TEMPO, Jum'at, 30 April 2004 | 16:51 WIB
Nasional
Konflik Ambon Diduga Dibiarkan Terjadi
TEMPO Interaktif, Jakarta:Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institut Titian
Perdamaian (ITP), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melihat adanya
kecenderungan kuat konflik di Ambon dibiarkan. Kesimpulan ini diambil setelah
sebelumnya ITP melihat ada dialog antara masyarakat dan Pangdam dan Wakil
Polres Ambon beberapa jam sebelum terjadi kerusuhan tanggal 25 April.
Menurut Ichsan Malik, Direktur ITP yang kebetulan membuat rekaman film tentang
Ambon (24/4), pada diskusi hari ini (30/4), awalnya kerusuhan terjadi di satu kantong
(empat titik) di Kota Ambon. Tetapi secara tiba-tiba konflik meluas ke beberapa titik
setelah munculnya jargon atau kata-kata yang bernuasa sangat nasionalis, seperti
NKRI harga mati.
Konflik menjadi meluas setelah tidak ada penanganan yang efektif dan koordinasi
yang baik antara TNI, Polri, dan gubernur. "Awalnya kerusuhan hanya berupa
lemparan batu, tetapi situasi kemudian menegang dengan adanya statement seperti
tembak di tempat yang dilanjutkan dengan kebakaran," ujar Ichsan saat penayangan
rekaman video Ambon di gedung LIPI.
Selain adanya pembiaran, baik dari pemerintah, TNI, maupun Polri, kata Ichsan,
konflik muncul karena pemerintah tidak becus menangani situasi Ambon
pascakonflik. Seperti penegakan hukum masih tumpul, komunikasi politik antar
masyarakat tidak jalan dan sejumlah agenda penanganan massa konflik terbengkalai.
Padahal pascakonflik sangat penting, tetapi pemerintah lebih mengutamakan
mengamankan pelaksanaan pemilu.
Ketiga institusi menyesalkan adanya pengaitan antara Font Kedaulatan Maluku
(FKM)/ Republik Maluku Selatan (RMS) dan NKRI terhadap terjadi konflik di Maluku.
Menurut mereka sebaiknya FKM/RMS jangan dikaitkan dengan kelompok Kristen
yang berhadapan dengan NKRI yang dikaitkan sebagai kelompok muslim.
Mereka meminta pemerintah maupun aparat yang berwenang segera menjelaskan
siapa yang disebut kelompok pendukung FKM/RMS dan NKRI di Ambon yang
dianggap sebagai pemicu munculnya konflik. "Dua tahun situasi sudah kondusif
setelah pascakonflik, tetapi justru meledak pada 25 April yang dibarengi dengan
munculnya istilah-istilah NKRI dan lain-lain yang bersifat nasionalis," ujar Ichsan.
Ketiga Institusi ini juga menyesalkan sikap media massa lokal Ambon yang ikut
memperpanas suasana. Media lokal dianggap sebagai salah satu penyulut konflik
karena sering mengangkat isu-isu sensitif yang menggugah rasa nasionalisme
masyarakat setempat. Tetapi bagaimanapun ketiga institusi ini berpendapat bahwa
munculnya konflik di Ambon karena didalangi pihak tertentu di Jakarta serta adanya
agenda besar yang akan berlangsung (pemilu presiden). "Patut diduga agenda
pemilihan presiden membawa pengaruh," kata Ichsan.
Dengan munculnya konflik ini, ketiga institusi meminta pencegahan masuknya
kelompok-kelompok bersenjata/milisi dari luar Maluku terutama yang
mengatasnamakan simbol-simbol agama atau alasan untuk mencegah separatisme.
Pemerintah pusat diminta untuk lebih bersikap profesional dan lebih mengutamakan
perbaikan pascakonflik.
Menurutnya, perbaikan pascakonflik jauh lebih rumit dan kompleks disebabkan
hancurnya sistem yang ada. Pemerintah juga harus belajar menangani kejadian yang
luar biasa dan yang lebih penting munculnya pernyataan-pernyataan seperti NKRI dan
RMS jangan dikaitkan dengan agama, seperti NKRI kelompok Islam dan RMS
sebagai kelompok Kristen.
Pemerintah benar-benar ingin menyelesaikan konflik di Ambon sebaiknya tidak hanya
mementingkan keamanan tetapi juga menjalankan birokrasi dan kemanusiaan secara
serentak.
Sunariah - Tempo News Room
Copyright @ tempointeraktif
|