GATRA, 26 Juni 2007
Abu Rusydan: Aksi Teror Bukan Tanggung Jawab JI
Pemerhati gerakan Islam, Umar Abduh, menyebut Jamaah Islamiyah (JI) kini pecah
jadi tiga faksi. Salah satunya faksi ideologis dengan figur sentral Abu Rusydan.
Sisanya faksi moderat dengan tokoh Abu Bakar Ba`asyir, dan faksi teroris dengan
pentolan Hambali. Faksi Rusydan dinilai konsisten dengan visi awal Abdullah
Sungkar.
Zarkasih dan Abu Dujanah yang ditangkap pekan lalu, menurut Umar Abduh,
termasuk faksinya Rusydan. Mereka tidak sepakat dengan aksi pemboman di
sembarang tempat atas nama jihad. Dilihat rekam jejaknya, Abu Rusydan alias
Thoriquddin alias Hamzah ini terbilang otoritatif untuk menjelaskan Jamaah Islamiyah
(JI) luar dalam.
Ia tercatat sebagai angkatan ke-2 peserta pelatihan di Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan di Sadda, Pakistan. Seangkatan dengan Mukhlas, terpidana bom Bali I
dan Mustafa, Ketua Mantiqi III JI sebelum Nasir Abas (angkatan ke-5).
Pada April 2002, pria kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 47 tahun silam itu,
disebut-sebut diangkat sebagai Pelaksana Harian Tugas Amir JI. Dua tahun
kemudian, April 2004, ia ditangkap polisi. Pengadilan memvonis 3 tahun 6 bulan
karena dianggap melindungi Mukhlas, pelaku bom Bali I. Kini sudah bebas. Biasanya
Rusydan tidak mau gamblang bicara soal JI. Ia cermat memainkan kalimat untuk
berkelit.
Tapi kali ini, ia bicara lebih blak-blakan soal seluk-beluk JI, pola kepemimpinannya,
serta potensi teror dari kalangan JI pasca penangkapan Abu Dujana dan Zarkasih.
Berikut petikan perbincangannya dengan Asrori S. Karni dari Gatra, Selasa lalu.
Penangkapan Zarkasih, selaku Amir Darurat JI, mengungkapkan bahwa JI terus
melakukan regenerasi kepemimpinan. Tanggapan Anda?
Kalau mau melihat sosok JI yang sesungguhnya, harus dilepaskan dulu dari isu
terorisme. Bila masih dikaitkan dengan terorisme, selalu imajiner. JI yang tidak terkait
dengan seluruh aksi terorisme itu hanya efektif dari 1993 sampai 1999, di bawah
kepemimpinan Ustadz Abdullah Sungkar, sampai wafat.
Setelah 1999, secara struktural, JI tidak wujud. Karena tidak pernah diangkat Amir
pengganti Ustadz Sungkar, yang sesuai Syariat Islam dan ketentuan PUPJI
(Pedoman Umum Perjuangan JI). Syariat Islam tidak pernah mengenal istilah "Amir
Darurat" dan "Pelaksana Tugas Harian Amir". PUPJI juga tidak mengatur itu.
Bukankah pengganti Sungkar adalah Ba`asyir?
Setelah 1999, memang ada upaya beberapa anasir JI untuk mengangkat Ustadz
Ba`asyir sebagai amir. Tetapi tidak pernah tercapai kesepakatan yang sesuai PUPJI
dan syariat Islam. Jadi kalau Ustadz Ba`asyir menyatakan bukan Amir JI, itu betul.
Sejak 1999, secara institusional, JI sudah tidak wujud. Tidak ada lagi lembaga JI.
Yang ada anasir JI. Termasuk Ustadz Ba`asyir, saya, dan Hambali, itu anasir JI.
Tidak ada kesepakatan dalam sebuah institusi.
Mengapa JI tak bisa wujud pasca wafatnya Sungkar? Apa kesulitan mencari sosok
sekaliber Sungkar?
Antara lain itu. Sebab lain, tujuan dasar JI yang dikembangkan Ustadz Sungkar mulai
tidak dipahami anasir JI. Salah satu pertimbangan yang penting dipahami, pada 1
Januari 1993, ketika kami memisahkan diri dari NII (Negara Islam Indonesia), alasan
paling mendasar adalah bahwa kami ingin berpikir kongkrit. Kalau kita berangkat dari
"Negara Islam Indonesia", maka syaratnya sudah tidak terpenuhi lagi. Maka kami
mencoba kembali kepada al-Jamaah al-Islamiyah, masyarakat Islami.
Artinya, menanggalkan cita-cita negara Islam?
Cita-cita negara Islam tidak hilang. Yang hilang adalah starting point berpikir bahwa
kita masih punya "negara Islam". Kalau waktu di NII kan kita masih menganut negara
Islam. Dengan memisahkan diri dari NII, maka JI berpikir bahwa titik awal, starting
point kita sekarang dari jamaah.
Orientasi perjuangan beralih dari negara ke masyarakat?
Ya betul. Titik perhatiannya pada dua bidang: pendidikan dan dakwah. Adapan
agenda yang lain-lain masih kita lihat dulu, bagaimana penerimaan masyarakat
terhadap dakwah kita.
Tapi tahun 2001 Nasir Abas mengaku dilantik sebagai Ketua Mantiqi III oleh Ba`asyir.
Berarti, organisasi JI masih beroperasi?
Setelah Ustadz Sungkar wafat, ada beberapa pihak yang mencoba mengangkat
Ustadz Ba`asyir sebagai amir. Tapi tidak merupakan kesepakatan bulat seluruh
anasir yang ada.
Ketidaksepakatan itu karena faktor kapabilitas pribadi Ba`asyir atau gara-gara
Ba`asyir bikin Majelis Mujahidin?
Ustadz Sungkar wafat Oktober 1999. Saat itu, perpecahan anasir JI sudah muncul.
Ustadz Ba`asyir jadi Amir MMI baru sepuluh bulan kemudian, 7 Agustus 2000. Jadi,
ada atau tidak ada MMI tidak berpengaruh terhadap pecahnya personil-personil dalam
JI. Tapi MMI itu semacam mendorong sajalah perpecahan dalam JI.
Ke depan, apakah JI Anda harapan bisa kembali efektif, seperti sebelum 1999?
Kalau secara pribadi, saya berharap begitu. Cuma kenyataannya berbeda. JI itu bisa
wujud karena tiga hal utama. Pertama, adanya kaitan pemikiran dasar, kedua,
adanya kaitan sejarah, dan ketiga, adanya kaitan struktural, berupa institusi yang
efektif.
Sejak 1999, syarat terakhir, yakni kaitan struktural ini tak ada. Maka yang ada
hanyalah anasir JI, yang hanya punya kaitan historis dan kaitan pemikiran dasar saja.
Di tengah struktur yang Anda sebut tidak efektif, muncul pemboman yang aktornya
tokoh JI, seperti Hambali dan Mukhlas. Apa ini penyimpangan dari visi awal JI?
Pemikiran yang dikembangkan JI pada tahun 1993 sampai 1999 sudah jelas, yaitu
pemikiran jihad. Bahwa jihad itu bagian syariat Islam. Cuma ketika mengoperasikan
jihad di Indoneisa, semestinya ada keputusan yang dibuat lembaga kepemimpinan
yang efektif. Tapi karena sejak 1999 tidak ada kepemimpinan yang efektif, maka JI
secara kelembagaan tidak bertanggung jawab terhadap seluruh aksi teror sejak
Oktober 1999. Meskipun pelakunya mengaku orang JI. Mereka memang memiliki
kaitan sejarah dan pemikiran dasar dengan JI. Tapi secara struktural, tidak ada kaitan
lagi.
Bagaimana kebijakan JI dalam penanganan kasus Poso?
Zarkasih dan Abu Dujana mengaku mengendalikan pasokan senjata ke Poso. Kasus
Poso ini meledak sejak 1998, periode yang Anda sebut JI masih efektif.
Rangkaian kerusahan Poso dimulai 1998, ketika JI secara istitusional masih wujud
dan efektif. Kemudian diputuskan, kami wajib membantu kaum muslimin di Poso.
Tahun 1998 kami mengirim beberapa perintis untuk melihat keadaan. Secara
keamanan, ternyata aparat keamanan sudah cukup bisa meredam. Yang belum,
bagaimana memulihkan moral kaum muslimin di sana sehingga kegiatan keagamaan
dan sosial bisa terwujud lagi.
Awal ketika kami ke Poso tahun 1999, khutbah Jumat saja nggak bisa dilaksanakan.
Maka kami datang, dan kami rintis. Akhirnya beberapa kelompok yang lain datang,
hingga akhirnya membuat persoalan yang tidak bisa terkendali. Sampai 1999,
program JI hanya sebatas itu. Kemudian bekembang sampai kini, saya juga tanyakan
hal itu pada Saudara Nasir Abas (mantan Ketua Mantiqi III yang antara lain
membawahi Poso). Di awal program, kami tidak bermaksud melakukan kekerasan,
apalagi sampai melawan pemerintah.
Pengiriman bantuan senjata ke Poso bisa Anda benarkan?
Kita kesulitannya begini Mas, kalau ditanya khusus kasus Poso, dalam pandangan
ajaran Islam, Al-Qur`an surat Al-Anfal ayat 60 menyatakan, bahwa mempersiapkan
kekuatan menghadapi orang kafir itu wajib. Kekuatan apa yang dipersiapkan?
Tergantung apa yang disiapkan orang kafir. Kalau orang kafir di Poso, kaum merah
mempersiapkan bahan peledak dan persenjataan. Itu fakta yang tidak bisa disangkal.
Kita melihat sendiri di sana bagimana orang non-muslim yang membantai kaum
muslimin mempunyai bahan peledak. Untuk memenuhi ajaran Al Quran, kita
mencoba mengimbangi. Cuma persoalannya, kami mau melaksanakan ajaran Islam,
tapi oleh pemerintah kami dianggap sebagai ancaman. Ini perlu dijembatani. Saya
insya Allah, bila diperlukan, bisa menjembatani atau memfasilitasi hubungan antara
para ulama yang setuju jihad dengan cara ini dengan umaro` (pemerintah).
Bagaimana potensi teror pasca penangkapan Zarkasih alias Nuaim dan Dujana?
Dengan tertangkapnya Dujana dan Nuaim, berdasarkan apa yang saya pahami dari
anasir JI, sebenarnya anasisr JI sudah tidak punya kemampuan lagi melakukan aksi.
Noor Din Top, selama ini saya pahami sebagai pelaku lapangan. Dia tidak bisa
menyediakan logistik dan personil sendiri. Dia selalu mencomot anasir JI.
Pasca operasi dia tidak mampu menyelamatkan diri, biasanya mamanfaatkan anasir
JI untuk berlindung. Dengan ditangkapnya beberapa ikhwan ini, kemampuan
operasional mereka sudah nggak ada lagi. Kecuali ada kelompok lain di luar JI yang
memberi fasilitas. Tapi saya tidak menutup kemungkinan adanya hal yang saya tidak
ketahui di dalam anasir JI yang mungkin melakukan itu.
Maksudnya?
Ada persoalan berikutnya. Ada indikasi masalah terorisme ini bisa jadi juga "proyek".
Kalau anasir JI sudah tidak punya kekuatan lagi, kemudian ada pihak tertentu yang
masih menganggap isu terorisme ini sebagai proyek masih layak jual, mereka bisa
mewujudkan proyek itu kemudian mengambil personil dari anasir JI.
Sekarang banyak sekali anasir JI yang bisa digalang oleh aparat keamanan, seperti
Nasir Abas cs. Saya khawatir, di saat kekuatan anasir JI sudah habis dan tak mampu
lagi melakukan tindakan, lalu masih ada anggapan bahwa proyek terorisme laku
dijual, maka mereka akan memfitnah JI lagi. Itu mungkin saja terjadi, tapi saya
berharap tidak terjadi.
Kami yang menekui JI antara 1993 sampai 1999 tak yakin bahwa anasir JI yang
melakukan aksi itu berdiri sendiri. Kami bisa mengukurlah bagaimana kemampuan
kami. Mungkin ada pihak lain yang mendorong mereka melakukan kegiatan, padahal
yang didorong belum siap, atau memang ada maksud membuat kekacauan.
Apa contoh aksi di luar ukuran kemampuan itu?
Contohnya bom Bali I. Kami semua terhenyak. Bukan hanya efek ledakannya, tapi
pilihan tempatnya, itu di luar pemikiran dasar yang selama ini kami berikan.
Sepertinya ada yang mendorong anasir JI melakukan pelanggaran batas yang
ditetapkan, yang selama ini kita berikan. Sasaran sipil itu hanya boleh diserang bila
berbaur dengan militer. Bali I itu murni sasaran sipil, itu sangat mengagetkan. Hal itu
di luar pemahaman syariat yang sudah kami pahami bersama
Tapi bukankah di Bali I ada Mukhlas, yang dikenal ahli fikih, kan semestinya bisa
mengingatkan batasan itu?
Jawaban mudahnya, faktanya memang begitu. Mereka ini pernah belajar keahlian
mengebom, kemudian mereka dituntut oleh syariat, bila mereka tidak pergunakan
keahlian itu sampai luntur, mereka dianggap bermaksiat kepada Allah. Maka mereka
terdorong untuk mengamalkan ilmu yang mereka pahami. Itu hal yang baik, tapi
sekaligus titik lemah untuk bisa dieksploitasi oleh pihak tertentu.
Apakah di komunitas Anda ada mekanisme atau upaya untuk saling menyadarkan
dan mengingatkan?
Nasehat kita berikan selalu. Pihak yang kita hubungi, bukan yang DPO, di antaranya
yang dalam penjara, kita nasehati.
Ada progress penyadaran?
Karena frekwensi hubungan tidak sering, berubah atau tidak, tak bisa kita lihat hari
ini, karena mereka tak bisa melakukan apapun juga. Yang hari ini melakukan aksi
kan mereka yang DPO.
Apakah Anda akan menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru?
Kita inginnya kembali pada akar, pada awal ketika JI mulai diadakan, tapi sulit.
Banyak yang hanya tahu tengahnya, tapi tak tahu awalnya. Namun kaitan sejarah
dan pemikiran dasar dengan JI nggak akan pernah mati sampai kiamat. Karena
proses pendidikan kader-kader Ustadz Abdullah Sungkar ini sudah sangat lama.
Sampai kapan pun orang akan mengingat. Sampai kapan pun orang akan bilang,
kami pewaris JI. Sebagaimana sampai sekarang masih ada orang yang bilang, kami
pewaris NII, DI (Darul Islam), dan TII (Tentara Islam Indonesia).
Copyright © 2002-04 Gatra.com.
|