SIB, 4 April 2004
4 Teroris Malaysia Mengaku Serangan ke Gereja dan Bom Bali
Diinspirasi Osama bin Laden
Kuala Lumpur (SIB)
Empat teroris Malaysia mengaku bahwa serangkaian serangan terhadap gereja dan
target lainnya di Asia Tenggara, diinspirasi oleh Osama bin Laden. Ini termasuk
tragedi bom Bali yang menewaskan 202 orang.
Pelaku pengeboman di Bali diyakini memenuhi pesanan Osama bin Laden untuk
melakukan serangan pada Oktober 2002 di Legian, Kuta. Pesan Osama untuk
membunuh warga AS disampaikan kepada seluruh anggota Jamaah Islamiyah (JI) di
Asia Tenggara oleh dua pemimpinnya yakni Hambali dan Abu Bakar Ba'asyir, kata
Mohamed Nasir Abas kepada stasiun televisi Malaysia TV3, Jumat (2/4) kemarin.
''Hambali dan Abu Bakar mengeluarkan fatwa dari Osama bin Laden yang
menyatakan umat Islam harus mempertahankan diri dan membalas aksi Amerika.
Sebab, mereka bersalah atau membunuh warga sipil di mana saja,'' katanya dalam
wawancara itu.
Hambali yang diduga pemimpin senior di jaringan al-Qaeda dan JI, kini dalam penjara
AS setelah ditangkap di Thailand tahun lalu. Abu Bakar Ba'asyir akan dibebaskan dari
penjara di Jakarta 30 April ini setelah hukumannya dikurangi oleh Mahkamah Agung
(MA). Ia dinyatakan bersalah akibat pelanggaran keimigrasian dan pemalsuan
dokumen.
Mohamed Nasir yang ditangkap di Indonesia, kepada TV3 menyatakan fatwa Osama
mempunyai arti, ''Kita bisa membunuh warga AS di mana saja''. ''Apakah mereka
bersenjata atau tidak, tentara atau warga sipil. Apakah wanita, orang tua atau
anak-anak. Fatwa itu dikeluarkan untuk seluruh anggota JI,'' lanjut Nasir.
Mereka yang percaya pada fatwa itu, dalam melaksanakan pengeboman, seperti
Hambali dan Muklas, berlandaskan fatwa tersebut. Mereka merancang pengeboman
gereja dan di Bali sebagai pembalasan atas AS. Mohamed Nasir (34) diduga
pemimpin JI untuk wilayah Brunei, Malaysia, Filipina Selatan dan Kalimantan. Dia
merupakan ipar Muklas yang kini menghadapi hukuman mati.
Mohamed Nasir dan tiga tersangka militan Malaysia yang ditangkap di Indonesia
diwawancarai TV3 awal bulan ini dan rekaman tersebut ditayangkan pada Jumat
malam dalam program acara ''Pengakuan Anggota JI''. Keempat anggota JI itu adalah
Mohamed Nasir, Amran Mansor, Ja'afar Anwarul, dan Shamsul Bahri Hussein.
Seluruhnya mengaku anggota JI. Namun, kini mereka menolak ajaran JI yang
menentang Islam itu.
''Kami menyaksikan saat mereka mengebom gereja, mengebom Bali dan Hotel
Marriott (di Jakarta tahun lalu). Korbannya adalah warga sipil dan umat muslim
sendiri,'' kata Nasir. ''Saya kecewa dengan apa yang terjadi, pengeboman Bali dan
Marriott. Apa yang diajarkan JI itu keliru, karena Islam mencintai perdamaian dan
agama lain,'' jelas Shamsul Bahri. ''Saya tidak pernah membayangkan hal ini terjadi,
serangan bom yang melibatkan teman-teman saya sendiri yang tergabung di JI.''
Shamsul Bahri -- yang belajar ilmu robot dan pernah mengajar rekayasa mekanik di
Universitas Malaysia -- menjelaskan ia membantu merekrut sejumlah mahasiswa
termasuk di antaranya Noor Din Mohammad Top, yang kini dicari polisi. Rekan-rekan
seprofesi lainnya adalah Azahari Husin yang dicari polisi karena dikaitkan dengan
pengeboman di Bali. ''Dia juga anggota JI,'' tambahnya.
Kepada TV3, Amran menyatakan dirinya menjabat bagian logistik dan pendanaan. Ia
juga dilatih membuat bom oleh Azahari. ''Kini saya sadar bahwa saya bimbang saat
bergabung dengan JI,'' kata Amran. ''Saya mulai berpikir, apakah ini Islam yang
diajarkan kepada Anda, menaruh bom, lari dan menyaksikan wanita dan anak-anak
mati? Salah bagi saya kalau taat kepada perintah JI,'' pengakuan Amran.
Ja'afar menjelaskan ia menyediakan tanah untuk dijadikan sekolah bagi JI di negara
bagian Johor. Muklas menjadi guru di sekolah itu dan dia dikenal dengan nama
Luqmanul Hakiem. ''Saya tidak menyadari mula-mulanya. Tetapi seringkali saya
mendengar guru di sana membicarakan jihad, perang Afghanistan, Osama bin Laden.
Jadi siswa pasti terpengaruh dengan hal itu,'' kata Ja'afar. Pengakuan empat tahanan
ini ditanggapi keptis oleh tokoh-tokoh HAM negeri Jiran ini. "Kemungkinan besar
mereka telah disiksa dan dipaksa membuat pernyataan dan pengakuan palsu dalam
interogasi," tukas Syed Ibrahim, kepala sebuah kelompok HAM Malaysia yang
memperjuangkan kondisi para tahanan. (AFP/SP/x2)
|