24 April 2004). Bukti-bukti sejauh ini
menunjukkan bahwa FKM/RMS melakukan upacara pengibaran bendera dan
silaturahmi secara terbuka tanpa senjata. Posisi, niat dan kekuatan mereka sudah
diketahui oleh aparat keamanan dan masyarakat luas. Oleh sebab itu pendekatan
solusinya tidak memerlukan ancaman perang ala militer, tetapi cukup dengan
pendekatan dialog interaktif/persuasif dengan mereka yang terlibat FKM/RMS dan
implementasi proses hukum yang berlaku. Toh aturan hukum kita sudah dilengkapi
dengan ancaman hukuman untuk setiap pelanggaran dan prosedur serta aparaturnya
sudah jelas. Dalam masyarakat demokratis sekarang, para petinggi harus melatih
dan membiasakan diri berdialog dan membimbing masyarakat melalui
pendapat-pendapat yang cerdas dan tidak militeristik sebab rakyat Maluku punya
tingkat kecerdasan dan kematangan social-emosional yang memadai setelah 4 tahun
diperdaya oleh kaum elit. Berkoar-koar di media massa justru mempertontonkan
kenaifan Pemerintah pusat, Pemda dan aparat keamanan, dan malah terkesan
sengaja memprovokasi emosi masyarakat yang sedang labil. Ekses dari
pembentukan opini publik itulah yang lebih berbahaya dari upacara FKM/RMS. Jika
tidak berhati-hati, pemerintah Indonesia akan mengalami kesulitan dalam diplomasi
dunia sekiranya pihak FKM/RMS mampu memanfaatkan bukti-bukti lapangan otentik
yang menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia (termasuk aparat keamanan) telah
memprovokasi masyarakat (entah sengaja atau tidak) untuk saling membenci dan
membunuh, dan lalai melindungi masyarakat sipil termasuk gedung milik PBB dan
organisasi-organisasi sosial internasional di Ambon, keselamatan anak-anak, ibu-ibu
dan orang-orang tak bersalah, dan keamanan harta-benda penduduk yang tak
bersalah. Dunia internasional sangat sensitif terhadap isu anak, perempuan,
genocide, terorisme dan militeristik. Senjata bisa makan tuan seperti pada kasus
Timtim.
Kesimpulannya, isu FKM/RMS sebenarnya tidak ada nilainya untuk dimainkan di
Maluku. Tetapi jika isu ini sengaja dipaksakan untuk melanggengkan konflik
horizontal di Maluku demi kepentingan elit, maka secara sadar atau tidak sadar, kita
sedang memasuki fase-fase yang pernah dialami Timor Timur dimana permainan tidak
cerdik oleh aparat keamanan dan Pemda di tingkat lokal sangat merusak citra
pemerintah RI di dunia internasional dan di mata rakyat Timtim. Ujung-ujungnya,
rakyat Timtim makin simpati pada perjuangan Fretelin/Falintil, dan berdirilah Negara
Timor Leste lepas dari pangkuan NKRI. Semoga kita tidak terantuk pada batu yang
sama, dan semoga hipotesa kami salah, sehingga kedamaian dan kesejahteraan di
Maluku segera pulih seperti sediakala dan rakyat Maluku tidak disiksa terus seperti
saat ini.
Sala Waku Maluku
|