SUARA PEMBARUAN DAILY, 2 April 2004
Tajuk Rencana
Ketenangan Poso Terusik Kembali
ETENANGAN penduduk Kabupaten, dan Kota Poso, Sulawesi Tengah, terusik
kembali. Bagai napas pendek, ketenangan itu tidak pernah bertahan lama.
Rusuh-tenang-rusuh, dan rusuh. Begitu seterusnya. Peristiwa mengenaskan terakhir
terjadi Selasa (30/3) malam sekitar pukul 20.15 waktu Indonesia bagian tengah
(Wita). Ketika itu, pendeta Ferdi (29 tahun) tewas ditembus peluru. Pelakunya,
lagi-lagi, "penembak misteius". Hanya beberapa jam sebelum peristiwa itu, tepatnya
pukul 14.00 Wita, Ny Ros Pilongo (41) tertembus peluru pada bagian bawah telinga
kiri dan telapak tangan kiri. Korban sekarang dirawat di RSU Poso.
Tiga hari sebelumnya (Sabtu, 27/3), John Christian Tanalida (37), penduduk Kelurahan
Kawua, Poso, tewas ditembak orang yang tidak dikenal. Harian ini, edisi Kamis (1/4)
memberitakan, aparat Polres Poso menangkap seorang yang diduga pelaku
penembakan hingga menewaskan dua orang dan melukai satu orang di Poso itu.
Diberitakan juga bahwa aparat kepolisian setempat sedang memintai keterangan lima
orang saksi.
Penembakan dua hari berturut-turut itu membuka kembali "luka" lama. Perasaan
duka, takut, curiga, dan gelisah kembali merundung penduduk Kabupaten dan Kota
Poso. Sungguh dapat dimengerti kalau seorang tokoh masyarakat Poso, Arnold
Tobondo menyatakan kekecewaannya atas merebaknya kembali penembakan
misterius. Dia menduga, penembakan misterius di Poso didalangi teroris. Karena itu,
harapnya, aparat keamanan harus memeriksa orang-orang yang tidak jelas statusnya
di Poso, Sulawesi Tengah.
KEKECEWAAN masyarakat Poso seperti diungkapkan Tobondo sungguh dapat
dipahami. Berdasarkan catatan wartawan harian ini, sejak merebak konflik horizontal
antara kelompok masyarakat Muslim dan Kristen di Poso, Desember 1998, sudah
banyak korban manusia di kedua belah pihak. Di samping, tentu saja, kerusakan
sejumlah rumah penduduk, tempat ibadah, dan bangunan lainnya.
Untuk meretas jalan dan suasana damai di antara kedua pihak yang berkonflik, pada
19-20 Desember 2001 diselenggarakan pertemuan tokoh agama dari kedua belah
pihak, dan tokoh masyarakat di Malino, Sulawesi Selatan. Pertemuan yang
diprakarsai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Jusuf Kalla itu
melahirkan Deklarasi Malino untuk perdamaian Poso. Kita mencatat, setelah
Deklarasi Malino (biasa disebut Malino I), Poso ternyata tidak sepi dari kerusuhan
berdarah.
Rangkaian peristiwa tersebut menyisakan luka mendalam akibat banyak penduduk
tewas di samping mengalami luka berat dan ringan. Bahkan, seorang wisatawan
warga Italia meninggal ketika bus jurusan Tana Toraja (Sulawesi Selatan) - Palu
(Sulawesi Tengah) diserang orang bersenjata tak dikenal di Kecamatan Pendolo,
Kabupaten Poso.
PERISTIWA yang masih segar di ingatan kita adalah penyerangan oleh kelompok
bersenjata ke Beteleme, Kecamatan Lembo, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah,
pada 9 Oktober 2003, menewaskan dua orang, dan sejumlah rumah dan kendaraan
bermotor terbakar. Dua hari setelah itu, 12 Oktober 2003, penyerangan penduduk di
Poso Pesisir dan Kota Poso terjadi. Tragedi itu menewaskan 8 orang dan sejumlah
lainnya luka-luka.
Seluruh tersangka pelaku penyerangan di Beteleme berhasil dilumpuhkan oleh
operasi gabungan TNI/Polri hanya dalam 12 hari. Tetapi, pelaku kerusuhan di Poso,
tidak pernah tuntas. Kerusuhan demi kerusuhan terus berlanjut, dan korban manusia
terus berjatuhan. Mengapa pola operasi Morowali tidak diterapkan di Poso?
Menurut kita, kerusuhan Poso hanya mungkin diatasi kalau dalang kerusuhan
ditangkap. Karena itu, kita sependapat dengan Tobondo bahwa aparat mestinya
memeriksa orang yang tidak jelas statusnya di Kabupaten dan Kota Poso. Kalau
perlu, lakukan operasi KTP, termasuk kelurahan/desa yang mengeluarkan KTP
melampaui batas kewajaran.
Last modified: 2/4/04
|