HarianKomentar.Com, 23 Maret 2007
Prof Dapu: Putusan hakim tidak mewakili rasa keadilan
Vonis Hasanuddin Belum Setimpal Perbuatannya
Vonis 20 tahun penjara terhadap pelaku pemenggalan tiga siswi Kristen di Poso,
Hasanuddin, yang diputuskan PN Jakarta Pusat Rabu (21/03) lalu, mengundang
reaksi keras sejumlah kalangan, termasuk politisi dan akademisi hukum Sulut.
Mereka menilai hukuman itu belum setimpal dengan perbuatan sadis yang telah
dilakukannya.
"Tibo cs tidak terbukti mela-kukan pembantaian tapi di-vonis mati. Tapi Hasanuddin
yang jelas-jelas terbukti melakukan pemenggalan, hanya dijatuhi hukuman 20 tahun
penjara. Ini bukti hu-kum di Indonesia tidak dida-sari atas prinsip keadilan, tapi pilih
kasih," tukas Anggota F-PDS DPRD Sulut, Pdt Belhein Ninia STh, kemarin (22/03).
Menurutnya, vonis 20 tahun penjara kepada Hasanuddin menunjukkan bahwa aparat
penegak hukum tidak lagi objektif dalam menerapkan aturan yang berlaku. Sehing-ga
sudah sewajarnya jika ke-putusan PN Jakarta Pusat pa-tut dipertanyakan. "Kaum
mi-noritas akan terus dirugikan sepanjang hukum tidak didasari atas prinsip keadilan.
Inilah yang sekarang terjadi di Indonesia," ujarnya.
Senada dikatakan Wakil Ketua DPRD Sulut dari Fraksi PDS, Ny Rosye Pandegiroth
Roe-roe. Menurutnya, vonis 20 ta-hun penjara kepada Hasanud-din jelas sangat tidak
setimpal dan terkesan sarat dengan ke-san subjektif. "Masa pelaku pe-menggalan
kepala tiga orang siswi hanya dijatuhi vonis 20 ta-hun penjara. Kalau begitu
sank-sinya, saya kira tidak akan me-nimbulkan efek jera. Malah sa-ya khawatir,
kasus serupa bu-kannya berkurang tapi justru semakin banyak," katanya.
Kritikan tajam juga disam-paikan akademisi Unsrat, Prof Adolf Dapu SH, Toar
Palilingan SH dan Novi Kolinug SH. "Saya bukan penganut teori pemba-lasan. Tapi,
putusan yang dijatuhkan hakim tak mewakili rasa keadilan. Dengan sejumlah tindak
pidana yakni terorisme dan pembunuhan yang melekat pada Hasanu-ddin,
undang-undang menga-tur ancamannya adalah hu-kuman mati. So, mestinya
Hasanuddin divonis mati, sesuai hukuman yang tertinggi," tegas Dapu, mantan Dekan
Fakultas Hukum Unsrat ini.
Menurutnya, rasa keadilan memang relatif. Bagi keluarga terpidana mungkin putusan
20 tahun itu sudah adil. Tapi jika disampling, tentu tidak bagi ma-syarakat umum.
Dapu juga tak mengingkari bahwa ada kepen-tingan tertentu di balik sidang
Hasanuddin. "Namun, meski kasus seperti ini sarat kepenti-ngan politik, seharusnya
hakim dalam memutus suatu perkara menjauhkan diri dari berbagai kepentingan itu,"
imbuhnya.
Senada ditegaskan praktisi hukum Novi Kolinug SH, bah-wa tak ada keadilan dalam
pu-tusan hakim kasus tersebut. "Hakim telah melakukan pemi-hakan hukum bagi
kalangan minoritas dan pertimbangan-nya sangat jelas dipengaruhi kepentingan
politik yang besar dari pusat. Melihat biadabnya perbuatan Hasanuddin, harus-nya ia
divonis mati. Berkaca dari kasus Tibo cs yang justru banyak celah hukum dan tak
terbukti, hukuman bagi Hasa-nuddin, sangat tidak seban-ding," tandas Kolinug yang
juga Deputi Hukum Dewan Pim-pinan Tonaas (DPT) Brigade Manguni ini.
Saking kecewanya, Kolinug menyatakan bila hukuman mati itu hanya diberlakukan
bagi kalangan minoritas, maka hapuskan saja hukuman mati dari KUHP. "Kalau vonis
hakim untuk pemihakan, karena seakan hanya berlaku bagi minoritas, maka
hilangkan saja hukuman mati itu agar adil. Sebab vonis itu sangat ringan untuk
seorang dalang teroris Poso dan terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan
sadis," papar Kolinug.
Sementara pengamat Hukum Toar Palilingan SH mengung-kap, pihaknya sangat
meng-hargai keputusan hakim. Namun, vonis terhadap Ha-sanuddin terbilang ringan.
"Pu-tusan hakim ini sangat disesalkan. Bila dikhawatirkan vonis mati akan ditentang
kalangan aktivis HAM, paling tidak hakim harus memvonis Hasanuddin seumur hidup,
terkait aktifitas terorismenya dan pembunuhan sadis yang dilakukan. Dengan vonis 20
tahun, jelas pasca berjalannya Deklarasi Malino keputusan hakim justru meresahkan
karena tak menjamin rasa keadilan masyarakat," papar Palilingan.
Di sisi lain, Kakanwil Depag Sulut yang juga Ketua NU Drs Halil Domu MSi
menganggap hukuman 20 tahun sudah setimpal buat Hasanuddin. "Negara kita
adalah negara hukum, tidak ada yang tidak kebal dengan hukum. Karena itulah
hukuman tersebut sudah sesuai," tandasnya.
Menurut Domu, proses hu-kum bagi seorang eksekutor yang diakhiri dengan
hukuman 20 tahun, kalau sudah melalui prosedur hukum, adalah su-dah yang terbaik
sesuai proses hukum di negara kita. "Siapa-pun masyarakat di negara kita harus
menghormati proses hu-kum yang berlaku," tegasnya.
Di sisi lain dia menam-bahkan, hukuman tersebut kalau di negara yang mene-rapkan
hukum agama tentu-nya tidak sebanding. Sebab aturan hukum agama khusus-nya
agama Islam, mereka yang melakukan pembunuhan harus dikenai hukuman yang
setimpal.
"Kalau melakukan pembu-nuhan jelas hukuman yang diberikan yaitu hukuman mati.
Ini kalau negara yang mene-rapkan hukum agama," tan-dasnya. (rol/lex/aan)
© Copyright 2003 Komentar Group. All rights reserved.
|