KOMPAS, Rabu, 30 Mei 2007
Akhir Drama Gertak Sambal
M Fadjroel Rachman
Hukum harus ditegakkan di Republik Indonesia! Di depan hukum semua orang setara,
tanpa kecuali, itulah prasyarat (conditio sine qua non) untuk membentuk demokrasi
dan negara hukum (rechstaat).
Jika ada pengecualian untuk warga negara tertentu, dan untuk kasus tertentu, maka
hancurlah bangunan demokrasi dan negara hukum seperti istana pasir disapu
gelombang. Kita akan tersesat dalam hutan homo homini! lupus dan praktik
kekuasaan Machiavelian.
Kita, warga negara, harus melihat kesepakatan perdamaian antara Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dan Amien Rais sebagai kesepakatan perdamaian pribadi
(Kompas, 29/5), sama sekali tidak menghapus kemungkinan perkara hukum terkait
kasus Rokhmin Dahuri dalam korupsi di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP)
atau kasus lain yang melanggar UU No 23/2003 tentang Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden (Pilpres).
Republik tanpa moralitas
Rokhmin adalah pecundang, seorang oportunis yang dikepung banalitas hasrat
berkuasa dengan segala cara, demikian pula sejumlah pejabat tinggi negara lainnya.
Uang negara digangsir untuk membeli kekuasaan pada siapa pun pasangan calon
presiden-wakil presiden pada Pemilu 2004. Sekadar untuk mempertahankan kursi
menteri!
Pertarungan machiavelistik untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan
berlangsung liar seperti membuka kotak pandora kejahatan. Mulailah satu per satu
sasaran rentan dan korup (juga) dipilih dan berjatuhan: Said Agil Husin al Munawar
(Menteri Agama Kabinet Megawati), Widjanarko Puspoyo (mantan Kepala Bulog
pilihan Megawati, dulu kader Golkar yang membelot ke PDI-P), dan Rokhmin Dahuri
(Menteri DKP Kabinet Megawati). Namun, seperti kata pepatah, menepuk air di
dulang tepercik muka sendiri. Berbaliklah semua kejahatan itu dan membasahi bukan
hanya muka si penepuk air, tetapi juga tubuh dan orang-orang di sampingnya.
Perburuan koruptor secara tebang pilih menjerat Rokhmin. Agar tak menjadi korban
sendiri, ia berbalik membawa siapa pun. Siapa terkena? Hampir semua generasi
kepemimpinan politik nasional hari ini!
Rokhmin mewartakan secara terbuka di muka pengadilan, tak seorang pun dari
generasi kepemimpinan nasional hari ini yang kebal dari suap-menyuap, kebal dari
korupsi, meski setiap hari berteriak antikorupsi.
Secara tidak sengaja, Rokhmin membantu Republik membersihkan generasi
kepemimpinan nasional korup dan tak bermoral. Para pemimpin nasional yang tanpa
rasa bersalah mengubah cita-cita Res Publica (urusan umum) menjadi Res Privata
(urusan pribadi). Kepemimpinan nasional yang tak bermoral ini mempermainkan uang
publik, dengan mempertaruhkan nasib RI, taruhan di meja judi politik untuk
kepentingan pribadi, jangka pendek dan parokial.
Inilah kondisi yang layak disebut vacuum of morality power, meski penguasa politik
nasional ada, mereka tidak berkuasa lagi, sekadar simbol seremonial, bahwa
Republik ini memiliki lembaga negara. Sebuah Republik tanpa moralitas!
Kondisi inilah yang terjadi di Indonesia, saat bom atom Amerika menghancurkan
Hiroshima dan Nagasaki, terjadi kondisi vacuum of political power, penguasa politik
Jepang masih ada, tetapi mereka tidak berkuasa lagi. Pada momentum itulah
generasi kepemimpinan nasional baru, seperti Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Tan
Malaka, dan para pemuda, menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Tegakkan hukum
Kemuakan publik atas perilaku korup dan tak bermoral kepemimpinan nasional saat
ini tak membuat mereka merasa bersalah. Ada yang berpura-pura tidak tahu
peraturan pilpres, sumbangan sukarela, hingga nama-alamat pendukung fiktif.
Padahal, buku peraturan pilpres menyebutkan, sumbangan dari individu hanya
dibolehkan Rp 100 juta, bukan Rp 200 juta atau lebih! Jika pelaporan tidak benar,
pada UU No 23/2003 tentang Pilpres disebutkan pasangan calon bersangkutan dapat
dipidana 1 (satu) tahun. Bahkan Panitia Pengawas Pemilu 2004 telah melaporkan
dugaan dana kampanye fiktif yang melanggar UU No 23/2003 itu.
Pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, misalnya, diduga melaporkan
dana fiktif Rp 4,045 miliar, sedangkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf
Kalla senilai Rp 1,625 miliar.
Komisi Pemilihan Umum seharusnya segera melakukan audit dana kepresidenan
2004 kembali, serta memanggil Yudhoyono-Kalla, Megawati-Hasyim, Amien
Rais-Siswono Yudo Husodo, dan Jenderal (Purn) Wiranto-Salahuddin Wahid.
Jangan ragu, apa pun jabatan mereka, semuanya sama di depan hukum, itulah
jantung demokrasi! Kepada penegak hukum, cepatlah bertindak menyelidiki Amien
Rais atau siapa pun yang diungkapkan di pengadilan Rokhmin Dahuri, untuk
kejahatan tindak pidana umum.
Kongkalikong politik
Ketika penegak hukum diimbau harus menyelesaikan skandal politik memalukan ini,
pesimisme menyebar di Tanah Air. Mungkinkah? Semula masyarakat berharap
Amien Rais yang balas menggertak mau "buka-bukaan" setelah digertak Presiden
Yudhoyono. Ternyata keduanya cuma gertak sambal! Sungguh, antiklimaks yang
hambar sekaligus mencurigakan.
Pertemuan yang difasilitasi Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa "tercium" berbau
kongkalikong politik kekuasaan. Tudingan muncul, pasti ada deal, saling beri dan
menerima konsesi. Jika benar demikian, tentu lebih terhormat Menteri Pertanian,
Kehutanan, dan Perikanan Jepang, Toshikatsu Matsuoka, yang bunuh diri (Senin,
28/5) karena skandal korupsi dana politik. Di sini, jangankan ada menteri mundur,
apalagi bunuh diri.
Kepada siapa Republik ini berharap? Kita seharusnya berharap kepada warga negara
yang mencintai Republik ini dan kekuatan generasi kepemimpinan nasional baru. Kita
tidak mungkin menyandarkan keselamatan Republik hanya pada seorang pemimpin
nasional. Republik ini memerlukan satu generasi kepemimpinan nasional baru di
segala bidang, tanpa kecuali.
Sejarah adalah wajah tindakan manusia. Dari tindakan yang berani dan bermoral akan
muncul harapan baru. Selamat jalan generasi kepemimpinan nasional lama yang
korup, rakus, berkuping tipis, dan machiavelistik. Selamat datang generasi
kepemimpinan nasional baru yang akan menegaskan moralitas publik baru di
Republik tanpa moralitas sekarang ini.
M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara
Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|