Liputan6.com, 07/05/04 20:01 WIB
Program Khusus
Ketika Ambon "Menangis" Lagi
07/5/2004 02:56 - Pengibaran bendera Republik Maluku Selatan oleh massa FKM
memancing reaksi keras dari para tokoh nasionalis di Ambon. Pro dan kontra itu
berubah menjadi anarkis lantaran isu berkembang ke konflik antaragama.
Liputan6.com, Ambon: Ambon, kota cantik di Kepulauan Maluku tampaknya masih
rawan diguncang konflik. Apalagi, jika sudah dilarikan ke isu antaragama. Baranya
tak kunjung padam benar, meski sudah berlalu dua tahun silam. Terlebih bila ada
kelompok yang turut bermain di kota ini. Itu seperti yang terjadi pada 25 April silam.
Berawal dari perayaan ulang tahun ke-54 gerakan separatis Republik Maluku Selatan
(RMS) oleh Front Kedaulatan Maluku (FKM), kedamaian yang telah dirajut dalam
beberapa tahun terakhir pascakonflik antaragama akhirnya sia-sia. Kondisi yang tak
diinginkan itu pun kembali terjadi. Ambon "menangis" lagi! [baca: Ambon Bergolak,
12 Tewas].
Pagi itu, 25 April 2004, ketegangan sudah terasa di Kota Ambon. Sebanyak 51
bendera RMS kembali berkibar di sejumlah wilayah terkait peringatan hari jadi
kelompok separatis tersebut. Jajaran Kepolisian Daerah Maluku pun segera
menerjunkan personelnya untuk menurunkan bendera yang sebagian besar dipasang
di atas pohon dan gunung. Tapi, situasi kian panas ketika kelompok RMS menggelar
perayaan di kediaman pemimpin eksekutifnya, Alex Manuputty di kawasan Kudamati.
Upacara itu sendiri dipimpin Sekretaris Jenderal RMS Moses Tuanakota dan diikuti
sekitar 1.000 orang.
Dalam acara ini, massa FKM juga sempat mengibarkan bendera RMS dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tak berlangsung lama, polisi yang datang ke lokasi
segera menurunkan bendera RMS. Polisi juga membawa Moses ke Markas Polda
Maluku dengan diikuti massa sambil berpawai membawa bendera RMS. Arak-arakan
ini mendapat pengawalan dari kepolisian. Sesampai di Mapolda, polisi akhirnya
menahan 24 orang lainnya yang mengaku turut bertanggung jawab. Sementara
sebagian massa RMS yang tak ditahan akhirnya kembali pulang.
Nah, inilah awal dari kerusuhan tersebut. Massa FKM yang diizinkan pulang dihadang
sekelompok orang yang menamakan diri Pembela Negara Kesatuan Republik
Indonesia di sekitar Tugu Trikora. Di sinilah terjadi salah pengertian. Massa
penghadang yang kebetulan berasal dari kelompok Islam itu meyakini massa FKM
yang dikawal polisi itu tak jadi ditahan. Tak heran, aksi saling lempar kedua kelompok
massa itu terjadi. Aksi kian panas hingga terdengar letusan tembakan. Massa pun
kian beringas. Kerusuhan tak terelakan dan kembali pecah.
Tak hanya di kawasan Tugu Trikora, kerusuhan juga terjadi di beberapa kawasan lain
seperti Mardika dan Pokka yang menjadi lokasi konsentrasi massa. Di lokasi ini,
massa terprovokasi untuk melakukan pembakaran. Tak jelas kelompok mana yang
mulai membakar. Tapi, Gedung Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa di sana
menjadi bangunan pertama yang dibakar. Sebuah hotel serta sejumlah rumah dan
sebuah tempat ibadah pun turut dibakar. Sekejap, sebagian wajah Kota Ambon
berubah menjadi lautan api. Yang pasti, kerusuhan tersebut cepat menjalar ke
wilayah lain lantaran isunya sudah bergeser ke konflik antaragama. Tak heran, pada
kerusuhan awal itu sepuluh orang dilaporkan tewas dan puluhan lainnya luka-luka.
Ironisnya, pihak kepolisian seakan tak mengantisipasi akan kerusuhan tersebut. Ini
tampak dari terlambatnya langkah penanganan yang dilakukan pihak kepolisian
setempat. "Kurang tanggas (tanggap dan tegas) melihat keadaan itu," ujar seorang
warga. Selain itu, warga juga menyayangkan sikap polisi yang tak mengantisipasi
perayaan tersebut dengan cara menahan para anggota FKM. Padahal, perayaan
serupa kerap digelar tiap tahunnya. Apalagi, sebenarnya ketegangan sudah mulai
terjadi jauh hari sebelum kejadian tersebut. Biasanya, kedua kelompok sudah
menggalang kekuatan.
Menanggapi hal ini, Kepala Kepolisian Daerah Maluku Brigadir Jenderal Polisi
Bambang Sutrisno membantah ketidaktanggapan aparatnya. Menurut Bambang,
dalam status Tertib Sipil, operasi kepolisian hanyalah menegakkan hukum bukan
militer. Jadi, pihaknya baru dapat bertindak jika sudah ada bukti. Pada tahun kemarin,
misalnya. Lebih dari 300 orang ditangkap dalam perayaan serupa. Sebanyak 124 di
antaranya juga sudah divonis. Pada tahun ini, polisi menyita 52 bendera RMS dan
menahan 33 aktivisnya. Dengan kata lain, tahun ini sudah menurun ketimbang 2003.
Kerusuhan yang berulang mencabik wajah Ambon menjadi kota teror. Dalam
kerusuhan akhir April silam, FKM disebut-sebut sebagai pemicu pecahnya konflik.
Ada juga yang menyebut FKM berniat makar karena organisasi itu ingin mewujudkan
RMS sebagai negara merdeka. Tapi, hal tersebut dibantah salah seorang tokoh RMS,
Toos Talahua. Menurut Toos, mereka hanya meminta yang menjadi hak rakyat
Maluku. Tools meyakini RMS itu sudah merdeka beberapa bulan sebelum proklamasi
Indonesia atau sebelum 17 Agustus 1945. Jadi, tak benar jika RMS akan makar.
Sejauh ini FKM mengklaim memiliki basis massa di 50 desa di Kepulauan Maluku. Di
Luar Negeri, basis massa FKM berada di Australia, Belanda, Jerman, Amerika
Serikat, Singapura, dan Malaysia.
Tapi nasi telah jadi bubur. RMS atau FKM sudah dicap sebagai dalang kerusuhan 25
April silam. Penangkapan dan sweeping terhadap seluruh anggota mereka terus
digencarkan. Tapi, suatu kali penangkapan dan razia ke kawasan Kudamati yang
disebut-sebut sebagai Markas RMS atau FKM ini gagal dilakukan. Jalan yang menuju
ke daerah tersebut sudah diblokir warga setempat dengan sebuah kontainer yang
melintang di sebuah jalan masuk ke wilayah itu. Tapi, itu hanyalah sebuah upaya
yang sia-sia.
Ada yang tercecer di balik kerusuhan tersebut. Sebuah fakta menyebutkan adanya
sejumlah personel aparat keamanan yang memperkeruh suasana di Ambon. Ini
tampak dari pengakuan sejumlah saksi mata yang melihat segelintir anggota TNI
memasuki gereja-gereja sebelum rumah ibadah tersebut terbakar. Menurut seorang
saksi, saat itu tentara mengusir orang-orang yang tengah berada di dalam gereja
tersebut. Ini juga diperkuat pengakuan seorang pendeta. Menurut dia, terbakarnya
gereja-geraja di sana bukanlah akibat bom atau sejenisnya. Tapi, gereja tersebut
memang sengaja dibakar oleh tentara.
Atmosfer kedamaian memang sudah menipis di Kota ambon. Tak heran, kerusuhan
25 April silam begitu banyak menelan korban. Berdasarkan data pemerintah daerah
setempat, sedikitnya 38 orang tewas, ratusan lainnya luka-luka, dan puluhan ribu
lainnya mengungsi ketakutan. Ditaksir, sedikitnya masyarakat merugi Rp 27 miliar
akibat sejumlah gedung, tempat ibadah, dan rumah-rumah penduduk rusak terbakar.
Namun, itu semua belum termasuk data-data yang dikumpulkan sejumlah lembaga
swadaya masyarakat di sana. Data-data tersebut termasuk jumlah korban maupun
kerugian materi lainnya.
Terlepas dari itu, kerusuhan tersebut tak sepenuhnya melumpuhkan Kota Ambon.
Daerah atau tempat rawan memang masih ada. Kendati demikian, di wilayah lain
kehidupan masyarakat tetap berjalan. Di Pasar Batu Meja, misalnya. Aktivitas jual
beli masih berlangsung di pasar tersebut. Kendati begitu, harga sejumlah bahan
pokok melambung tinggi seiring terputusnya sejumlah jalur transportasi. Masalah jalur
transportasi, sejauh ini warga lebih menyukai menggunakan alat transportasi laut
ketimbang darat. Meski perjalanan memakan waktu lebih lama, jalur transportasi laut
ini lebih aman. Jalur menuju Bandar Udara Pattimura, misalnya. Setelah
menggunakan angkutan laut yang memakan waktu lebih lama, warga juga harus
menyambungnya dengan menaiki kendaraan baik ojek atau taksi.
Hampir dua pekan kerusuhan berlalu, warga Kota Ambon hingga kini belum berani
beraktivitas seperti semula. Jika hari mulai gelap, rasa takut dan was-was
menghinggapi penduduk di sana. Apalagi, saat ini banyak penembak gelap
bergentayangan mencari mangsa. Meski perburuan sniper ini terus dilakukan aparat
keamanan, rasa takut nan mencekam itu tetap dirasakan. Warga baru sedikit lega
jika matahari mulai meninggi. Ironis memang. Kapankah suasana tersebut akan
berlalu dari Negeri Seribu Pulau?(ORS/Tim Sigi)
Silahkan mengunjungi serta menonton acara "video" program khusus TV yang agak
panjang dgn mengklik dibawah ini [real player]:
© 2001 Surya Citra Televisi.
|