MAJIKAN KECIL
Saat Dika berumur 7,5 tahun, saya melahirkan anak kedua yang
bernama Vika. Karena keadaan ekonomi kami tidak begitu kuat, kami
memutuskan untuk tidak mencari baby sitter baru. Lagi pula kami
melihat Dika
sudah
mulai besar sehingga tidak perlu disediakan pengasuh khusus.
Kamipun memutuskan untuk menggeser pengasuh Dika untuk mengurus
Vika. Untuk menangani tugas-tugas rumah tangga yang lain, kamipun
mempekerjakan
satu
pembantu baru.
Dari sebuah tempat penampungan tenaga kerja, saya menemukan
pembantu setengah tua untuk keluarga kami. Pembantu yang sepuluh
tahun lebih
tua
dari saya itu, berasal dari sebuah desa miskin di Lampung yang
sering dilanda paceklik. Pembantu itu kami panggil bibi, diikuti
dengan
namanya
yaitu : Bibi Sukini. Walaupun orangnya rajin bekerja dan suka
menolong tanpa mengeluh sedikitpun, tetapi Bibi Sukini bukanlah
orang yang pintar. Ada satu hal yang agak menyulitkan kami : Bibi
Sukini buta huruf. Namun melihat kesetiaannya, saya tidak tega
untuk menggantinya dengan pembantu yang lebih "smart". Mau tidak
mau saya harus mengalah dan menerima Bibi Sukini apa adanya.
Saya harus memutar otak untuk mencari cara-cara kreatif supaya
kami bisa berkomunikasi secara efektif dengan Bibi Sukini. Seperti
biasa, saya tidak begitu suka memberikan pesan-pesan lisan secara
berulang-ulang kepada pembantu maupun pengasuh di rumah. Saya
biasanya membuat catatan tertulis supaya bisa dibaca
berulang-ulang. Tetapi
untuk
menghadapi Bibi Sukini, saya harus menggantikan tulisan dengan
tanda atau gambar-gambar yang bisa dimengerti tanpa harus
menjelaskannya berulang kali. Semua alat-alat elektronik, saya
beri gambar orang tidur/telentang untuk menandakan bahwa tombol
dalam posisi off dan gambar orang berdiri untuk menandakan tombol dalam posisi on.
Untuk belanja ke warung atau ke pasarpun, saya harus membekali
Bibi Sukini dengan gambar-gambar. Repotnya, saya tidak begitu
pandai menggambar sehingga yang saya maksudkan gambar cabe, oleh
Bibi Sukini diartikan terong. Yang saya maksudkan gambar jeruk,
oleh Bibi Sukini diartikan tomat dan sebagainya. Kalau Dika sedang
libur, sekolah, saya memanfaatkan jasa Dika sebagai "juru baca" untuk Bibi Sukini. Saya biasanya meminta Dika untuk ikut Bibi
Sukini ke pasar supaya saya
tidak
perlu membuat gambar-gambar.
Seperti orang yang hendak pergi ke pasar sendiri, saya membuat
daftar nama barang yang harus dibeli secara acak, menurut apa saja
yang lebih dulu terlintas dalam pikiran untuk dibeli. Repotnya
Dika membacakan daftar barang itu satu persatu secara urut dari atas ke bawah.
Hasilnya
Dika dan Bibi Sukini kecapaian karena harus beberapa kali memutari
pasar. Tulisan cabe yang tidak berurutan dengan tomat, membuat
Bibi Sukini dan Dika harus dua kali datang ke penjual yang sama,
begitu
juga
dengan barang-barang yang lain.
Ujung-ujungnya Dika menjadi kesal dengan Bibi Sukini yang menambah
kerepotannya. "Dasar beleuguk siak !" dalam bahasa Sunda yang
kasar
Dika
mengumpat Bibi Sukini yang dianggapnya bodoh itu.
"Wah, bagus sekali kata-kata Dika ! Dari kitab apa, ayat berapa
Dika mendapatkan kata-kata itu ? Sampai setua ini, Ibu belum
pernah
menemukan
kata-kata itu dalam Alkitab" saya menyindir Dika.
"Habis, bodoh kayak begitu kok jadi pembantu" protes Dika.
"Justru karena bodoh dia mau jadi pembantu. Kalau dia pintar,
pasti
dia
kerja di kantor atau di pabrik, nggak mungkin mau jadi pembantu
seperti
sekarang !" jawab saya. "Kalau tidak ada orang yang bodoh seperti
Bibi Sukini, kita akan kerepotan karena harus.
"Tapi Ibu khan bisa cari pembantu yang lebih baik dari Bibi Sukini !"
Dika masih belum puas.
"Tuhan menempatkan Bibi Sukini di rumah ini, justru supaya kita
belajar
sabar. Bibi Sukini ditempatkan di sini supaya bisa mengajak Dika
ke pasar. Dengan melihat orang-orang yang bekerja keras dengan
susah
payah
untuk mencari uang, Dika bisa mensyukuri keadaan kita sekarang ini"
saya
berusaha menjelaskan "Bagaimanapun keadaan Bibi, kita wajib
menghormatinya" lanjut saya.
"Masa kita harus menghormati pembantu ?" Dika mempertanyakan.
"Kalau kita hanya bisa menghormati orang-orang yang punya
kedudukan terhormat, itu hal yang biasa. Tetapi kalau kita bisa
menghormati pembantu yang bodoh seperti Bibi Sukini, itu baru
istimewa" lanjut
saya.
Saya pikir nasehat-nasehat saya itu bisa langsung menjadikan Dika
anak yang baik. Tetapi tidak semudah apa yang saya bayangkan. Di
belakang saya, ternyata Dika suka memarahi Bibi Sukini. Sebagai
pembantu, Bibi Sukini tidak pernah protes tetapi justru
memperlakukan Dika seperti majikan kecil yang harus selalu
dilayani. Sampai akhirnya suatu hari saya memergoki Dika yang
memperlakukan Bibi Sukini dengan tidak
hormat.
"Bi..cepat carikan buku catatan Bahasa Inggris Dika !" perintah
Dika dengan suara keras.
"Bukunya yang warnanya apa, Mas ?" tanya Bibi Sukini penuh hormat.
"Semua buku Dika khan disampul coklat. Bibi tidak bisa mencari
dari warnanya donk ! Bibi lihat saja tulisan di lebelnya" jawab
Dika tidak sabar.
"Tapi Bibi khan nggak bisa membaca !" jawan Bibi Sukini "Mungkin
yang ini ya ?" lanjutnya.
"Bukan ! Itu buku Bahasa Indonesia" jawab Dika ketus.
"Yang ini, Mas ?" tanya Bibi Sukini lagi.
"Bukan ! Itu catatan computer" jawab Dika dengan nada tinggi.
"Atau yang ini ?" Bibi Sukini masih terus membantu Dika mencari
bukunya.
"Bukan ! Itu buku matematika. Bagaimana sih Bi, cari buku begitu
saja tidak bisa !" Dika mulai tidak sabar.
"Terus yang mana, Mas ?" tanya Bibi Sukini tanpa emosi.
"Kalau Dika sudah lihat, Dika nggak bakal nyuruh Bibi mencari !"
kata Dika sewot "Dasar bego !" bentak Dika kemudian.
Saya tidak tinggal diam. Sambil menggendong Vika, saya mendatangi
Dika.
Tangan Dika kemudian saya tuntun supaya ia bisa duduk di kursi
dengan tenang. "Apa yang tadi kamu bilang ?" tanya saya dengan
nada yang
paling
rendah sebagai tanda kalau saya sudah marah sekali.
"Bibi bego !" kata Dika masih dengan rasa kesalnya.
"Kamu tahu nggak berapa umur Bibi ?" saya bertanya. Dika hanya
diam sambil menggelengkan kepala.
"Bibi itu umurnya jauh lebih tua dari Ibu. Jadi walaupun Ibu yang
memberi makan dan membayar gaji Bibi, Ibu wajib menghormatinya.
Bibi sangat menyayangi kamu seperti bibi menyayangi anaknya yang
ditinggal
di
kampung. Sekarang coba bayangkan, kalau Ibu yang menjadi Bibi
Sukini, terus kamu yang jadi anaknya. Kira-kira kamu sanggup nggak
ditinggal berbulan-bulan oleh Ibu hanya untuk melayani majikan
Ibu? Kira-kira bagaimana perasaanmu kalau tahu, Ibumu
dibentak-bentak oleh anak majikannya ?" saya bertanya untuk
menyentuh perasaan Dika. Dika diam saja tetapi sorot matanya masih belum mengakui kesalahannya.
"Kamu harus tahu Bibi Sukini selalu setia melayani kita,
menyiapkan makanan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain sejak
kita masih tidur lelap. Bibi juga harus mengepel, mencuci dan
menyeterika baju-baju
kita
dan juga merapikan rumah kita, sampai ia tidak bisa tidur siang
seperti
kita. Kadang-kadang saat kita sudah tidur di malam hari, Bibi
belum
juga
bisa beristirahat" saya mencoba mengajak Dika melihat jerih payah
Bibi Sukini.
"Tuhan menginginkan kita untuk selalu berbuat baik terhadap siapa
saja.
Tuhan juga ingin kita berbuat baik terhadap orang yang jahat
sekalipun.
Apalagi kamu tahu sendiri kalau Bibi Sukini selalu sopan dan
bersikap baik kepada kita. Sekarang apa hak kita untuk
memperlakukan Bibi
dengan
tidak baik ?" saya masih terus menasehati Dika.
"Habis, Bibi sih..disuruh cari buku begitu saja tidak bisa" Dika
membela diri
"Tuhan menciptakan Dika dengan tangan dan kaki Dika yang lengkap,
buat apa kalau tidak Dika manfaatkan ? Ibu khan sudah berkali-kali
bilang, selama kita masih bisa mengerjakannya sendiri, kenapa pula
harus menyuruh orang lain" saya mengingatkan
"Tapi, kalau bukan untuk disuruh-suruh, buat apa Bibi disini ?" tanya Dika.
"Tuhan menempatkan Bibi disini bukan sebagai budak yang harus
disuruh-suruh untuk melayani majikannya. Bibi ditempatkan di sini
supaya
bisa menjadi teman kita untuk bekerja sama. Karena Bibi bukan
budak
dan
kita bukan majikan, maka kita tidak boleh memerintah, apalagi
membentak-bentak. Karena Bibi di sini sebagai teman kita, maka
kita hanya boleh minta tolong. Walaupun dia sudah mendapatkan upah
atas tenaga yang disumbangkan untuk keluarga kita, kita tetap
wajib menghormatinya" saya masih menasehati Dika.
"Kamu ingat nggak, sejak kamu kecil dulu Ibu selalu mengajarkan
kata yang harus diucapkan sewaktu kita memerlukan bantuan orang lain ?" tanya
saya menggugah ingatan Dika. Dika hanya mengangguk tetapi malu
untuk mengakui bahwa dia telah melupakan pesan saya.
"Ayo.kalau kamu ingat, coba katakan" tanya saya.
"Harus menggunakan kata tolong" jawab Dika.
"Nah, itu pintar ! Lain kali, kamu bisa lebih sopan lagi dan
bilang 'Bi, tolong carikan buku Dika' supaya Bibi yang diminta
bantuan itu tidak merasa diperlakuan sebagai budak yang dikuasai oleh majikannya" saya mengingatkan.
Sebenarnya Dika sudah bisa bersikap sopan dan manis terhadap guru
dan teman-temannya di SD maupun di sekolah minggunya. Tetapi
seperti anak-anak kecil yang lainnya, Dika sesekali merasa bahwa
dirinya
majikan
kecil atas pembantu atau pengasuh yang ada di rumahnya. Untuk
memperingatkannya, sayapun membuka "Buku Pendidikan Kasih" yang
bernama
Alkitab untuk menasehatinya.
"Raja Salomo yang bijaksana itu mengingatkan : Siapa menindas
orang yang lemah, menghina Penciptanya, tetapi siapa menaruh belas
kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia" kata saya sambil
mengutip Amzal
14
: 31. Untuk semakin meyakinkan Dika, saya juga mengutip Amzal 17 : 15. "Siapa mengolok-olok orang miskin menghina penciptanya; siapa gembira karena suatu kecelakaan tidak akan luput dari hukuman"
"Berarti kalau Dika membentak-bentak Bibi, sama saja Dika menghina
siapa ?" tanya saya.
"Tuhan" jawab Dika singkat.
"Ya ! Kalau Dika menghina Sang Pencipta, berarti Dika tidak
mengasihi Tuhan" saya menjelaskan dalam bahasa anak-anak "Nah,
sekarang coba tolong Dika baca Matius 22 : 36-40 !" pinta saya
kepada Dika. Dikapun tidak menolaknya.
"Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat ? Jawab
Yesus kepadanya : 'Kasilihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap
hatimu dan
dengan
segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang
terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua yang sama dengan
itu ialah : Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab
para nabi" Dika membaca Alkitab dengan lancar.
"Jadi kalau Dika menghina Bibi Sukini, berarti Dika melanggar
hukum yang mana ?" saya mencoba mengetes.
"Kedua-duanya!" jawab Dika.
"Dika juga tidak ada gunanya mempelajari Hukum Taurat atau
kitab-kitab para nabi, kalau Dika tidak tunduk pada kedua hukum
tersebut" kata
saya.
"Nah, karena Dika tadi sudah terlanjur menghina Bibi, apa yang
harus kamu lakukan ?" tanya saya. Dika diam saja. Sebenarnya Dika
tahu kalau saya mengharuskan Dika untuk meminta maaf secara
jantan, setiap kali dia melakukan kesalahan. Tetapi meminta maaf
kepada orang yang disebut pembantu, bukanlah hal yang mudah bagi Dika.
"Ibu tahu, Dika tidak mau minta maaf kepada Bibi, karena Dika
pikir kedudukan Bibi di sini hanya sebagai pembantu. Sikap Dika
yang seperti itu namanya tinggi hati. Nah, Dika tahu apa akibat dari tinggi hati ?" tanya saya. Dika masih terdiam saja.
"Raja Salomo pernah berkata bahwa 'Tinggi hati mendahului
kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan" kata
saya sambil
mencuplik
Amzal 18 : 12. Dika masih saja diam.
"Dika pilih dihormati atau direndahkan orang ?" saya bertanya
terus mendesak Dika.
"Dihormati !" jawab Dika singkat.
"Nah, coba sekarang Dika baca Amzal 22 : 4 ini !" kata saya sambil
menyodorkan Alkitab ke tangan Dika.
"Ganjaran kerendahan hati dan takut akan Tuhan adalah kekayaan,
kehormatan dan kehidupan" Dika membaca ayat yang saya tunjukkan.
"Nah, Dika anak pintar khan ? Jadi tahu dong apa yang harus
dilakukan ?" saya terus mendesak dengan bahasa yang halus. Dikapun
segera mendatangi Bibi Sukini dan menyodorkan tangannya tetapi
masih dengan muka masam.
"Bi, jangan lepaskan tangan Dika, sebelum Dika tersenyum !" kata
saya agak berteriak. Bibi Sukinipun hanya bisa menuruti kata-kata saya.
Dengan agak terpaksa, Dikapun tersenyum walau tidak semanis biasanya.
"Nah, kalau tersenyum seperti itu khan lebih bagus ! Tapi lebih
bagus lagi kalau Dika mau tersenyum lepas, nggak usah
ditahan-tahan. Gih
ngaca
sana !" kata saya "Di depan kaca, Dika bisa mencoba beberapa gaya
senyum. Nanti Dika pilih, kira-kira gaya senyum yang bagaimana
yang menurut Dika bisa membuat muka Dika kelihatan lebih cakep" lanjut
saya.
Dika lari ke kamarnya. Saya tidak tahu apa yang dilakukan Dika di
kamarnya. Saya hanya tertawa geli ketika membayangkan Dika yang
bertubuh
kecil, pendek dan berkulit hitam itu menuruti ide gila saya untuk
bereksperimen memilih gaya senyum yang paling OK.
Dika adalah potret dari sebagian "majikan kecil" yang sering
memperlakukan pembantu dengan tidak hormat. Para pembantu dalam
rumah tangga (tak terkeculai rumah tangga Kristen) sering berada
pada posisi marginal. Majikan mereka yang sering kali
memperlakukannya dengan
tidak
manusiawi, telah membuat hak-haknya terampas. Lebih parah lagi
kalau kata-kata dan perlakukan kasar dan tidak manusiawi dari sang
majikan
itu
dijiplak oleh "majikan kecil".lengkap sudah penderitaan para pembantu.
Sering kali kita sebagai orang tua telah mengajarkan anak-anak
untuk menghargai orang lain (orang tua, saudara, guru, pendeta,
teman,
dsb),
tetapi kadang-kadang kita lupa bahwa anak-anak juga harus belajar
menghargai dan menghormati pembantu, demi kebaikan anak-anak itu
sendiri.