The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

KOMPAS


KOMPAS, Sabtu, 10 Maret 2007

Berhentilah Berjampi-jampi

Rentetan bencana membuat penyelenggara kekuasaan kehilangan nalar. Kok polisi—bukan Komite Nasional Keselamatan Transportasi—menyimpulkan human error sebagai penyebab terbakarnya pesawat Garuda di Yogyakarta?

Setelah kecelakaan AdamAir 1 Januari 2007 muncul pro dan kontra tentang tarif murah versus keselamatan. Namun, hidup jalan terus seperti biasa karena setelah itu banyak pesawat gagal terbang, tergelincir, atau mengalami masalah di udara.

Banyak korban banjir di Jakarta Februari silam! kecewa kepada aparat Pemerintah Provinsi DKI yang tak kelihatan batang hidungnya. Mereka biasanya nongol kalau ada peresmian mal atau acara kunjungan pejabat.

Pemprov memindahkan patung, merenovasi air mancur, membangun busway, atau memungut bayaran dari kendaraan-kendaraan lewat proyek electronic road pricing (ERP). Sibuk cari duit, lupa banjir.

Kebakaran hutan juga masalah lama tanpa solusi. Kereta api anjlok, feri tenggelam, lumpur panas Lapindo, semuanya merupakan man-made disasters alias bencana akibat ulah kita semua—bukan bencana alam.

Cuaca buruk sering dijadikan kambing hitam yang mengakibatkan kecelakaan berbagai jenis transportasi. Gubernur DKI Sutiyoso menuding "fenomena alam" atau banjir kiriman sebagai penyebab banjir.

Teriknya matahari musim panas suka dituduh sebagai penyebab kebakaran hutan. Alam, air, udara, pohon, atau tanah yang tak henti-hentinya memberi tanpa meminta justru kita jadikan sebagai musuh.

Intelijen asing biasanya dijadikan tersangka penyebab meledaknya bom-bom buatan para teroris. Tsunami di Aceh pun konon merupakan hasil uji coba senjata nuklir negara asing dan "Segitiga Bermuda" ala Indonesia telah mencelakakan AdamAir.

Penyakit hilang nalar ini diderita penyelenggara negara dan mewabah ke berbagai lapisan masyarakat. Hanya di sini ada "pengamat intelijen", ahli handphone sekaligus pakar kotak hitam pesawat terbang, penyantet George W Bush, atau ilmuwan gothak-gathuk.

Sejak tahun 2004 nasib negeri ini mirip dengan judul film komedi Hollywood, Nothing but Trouble (1991). Bencana buatan manusia pun menerkam sampai ke Arab Saudi ketika para anggota jemaah haji kita menderita wabah kelaparan.

Solusi nyaris tak ada, kecuali hiburan kata-kata saja. Apa iya para pengembang yang tamak keuntungan mau diwajibkan membangun situ (danau kecil) untuk menghindari banjir?

Sebulan atau dua bulan lagi orang juga akan lupa pada terbakarnya Garuda karena tak mungkin lagi menghidupkan Gatotkaca. Illegal logging terus berlangsung selama cukong, pejabat, dan buruh sama-sama menikmati si rupiah.

Penyakit hilang nalar membuat kita menjadi bangsa pelupa. Itulah sebabnya mengapa pejabat dan politisi kita tak akan kapok berbohong atau melakukan korupsi berjemaah.

Selain man-made disasters, Indonesia sejak tahun 2004 didera berbagai jenis bencana alam. Orang yang paling rasional pun sekarang mulai mengaitkan ketidakharmonisan makrokosmos dan mikrokosmos sebagai penyebab bencana alam.

Waktu kecil saya dilarang duduk di pintu karena bisa sakit dilewati setan. Padahal maksudnya baik, yakni jangan menghalangi orang yang lalu lalang.

Jangan duduki bantal, bokong bisa bisulan. Maksudnya, bantal dipakai untuk kepala, organ terhormat karena di dalamnya terdapat akal.

Setiap rumah pasti mempunyai penunggu, pohon beringin banyak setannya. Kalau menabrak kucing harus berhenti menyopir selama 40 hari—kalau menabrak orang kabur saja.

Kita kaya dengan tradisi gaib, banyak orang sakti mandraguna dan telah mengenal budaya eling (mawas diri) sejak kecil. Tetapi, kok Belanda bisa menjajah kita selama tiga setengah abad ya?

Waktu berkuasa, Pak Harto antara lain dibekali pula dengan kekuatan kelangitan yang bernama Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang pusatnya berada di Goa Semar di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Namun, banyak yang memelesetkan singkatan itu dengan "Sudah Persis Seperti Marcos".

Ada pendapat yang mengatakan, kalau tidak kuat ngelmu, ya Anda jangan coba-coba. Seperti ungkapan dalam bahasa Inggris, I have nothing against it.

Tradisi yang diwarisi turun- temurun itu wajib dipelihara sampai dibawa ke liang kubur. Namun, lain ceritanya kalau ia dibawa ke wilayah pemerintahan.

Nah, kembali ke laptop. Bencana-bencana alam yang terjadi lebih mudah dijelaskan secara nalar daripada gonjang-ganjing pemakaian rekening Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menerima dana dari simpanan Tommy Soeharto di Inggris.

Suka atau tidak, bencana alam merupakan event politik. Ia bisa menjadi katalisator perubahan yang dilancarkan masyarakat yang peduli, yang kadang kala menunjukkan pembangkangan karena terjangkit penyakit hilang nalar tadi.

Kita semua amat lelah didera fenomena Nothing but Trouble karena eksekutif, legislatif, dan yudikatif kurang mampu meresponsnya. Ada usul, pertama, bagaimana jika mereka yang berkuasa istirahat selama enam bulan?

Kalau dalam enam bulan tersebut bencana alam masih terjadi, mereka kita install lagi di jabatan masing-masing. Andai dalam enam bulan tersebut bencana alam berhenti, berarti merekalah yang membuat alam marah.

Ide kedua, mereka dikumpulkan di Monas untuk memohon dukungan dari kita sambil bersumpah takkan lagi mencalonkan diri tahun 2009.

Mungkin cara ini lebih baik daripada jampi-jampi perombakan kabinet atau makna huruf ganjil yang menjemukan itu.

Copyright © 2002 Harian KOMPAS
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/rumah3poka
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044