SUARA PEMBARUAN DAILY, 8 Mei 2004
Tajuk Rencana
Utamakan Dialog dan Pembangunan Maluku
TINDAKAN aparat keamanan dalam mengantisipasi konflik jilid II Ambon, Maluku,
antara lain: menyerbu rumah tokoh-tokoh FKM-RMS (Front Kedaulatan
Maluku-Republik Maluku Selatan). Penyerbuan dilanjutkan dengan menyita dokumen,
dua bendera dan poster bergambar Ketua Gerakan RMS Alex Manuputty dan istri,
dan menangkap 11 tokoh termasuk istri dan putri Alex Manuputty. Bersama dengan
Sekjen RMS Moses Tuanakotta dan lainnya, mereka dibawa ke Jakarta dan
kemungkinan besar diadili di Jakarta.
Inilah antisipasi polisi atas FKM-RMS sebagai gerakan separatis. Para pelakunya
harus diusut, diadili dan dihukum. Dalam konteks separatisme, kita mencatat
pernyataan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto bahwa masih ada titik positif
membuat Kota Ambon damai. Resepnya: masyarakat Maluku harus bersatu
menghadapi FKM-RMS sebagai musuh bersama, karena mereka sebagai gerakan
separatis, menjadi penyebab kerusuhan (Pembaruan 29 April 2004).
Dengan logika itu, tokoh-tokoh FKM-RMS harus ditahan dan diadili, karena jelas
mereka menentang negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Provokasi 25 April
2004 jelas menyulut kerusuhan Ambon Jilid II, hampir 40 orang tewas dan ratusan
lainnya terluka. Ucapan menindaki FKM-RMS itu sudah menjadi iktikad dan tekad
mereka yang merasa diri pahlawan dan pembela negara kesatuan. Apakah sikap itu
proporsional dan wajar? Rakyat yang kritis tahu, para pahlawan NKRI termasuk
aparat keamanan belum mampu mengejar para sniper, pembunuh dan penyerang tak
dikenal yang justru menimbulkan banyak korban rakyat sipil. Kapan mereka
ditangkap dan diadili?
DALAM kasus Ambon dan Poso, aparat keamanan jarang bisa menangkap para
tersangka pelaku yang membunuh dan mengacau. Kita sering lupa dan berlebihan
dalam membuat pernyataan. Mengapa kita tidak berupaya berdialog sebelum
FKM-RMS mungkin gemas atas ketidakadilan yang terjadi, sehingga nekad
berprovokasi. Jangan karena merasa pendukung dan pembela NKRI, maka
saudara-saudara yang berlainan pendapat, otomatis kita cap musuh dan harus
diperangi habis-habisan. Operasi militer Aceh dan Timor Timur masih menyisakan
sikap agresi dan otoriter, tanpa mencoba atau setengah hati dalam berdialog dan
berunding.
Tahun 1950-an RMS yang diumumkan oleh Mr Dr ChRH Soumokil, Ir Manoehoetoe
serta Ir Manusama bisa melawan, karena ada dukungan Tentara KNIL dan Belanda.
Pesona gerakan pemisahan diri oleh mantan Menteri Kehakiman Pejabat PM dan
mantan Jaksa Agung NIT Soumokil ini bergulir di tahun 1950-1960an. Manusama juga
pernah menggerakkan warga keturunan Maluku di Belanda pada tahun 1980an.
Tindakannya mengejek KBRI untuk mencari dukungan Belanda dan dunia
internasional sudah lama.ditelan waktu. Greget RMS sebenarnya sudah terkubur
dalam.
NAMUN RMS tiba-tiba muncul dengan gaya mengibar bendera. Kita jadi bingung. Kita
membidiknya dan lupa mencari akar masalah konflik Ambon yang sebenarnya. Kita
tak mampu menyeret para sniper dan provokator. Kita enggan berdialog, maka
memakai jalan pintas, menuding, menangkap, menahan dan menghukum. Kita tidak
belajar bahwa pendudukan militer dan penggunaan kekerasan jarang memenangkan
situasi. Uni Soviet gagal menduduki Afghanistan setelah 10 tahun bercokol dengan
tema mengemban Marxisme dan Leninisme. Indonesia gagal di Timtim, setelah 23
tahun ABRI menduduki wilayah ujung timur tersebut. Sebanyak 100.000 Tentara India
sebagai pasukan perdamaian 1970an terpaksa meninggalkan Sri Lanka dan PM Rajiv
Gandhi tewas terbunuh oleh agen-agen separatis Macan Tamil Eelam.
Setelah setahun operasi Aceh, kita terus disuguhi berita jumlah aktivis GAM/GSA
yang ditangkap dan dibunuh, sementara operasi militer minta diperpanjang. AS pun
sulit menduduki Irak, setelah Presiden Bush menyatakan menang pada 1 Mei 2003.
Kita enggan mengakui bahwa diplomasi amatlah mulia dan lebih canggih, terhormat,
manusiawi daripada main kekuatan, main tangkap dan hukum. Rakyat kritis tetap
bertanya di mana para pelaku kekerasan Poso dan Ambon. Kini kita buat dikotomi
antara separatisme dan NKRI untuk memuaskan diri tanpa meneliti inti konflik
Ambon. Retorika NKRI harus disertai diplomasi, membangun ekonomi rakyat dan
tindakan manusiawi.
Last modified: 8/5/04
|