SUARA PEMBARUAN DAILY, 8 Mei 2004
Orang Kristen Ambon Bukan RMS
Andreas A Yewangoe
DENGAN meletusnya konflik Ambon terbaru yang dipicu oleh pengibaran bendera
RMS oleh FKM tanggal 25 April 2004 lalu, maka kemungkinan memberi stigma baru
kepada pihak-pihak yang berkonflik itu sangat besar. Memang berkali-kali para
pejabat negara menegaskan, ini bukanlah konflik agama. Namun yang terjadi di
lapangan justru simbol-simbol agama yang dijadikan sasaran.
Mengapa rumah-rumah ibadah dibakar, mengapa Universitas Kristen dijadikan target,
dan sekian banyak mengapa lainnya. Kalau konflik itu memang sekadar konflik
horizontal antara yang menyebut dirinya "pro-NKRI" dan yang "pro-RMS", mengapa
lalu pembunuhan-pembunuhan terjadi dengan ledakan-ledakan bom, granat dan oleh
para snipers? Banyak ahli berpendapat bahwa keterampilan menembak jitu tidak
mungkin dilakukan oleh orang-orang yang keterampilannya pas-pasan. Maka ini
mestinya dilakukan oleh yang sungguh-sungguh professional.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah, bahwa secara sangat dangkal dan
semena-mena RMS diidentikkan dengan komunitas Kristen, sedangkan pendukung
NKRI diidentikkan dengan komunitas Muslim. Bahkan tidak kurang dari Radio BBC
Siaran Indonesia, menyifatkan gerakan separatisme Alex Manuputty ini sebagai
separatis Kristen.
Dengan stigmatisasi seperti itu, lalu terbentuklah opini bahwa boleh saja komunitas
Kristen diserang dan harta bendanya dimusnahkan. Bukankah mereka separatis?
Dan semua tindakan "membela" NKRI lalu menjadi legal dan sah. Tetapi dengan
melakukan itu, sudah dilecehkan satu aspek penting dalam penegakan hukum, yaitu
bahwa seseorang (atau siapa pun dia) tidak boleh mengambil hak pengadilan di
dalam tangannya sendiri.
Yang menarik perhatian, justru bahwa ritual pengibaran bendera RMS itu telah terjadi
setiap 25 April setiap tahun. Tetapi pada waktu itu, terkesan alat negara lebih siap
mengantisipasinya, sehingga bendera-bendera yang telanjur dikibarkan, dengan
segera diturunkan. Kendati di dalam masyarakat ada kegelisahan, namun tidak
sampai menimbulkan konflik.
Kali ini alat-negaranya terkesan "lamban" mengantisipasinya. Bahkan Moses
Tuanankotaa, Sekretaris Jenderal FKM dibawa dengan berjalan kaki ke Polda, yang
lalu menarik perhatian banyak orang, dan lalu terbaca sebagai sebuah pawai. Itu
menimbulkan iritasi di pihak yang menamakan diri "Pembela NKRI", sehingga
bentrokan pun terjadi. Ceritera selanjutnya kita sudah tahu.
Gerakan Moral
Saya masih ingat, ketika rombongan Gerakan Moral Nasional Indonesia, yang terdiri
dari tokoh-tokoh lintas-agama mengunjungi Ambon tahun 2002 lalu, salah seorang
Pemuka Komunitas Kristen mengucapkan selamat datang dengan mengawali
kata-katanya kurang-lebih sebagai berikut: "Selamat datang di Maluku, bahagian
integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia".
Dari dialog-dialog yang terjadi selama perkunjungan itu sangat jelas bahwa orang
Kristen Ambon tidak mau dilabelisasi sebagai RMS. Mereka merasa tersinggung
dengan stigmatisasi seperti itu, sebab selama ini mereka merasa setia kepada NKRI.
Mereka mendesak supaya diberitahukan kepada seluruh bangsa Indonesia bahwa
mereka bukan RMS, dan bahwa mereka adalah bagian integral dari NKRI.
Segera setelah pertemuan itu, terjadilah wawancara dengan KH Hasyim Muzadi,
Ketua rombongan. Beliau menegaskan bahwa orang Kristen Maluku bukan RMS.
Pernyataan ini lalu menjadi headline berbagai surat khabar lokal pada waktu itu.
Tentu saja kehadiran RMS meresahkan setiap orang yang setia kepada NKRI. Itulah
juga yang dirasakan ketika kami mengadakan dialog dengan umat Islam di mesjid
Alfatah pada perkunjungan itu. Bahkan ada yang meng"ancam" akan mengadakan
pembalasan dan perlawanan fisik apabila FKM/RMS terus melanjutkan rencana
perayaan Ultah RMS pada 25 April 2002 itu. KH Hazyim Muzadi merespons
kegelisahan itu dengan sangat arif. Beliau mengatakan kurang-lebih bahwa kalaupun
sungguh-sungguh perayaan itu hendak dilakukan, maka adalah tugas negara untuk
menyelesaikannya. Bukan sendiri-sendiri, yang lalu bisa mengakibatkan khaos dan
anarkhisme di dalam masyarakat.
Bukan Gerakan Agama
Menyikapi peristiwa yang baru saja terjadi di Ambon, di mana stigmatiasi dengan
sangat mudah dibuat, maka perlu dijelaskan kepada masyarakat bahwa RMS yang
diproklamirkan pada 25 Mei 1950 itu bukanlah sebuah gerakan agama. Gerakan itu
tidak bermaksud mendirikan sebuah republik atas dasar agama Kristen. Menurut
catatan sejarah, proklamasi itu dipicu oleh apa yang disebutnya tindakan sepihak
Republik Indonesia (yang pada waktu itu terdiri atas Jawa, Madura dan Sumatera)
membatalkan hasil Konferensi Meja Bundar yang sesungguhnya menyerahkan
kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Tetapi, demikian dikatakan
Bung Karno memproklamirkan terbentuknya NKRI pada 17 Agustus 1950. Hal itu,
dalam pandangan para pendiri RMS bukan saja mengkhianati Perjanjian KMB, tetapi
juga bertentangan dengan perjanjian-perjanjian sebelumnya yang merupakan dasar
KMB, yaitu "Perjanjian Linggajati", 25 Maret 147, di mana ditetapkan penentuan nasib
sendiri bagi setiap komponen bangsa di Nusantara; dan "Perjanjian Renville" tahun
1948, di mana penentuan nasib sendiri itu lebih dipertegas lagi.
Maka mendahului itu, pada tanggal 25 April 1950 diproklamirkanlah berdirinya
Republik Maluku Selatan di Desa Tulehu. Menyusul pembentukan RMS itu terjadilah
rentetan perundingan. Bung Karno mengutus Dr. J. Leimena ke Ambon untuk
mengadakan pendekatan dan perundingan. Sayang beliau tidak diizinkan turun ke
darat, sehingga beliau pulang dengan tangan hampa ke Jakarta. Maka pilihannya
adalah melancarkan opreasi militer yang berkepanjangan.
Dalam seluruh proses terbentuknya RMS ini jelas umat Kristen Maluku tidak
menyetujuinya. Dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu, Ketua Synode Gereja
Protestan Maluku, Pdt I.W.J.Hendriks menyatakan bahwa tahun 1949 GPM secara
sangat jelas mengadakan ibadah syukur terhadap kehadiran NKRI sebagai anugerah
Tuhan. Sebaliknya, ketika pada tahun 1950, pihak RMS meminta GPM memimpin
ibadah syukur yang sama bagi kehadiran RMS, Ketua Synode pada waktu itu,
Pendeta Mataheru menolak dengan tegas.
Negara Kesatuan
Uraian historis ini memang mestinya dilakukan oleh ahli-ahli sejarah. Demikian juga
interpretasi terhadapnya, untuk menentukan apakah berdirinya RMS itu legal atau
tidak sebagaimana dikemukakan oleh para pendirinya. Dari kaca mata NKRI, jelas
RMS tidak legal, dan karena itu dilihat sebagai tindakan pemberontakan. Proklamasi
17 Agustus 1945, yang didukung oleh para pendiri bangsa ini, termasuk tokoh-tokoh
Maluku pada waktu itu jelas memperlihatkan bahwa negara yang dibentuk adalah
negara kebangsaan yang berbentuk kesatuan.
Saya kira kita semuanya juga berpendirian seperti itu.
Tetapi terlepas dari persoalan tafsir-menafsir itu, kita mau menegaskan agar kita
jangan terlampau cepat kita membuat stigmatisasi yang berbahaya. Bahwa RMS
diproklamirkan di Desa Tulehu, sebuah desa Islam, dan kenyataan beberapa menteri
di dalam pemerintahan RMS itu beragama Islam makin memperjelas, bahwa
persoalan agama tidak merupakan prioritas di sini. Penyerangan TNI ke Maluku yang
dipimpin oleh Kolonel Kawilarang, seorang Kristen dari Minahasa, dan Letkol Ignasius
Slamet Riyadi seorang Katolik dari Jawa, yang bahkan gugur di sana makin
memperlihatkan watak pembentukan RMS yang jauh dari persoalan agama.
Menarik untuk dicatat wawancara dengan mantan Menko Kesra Jusuf Kalla di Harian
Kompas beberapa waktu lalu, bahwa timbulnya FKM (demikian juga hadirnya Laskar
Jihad) bukan sebab tapi akibat. Ini mestinya menjadi renungan kita bersama, apakah
tidak ada yang salah dengan negara dalam menangani persoalan Maluku yang
berlarut-larut itu? Thamrin Tomagola, juga dalam harian yang sama bahkan
menegaskan bahwa peristiwa terbaru Ambon ini adalah korban kegagalan negara.
Maka timbulnya gerakan seperti FKM/RMS tentu saja harus disesali (sekarang
pentolan-pentolannya telah ditangkap!), tetapi sekaligus juga mesti mendorong para
pejabat negara untuk merenungkan secara mendalam dan dengan suara hati yang
bersih serta kejujuran bagaimana sebenarnya pelaksanaan kebijakan di daerah ini,
baik sebelum masa konflik, lebih-lebih lagi selama masa-masa konflik. Tentu saja
kewajiban negaralah untuk menumpas setiap gerakan separatis yang ada.
Tetapi akan jauh lebih arif apabila negara juga meneliti secara baik dan mendalam,
apakah gerakan-gerakan seperti itu ada sebagai upaya sungguh-sungguh untuk
memisahkan diri dari NKRI, ataukah sekadar hendak menarik perhatian agar keadilan
sungguh-sungguh diberlakukan. Maka kearifan dan kelapangan dada para pejabat
negara sungguh sungguh dibutuhkan di sini.
Membuat stigmatisasi terhadap golongan agama tertentu, dan dengan demikian
melapangkan jalan dan melegalkan berbagai upaya kekerasan dan pembunuhan,
apalagi yang dilakukan oleh warga sipil (bersenjata), bukanlah tindakan pengayoman
dalam sebuah negara yang menjadikan kemanusian yang adil dan beradab sebagai
salah satu pilarnya.
Kita harus sungguh-sungguh waspada agar kita tidak terjatuh ke dalam rantai konflik
yang tidak habis-habisnya, yang pada gilirannya akan sangat sulit dipulihkan. Ini
bakal merugikan NKRI yang kita sungguh-sungguh bela eksistensinya.
Penulis adalah Ketua PGI.
Last modified: 8/5/04
|