SAYA BISA LAKUKAN TANPA PRIA
Karena saya adalah anak sulung
dalam keluarga yang semua
adalah perempuan, saya tumbuh menjadi sosok pribadi yang mandiri. Saya
tidak pernah membiarkan diri saya bergantung dengan
yang namanya pria. Saya
merasa tanpa pria sekalipun saya tetap bisa
menjalankan kehidupan saya apa
adanya.
Dalam lubuk jiwa Windy tertanam konsep yang salah.
Mungkin karena latar belakang keluarga yang
lebih suka dengan anak
laki-laki, sehingga saya merasa seandainya saya
menjadi seorang laki-laki
maka saya akan lebih berharga bagi keluarga.
Windy kemudian tumbuh menjadi pribadi yang lebih
suka memimpin dan
mendominasi orang, termasuk para pria di sekitarnya.
Tanpa disadari, sikap
ini ia bawa masuk dalam bahtera pernikahannya.
Namun keburukan mulai
terjadi ketika segala sesuatunya haruslah Windy
yang memegang kendali.
Menjadi wanita yang terbiasa mendominasi membuat
Windy sulit menerima
kelemahan dan kekurangan suaminya. Bagi Windy,
Hendrik Hidayat, suaminya
harus menjadi suami yang sempurna dan harus mengerti
semua keinginannya.
Saya rindu sekali untuk mendapat kejutan, entah
itu di hari ulang tahun
saya atau di hari ulang tahun pernikahan saya, atau
saya bisa mendapatkan
setangkai bunga mawar atau bunga yang lain.
Yang membuat saya merasa
berarti sebenarnya bukan bunganya, tapi yang
membuat saya berarti adalah
usaha yang dilakukannya, usaha yang dilakukan oleh dia
untuk membayar harga
pergi ke mall untuk membeli bunga yang bagus dan
membawanya pulang ke
rumah. Tapi hal itu yang saya tidak pernah
dapatkan dari Hendrik, suami
saya.
Selama ulang tahun pertama hingga keenam pernikahan
kita yang jatuhnya di
bulan September yang bertepatan dengan ulang tahun
saya, tidak ada tahun
yang kami lewati tanpa konflik yang besar. Selalu
kami mengalami konflik dan yang menjadi masalah adalah hadiah kejutan
seperti ini. Kejutan itu
tidak pernah saya dapatkan.
Perlakuan dan sikap Windy yang selalu menuntut
membuat Hendrik hidup dalam
tekanan. Dengan alasan menghindari konflik
Hendrik cenderung bersikap
pasrah dan menerima semua keputusan yang dibuat
istrinya.
Selama enam tahun itu saya tidak pernah
mengambil keputusan yang
benar-benar mutlak. Contohnya waktu anak saya menanyakan kepada saya :
'Papi bolehkah saya makan es krim?'.
Sebenarnya sebagai kepala keluarga saya bisa
mengatakan 'boleh' atau
'tidak'. Tapi yang saya lakukan adalah: 'Nak, coba
tanya mami'.
Kenapa saya mengatakan seperti ini? Sebab ketika
saya mengatakan 'boleh'
dan istri saya bilang 'tidak boleh' maka kami akan
mengalami konflik.
Ada juga beberapa kejadian lain seperti untuk
menentukan warna dari pakaian
saja saya tidak berani. Ketika saya mau membeli
sesuatu, contohnya pakaian,
ketika saya sudah pilih dan akan membelinya, istri
saya akan mengatakan
bahwa pilihan saya tidak bagus. Kalau saya
tanyakan dia: 'Kenapa tidak
bagus?', istri saya hanya mengatakan: 'Kalau saya
bilang tidak bagus, ya
tidak bagus'. Kalau saya teruskan hal ini maka akan
terjadi konflik.
Sampai suatu ketika Windy mengikuti program
pelatihan wanita bijak yang
membahas tentang fungsi dan peranan wanita dalam
sebuah keluarga. Melalui
program ini Windy baru menyadari bahwa ia harus
menerima keberadaan dirinya sebagai wanita dan harus belajar untuk lebih
menghargai suami sebagai
pemimpin dalam suatu keluarga. Tuhan berkata-kata
dalam hati Windy.
Saya ingat sekali hari itu Tuhan bilang pada
saya: 'Apakah saya mau
melepaskan apa yang menjadi kerinduan saya selama ini
yang akhirnya menjadi
ganjalan dalam kehidupan rumah tangga saya,
walaupun mungkin bagi orang
lain hal seperti itu adalah kecil? Apakah saya mau
serahkan semuanya itu
kepada Tuhan'. Waktu itu saya bilang pada Tuhan bahwa
saya 'mau'.
Saat itu juga saya bilang pada Tuhan: 'Ok Tuhan,
saya janji. Saya janji
bukan pada diri saya tapi kepada Tuhan. Ok, Tuhan
saya janji tidak akan
tanyakan lagi mengenai bunga, saya tidak akan
menanyai lagi tentang
kejutan. Saya akan belajar untuk menerima Hendrik itu
apa adanya.'
Ketika Windy memutuskan untuk tidak lagi menyatakan
keinginannya tentang
kejutan yang tidak pernah didapatkannya, tanpa
sepengetahuan Windy, Hendrik
dan anak-anaknya membawakan bunga Rose Belanda
kesukaan Windy saat menjemput Windy setelah mengikuti program wanita
bijak. Momen inilah yang
menjadi momen awal pemulihan keluarga. Windy merasakan
kesegaran baru dalam
hidupnya.
Seperti ada air yang mengalir di hati saya. Dan
itu saya rasakan hingga
detik ini. Saya amat hargai apa yang sudah dia lakukan
buat saya.
Kini Hendrik Hidayat telah menjadi kepala keluarga
sejati.
Ketika istri saya dipulihkan, otoritas yang
sebelumnya tidak pernah
dilakukan, menjadi imam dalam keluarga yang tidak
pernah saya jalankan, itu
dikembalikan dan dipulihkan oleh Tuhan.
Achen, teman Windy menyaksikan perubahan sahabatnya.
Windy yang saya kenal dulunya adalah orang yang
sulit sekali tunduk pada
suaminya. Dia merasa bahwa dia adalah orang yang
paling benar. Saya juga
sering melihat Windy marah pada suaminya, Hendrik dan
mengelurkan kata-kata
yang menurut saya tajam dan juga menyakitkan.
Tetapi setelah Windy
mengetahui kebenaran akan Firman Tuhan, saya melihat
perubahan yang nyata.
Windy yang sekarang menjadi lebih lembut.
Windy menjadi manusia yang baru sama sekali.
Saya sekarang telah jauh lebih mampu menghargai
Hendrik sebagai suami saya,
sebagai imam dan kepala dalam rumah tangga saya.
Bahwa dia adalah pemimpin
dalam keluarga saya. Bahwa saya sebagai
istrinya, tugas saya adalah
mendampingi dan menolong dia pada saat dia
membutuhkan pertolongan dan
dukungan dari seorang istri.
Sumber Kesaksian : Windy Hidayat