SUARA PEMBARUAN DAILY, 30 April 2004
Ambon Pecah Lagi
Oleh Steve Gaspersz
KONFLIK terbuka dan aksi kekerasan massa kembali terjadi di Ambon dan meminta
korban jiwa. Pantauan terhadap runutan peristiwa pada tanggal 25 April 2004 dan
hari-hari sesudahnya memberikan indikasi yang kuat bahwa konflik ini bukanlah
konflik spontan antarwarga masyarakat Ambon. Peristiwa ini dipicu oleh berbagai
rumor yang beredar bahwa pada tanggal 25 April 2004 akan terjadi pengibaran
bendera Republik Maluku Selatan (RMS) oleh kelompok tertentu yang menamakan
diri Front Kedaulatan Maluku (FKM).
Tulisan ini tidak berpretensi mengajukan uraian analitis terhadap bergolaknya Ambon
setelah mulai sejuk selama beberapa waktu. Apa yang tertuang di sini hanyalah
suatu kegelisahan ontologis terhadap fenomena konflik dan kekerasan yang
tampaknya semakin mengakar dalam struktur kesadaran kolektif masyarakat Ambon.
Benarkah struktur kesadaran kolektif masyarakat telah terbentuk dalam pola-pola
impulsif yang selalu merespons setiap riak sosial dengan reaksi kekerasan secara
spontan?
Atau telah berlangsung penciptaan konteks sosial yang sedemikian kuatnya
mempengaruhi berbagai relasi sosial masyarakat Ambon sehingga mereka tidak
mampu melakukan resistensi atau distansi kritis terhadap setiap garapan isu-isu
yang mengarah pada tindakan destruktif?
Rasanya terlalu dini untuk berasumsi bahwa ada semacam grand-narrative tertentu
yang sedang disiapkan pasca-Malino II dan kemungkinan memainkan kondisi
keamanan yang masih labil di Ambon untuk kepentingan politik tertentu selama
pengondisian psikologis masyarakat menjelang pemilu presiden. Kendati
kemungkinan tetap tidak terhindarkan mengingat daya eksplosif konflik yang begitu
massif hanya dalam hitungan jam.
Selain itu, kita tidak dapat menafikan kenyataan bahwa kondisi psikologis sosial
masyarakat Ambon yang belum pulih dari trauma konflik selama kurang lebih tiga
tahun turut memainkan peran vital. Paling tidak, kondisi psikologis inilah yang terus
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk tetap menjaga agar intensitas konflik
tetap tinggi. Euforia "Ambon Aman" tentu bukanlah slogan yang menyenangkan bagi
mereka yang masih ingin terus bermain api dan mengeruk keuntungan dari situasi
rusuh di Ambon.
Lagi-lagi RMS
Tanggal 25 April memang merupakan momentum yang paling kritis, khususnya sejak
konflik Ambon pecah tahun 1999. Selama konflik Ambon, tanggal 25 April ini selalu
menjadi momok di kalangan masyarakat sipil di Ambon dan Maluku. Alasannya
sederhana, pengibaran bendera RMS (entah oleh siapa) di beberapa wilayah
permukiman penduduk menjadi legitimasi politis bahwa memang sebagian
masyarakat sipil (yang disegmentasi sebagai warga Kristen) secara nyata telah
diidentifikasi sebagai kelompok separatis dalam format Ne- gara RI. Tentu
stigmatisasi "RMS" versus "kelompok pro-NKRI" (hanya dengan indikator simbolik
berupa bendera) yang didiseminasi oleh beberapa media massa yang meliput konflik
Ambon masih merupakan simpulan yang tergesa-gesa dan harus ditelisik secara
bijak dan kritis. Dan lagi, hipotesis ini perlu diuji berdasarkan kelengkapan analisis
sosial politik yang andal, bukan hanya sekadar terjebak dalam perangkap-perangkap
simbolik. Dalam konteks Ambon kontemporer, "wacana RMS" menjadi peluru tajam
yang siap ditembakkan dalam kondisi sosial-politik-budaya masyarakat Ambon yang
masih gamang.
Benarkah "RMS", dalam bingkai gerakan pemberontakan separatis memang ada di
Ambon? Pertanyaan ini memang sangat terbuka untuk diinterpretasi dari berbagai
segi. Namun setidaknya fenomena munculnya isu dan simbol-simbol RMS yang
diusung oleh FKM harus disikapi sebagai sebuah "wacana", bukan sebagai sebuah
entitas politik riil. Sebagai "wacana", dia dapat dimunculkan oleh siapa saja dan
untuk kepentingan apa saja selagi tersedia konteks sosial yang memadai sebagai
lahan subur berkembangnya wacana tersebut.
Ini berbeda dengan penyikapan terhadap "entitas politik". Entitas politik memang bisa
memainkan wacana tertentu, tetapi dalam format kerangka ideologi, struktur
organisasi yang jelas terumuskan dalam platform organisasi, dan sistematisasi
program untuk mencapai sebuah tujuan dengan dukungan perangkat human
resources yang kapabel. Dalam hal ini, tentu terbuka ruang luas bagi suatu entitas
politik untuk turut memainkan sebuah wacana yang dianggap strategis dan
menguntungkan bagi tercapainya tujuan.
Kalau begitu, apakah FKM bisa disebut sebagai suatu entitas politik? Untuk
menjawabnya dibutuhkan sebuah pencermatan sejarah yang konsisten dan
mendalam, tidak bisa hanya melalui perampatan (generalisasi) yang dangkal. Artinya,
kita sebaiknya menempatkan konsep "RMS" secara substantif pada dinamika historis
dan konteks sosial yang relevan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman
(misunderstanding) atasnya.
Prof Richard Chauvel menyebutkan dalam bukunya Nationalist, Soldiers and
Separatists: The Ambonese Islands From Colonialism to Revolt 1880-1950, bahwa
lahirnya konsep RMS harus dilihat dalam bingkai dinamika politik lokal saat itu.
Dorongan untuk memisahkan diri dari Republik (Indonesia) sebenarnya lebih
didasarkan pada perasaan ketergantungan pada Kerajaan Belanda ketimbang
keinginan untuk merdeka atau otonom.
Para pemimpin dan pendukung GSS (Gaboengan Sembilan Serangkai) yang terdiri
dari para raja (pemimpin negeri), tentara dan pejabat, merupakan kelompok yang
menikmati keuntungan dalam sistem kolonial di Ambon. Mereka khawatir bahwa di
bawah pemerintahan Indonesia yang didominasi oleh orang Jawa, mereka akan
kehilangan posisi dan status di dalam masyarakat lokal, sebagaimana terjadi di
beberapa wilayah kepulauan ini (hlm 233). Keinginan tersebut justru tidak mendapat
sambutan positif oleh W Hoven, komisaris pemerintah untuk Borneo dan Indonesia
Timur. Hoven menilai tindakan itu terlalu prematur dan tidak akan didukung oleh
pemerintah (Belanda), yang malah menilai keberadaan Ambon dalam Negara
Indonesia Timur (NIT) adalah dalam rangka terciptanya keseimbangan politik (hlm
234).
FKM Beda dengan RMS
Apa yang bisa ditarik dari uraian ringkas Chauvel tersebut? Menurut saya, ada
beberapa hal. Pertama, pergulatan dan dinamika politik lokal sangat ditentukan oleh
faktor kepemimpinan elite lokal dan unsur-unsur pendukungnya. Dalam konteks itu,
vested interest para pemimpin lokal mengalami transformasi sebagai keinginan
masyarakat. Ini wajar karena struktur sosial masyarakat Ambon sebenarnya telah
bergeser dari konsep tradisional ke konsep "modern" seperti yang diintroduksi oleh
pemerintah kolonial Belanda. Pergeseran tersebut berimplikasi pada terbangunnnya
struktur kesadaran dan pola-pola kultural masyarakat Ambon yang lebih hirarkis.
Dalam struktur sosial sedemikian, rakyat sama sekali tidak berperan apa-apa.
Kedua, persoalan mendasar yang tidak terselesaikan dalam konstruk ideologi dan
tatanan masyarakat bernama Indonesia sebagai sebuah realitas baru, ialah tidak
digarapnya wacana pluralitas etnik yang menjadi cornerstone bagi bangunan
keindonesiaan per 17 Agustus 1945. Sentimen primordial etnik ini selama masa
kolonial telah menggumpal menjadi bongkah-bongkah identitas yang tidak gampang
untuk ditransformasi dalam konsep Indonesia. Namun di sebelah lain, dalam konteks
pluralitas sosial itu tidak terhindarkan pula dominasi kultural oleh kelompok mayoritas
secara etnis.
Oleh karena itu, sebenarnya "Indonesia" harus dilihat sebagai sesuatu yang belum
usai, atau masih terus dalam proses menjadi. Sebagai yang demikian, konsep
"kesatuan" mesti dipahami dalam dinamika realitas berbangsa dan bernegara yang
cair karena kemajemukannya, tidak bisa dipaksakan secara kaku dan tidak
kontekstual.
Dari sudut pandang historis, FKM memiliki latar belakang dan maksud yang berbeda
sama sekali dari konsep RMS 1950. Oleh karena itu, dia harus disikapi sebagai
"wacana". Kalaupun mau dilihat sebagai suatu entitas politik, dia masih sangat
prematur. FKM muncul dalam situasi konflik yang dirasakan membawa implikasi bagi
terjadinya ketidakadilan oleh negara (Indonesia) dalam masyarakat (Ambon). Sebagai
suatu embrio yang prematur, FKM harus disikapi dengan tindakan tegas dan
sistematik oleh perangkat-perangkat negara yang berkompeten agar tidak membesar
dan malah memperkeruh konflik.
Itu seharusnya dilakukan jika memang negara bermaksud "baik" untuk menghentikan
konflik Ambon. Yang terjadi malah sebuah paradoks. Pada satu sisi, negara
mengklaim bahwa FKM adalah sebuah tindakan makar karena mengusung dan
merekonstruksi kembali simbol-simbol politik yang pernah digunakan oleh gerakan
RMS tahun 1950, namun di sisi lain, negara "membiarkan" FKM makin membesar.
Sebagai Bentuk Protes
Apakah memang FKM telah bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan
pemberontakan seperti yang terjadi tahun 1950? Tentu tidak, karena dia hanya
menjadi besar berdasarkan wacana yang digarapnya dalam suatu ranah kontekstual
negara RI. Jadi yang diperlukan di sini adalah sebuah dekonstruksi wacana (RMS).
Jika hal ini tidak dilakukan, pada titik inilah konflik Ambon tidak akan pernah
mencapai titik pemulihan yang maksimal secara komprehensif, karena pewacanaan
RMS ini tidak ditangani serius oleh negara (se-bagai indikator empirik, kenapa Alex
Manuputty bisa lolos sampai ke Amerika Serikat?).
FKM adalah embrio gerakan protes sosial yang berpotensi menjadi entitas politik.
Namun dia masih sangat prematur sehingga negara sebenarnya sangat mampu
membendung gerakannya. Kenyataannya itu tidak terjadi. Jadi, pertanyaan hipotetik
yang terbersit ialah apakah memang negara tidak merasakan eksistensi FKM
sebagai sebuah ancaman terhadap bangunan sosial politik RI (bandingkan dengan
GAM di mana TNI/Polri all out)?
Padahal kesepakatan Malino II telah secara jelas memposisikan pemerintah atau
negara sebagai pihak yang turut bertanggung jawab bagi proses penyelesaian konflik,
ekses-ekses yang ditimbulkannya dan rancang-bangun perdamaian tiga pihak
(Muslim-Kristen-Pemerintah). Itu berarti pewacanaan isu-isu yang dianggap dapat
kembali mengobarkan konflik kekerasan (yang bermuara pada jatuhnya korban sipil)
harus diisolasi secara ketat dengan tindakan konkrit sebagai implementasi
kesepakatan tersebut.
Dengan demikian, dalam perspektif tertentu, yang menjadi kunci persoalan pecahnya
konflik 25 April 2004 adalah tetap mengambangnya wacana RMS dalam konstruk
politik nasional Indonesia. Dan sekali lagi, sebagai wacana, dia dapat dimanfaatkan
oleh siapa saja dan untuk kepentingan apa saja selagi wacana itu dirasakan strategis
untuk mengkondisikan tercapainya tujuan-tujuan (politik) tertentu.
Dalam sebuah negara yang berdaulat seperti Indonesia, siapakah atau lembaga
apakah yang lebih berkompeten untuk mengeliminasi kemungkinan terbentuknya
wacana seperti ini, selain lembaga-lembaga negara atau negara itu sendiri?
Oleh karena itu, sangat naif bila seluruh kesalahan hanya ditimpakan kepada
"massa" pendukung A atau B. Masyarakat sipil tentu bukanlah orang bodoh yang
dapat dijadikan pion terus-menerus jika ternyata mereka hanya menjadi korban dari
pertikaian yang mereka sendiri tidak pahami.
Tetapi jika kekuatan massa yang tergumpal mengarah pada berbagai aksi destruktif,
tentu harus dipahami dalam konteks yang lebih besar bahwa ada kekuatan
determinan yang tak mampu dilawan. Kalau begitu, sebenarnya siapakah yang
berkepentingan untuk menjaga agar wacana ini tetap terjaga sebagai "bom" yang siap
diledakkan pada saat yang tepat dan dengan efek yang menghancurkan?
Penulis adalah staf Crisis Center PGI.
Last modified: 30/4/04
|