The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

KOMPAS


KOMPAS, Selasa, 15 Mei 2007

ANALISIS POLITIK

Banyak Fakta Terungkap, tetapi Belumlah Lengkap

Setiap tahun, apabila bulan Mei tiba, banyak kenangan pahit merebak kembali dalam ingatan orang mengenai tragedi yang terjadi pada 12 Mei 1998, dengan terbunuhnya empat mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta. Kejadian itu disusul oleh terjadinya kerusuhan pada hari-hari berikutnya.

Dalam kerusuhan itu tidak kurang dari 1.200 manusia tanpa nama ikut terbunuh dan belasan perempuan dilecehkan, bahkan dilaporkan diperkosa. Itulah hari-hari tatkala Jakarta berada dalam suatu situasi tanpa perlindungan, lepas dari kontrol para penguasa pemerintahan, lalu jatuh ke tangan massa yang tak diketahui dari mana gerangan asal dan arah datangnya.

Itulah hari-hari ketika Jakarta dalam keadaan kosong, tanpa kekuasaan. Dalam keadaan seperti itu, massa pun segera saja secara leluasa bergerak menguasai kota dari penjuru ke penjuru. Jakarta dalam keadaan terdisorganisasi dan kekuasaan pun lumpuh.

Waktu itu tengah terjadi transisi ketika rezim Orde Baru dengan cepat kehilangan legitimasinya. Penguasa otokratis yang bertengger di puncak kekuasaan selama bertahun-tahun telah mulai kehilangan kekuatan penegaknya, lemah lunglai ditinggalkan punggawanya yang semula setia. Sebagian dari punggawanya yang bersenjata malah ditengarai tengah mencoba merebut kendali pemerintahan di tengah situasi tidak bertuan yang kacau-balau itu.

Tentang peristiwa ini banyak fakta telah terungkap, tetapi nyata pula bahwa belum sepenuhnya lengkap. Banyak fakta tetap tersembunyi karena banyak oknumnya yang berkepentingan untuk menutup-nutupi. Data yang diperoleh hasil kerja Tim Ad Hoc Penyelidikan Kerusuhan Mei 1998 bahkan banyak dibantah dari sana dan dari sini. Dokumennya berisi data yang asli konon malah dikabarkan telah hilang, lenyap bagai ditelan bumi.

Gampang mengelak

Maka, apabila demikian itulah kejadiannya saat itu, analisis macam apa pun tidak akan bisa menyimpulkan sesuatu yang berguna untuk arahan kebijakan masa depan. Alih-alih, yang diperoleh hanya distorsi fakta belaka. Belum mampu untuk mengungkapkan kebenaran. Akhirnya yang muncul cuma menambah sejumlah fakta hasil dugaan, yang pada gilirannya hanya akan membikin gosip politik di negeri ini kian marak saja.

Maka pula, apabila data yang akurat dan berketerandalan kurang tersedia, banyak pihak yang sesungguhnya harus bertanggung jawab justru akan gampang dengan sengaja mengelak dari pertanggungjawaban. Untuk kemudian mereka serta-merta menolak segala macam tuduhan. Sementara itu, pihak yang sebenarnya harus dibilangkan sebagai korban justru akan gampang dipersalahkan. Siapa gerangan mereka ini?

Mereka adalah orang-orang kecil, atau kelompok minoritas, yang selalu saja menjadi sasaran fitnah elite politik, baik yang di eksekutif maupun yang di partai politik dan legislatif. Inilah para elite, yang banyak di antara mereka dengan segala ambisinya selalu saja mencoba menyelamatkan citranya dengan cara mencari kambing hitam di luar diri dan kelompoknya. Mencari yang bisa dipersalahkan.

Akhirnya, massa rakyat itulah yang dipersalahkan sebagai perusuh, perampok toko, dan pemerkosa perempuan amoi. Bukankah massa itu tak lain adalah suatu kekuatan tak bernalar, lagi pula tak bernurani, yang asal- muasalnya dari mana lagi kalau tidak dari preman pasar yang tak pernah menghormati hukum negara? Ataukah perempuan amoi itu yang harus dipersalahkan hanya karena mereka terlahir sebagai simbol kehormatan suatu kelompok etnis minoritas yang tak mau mempribumi, yang oleh sebab itu sudah waktunya untuk dicemari dan dirusak kehormatannya?

Inilah model blaming the victim yang dipraktikkan kembali dalam peristiwa tragedi Mei kelabu anno 1988. Bagi saya, dibolak-balik seperti apa pun, dengan dalih apa pun, yang pertama-tama harus dipersalahkan (kalaupun harus dicari siapa yang harus akuntabel dalam peristiwa ini), ya tidak mungkin lain dari para pengemban kekuasaan negara pada waktu itu dan pada waktu ini.

Bukankah mereka itulah yang sesungguhnya harus mengemban amanah konstitusi untuk "melindungi segenap bangsa Indonesia" dan tidak malah menganiayanya secara fisik maupun simbolik. Kalaupun itu tidak dilakukan sebagai bagian dari strategi politiknya yang terencana dan bersengaja, by commission, jelas itu sudah dilakukan selama ini dengan cara membiarkan rakyat terdedah kesulitan yang mendatangkan malapetaka, by ommission.

Soetandyo Wignjosoebroto Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga

Copyright © 2002 Harian KOMPAS
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/rumah3poka
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044