KOMPAS, Kamis, 22 Maret 2007
Selamat Datang di Republik Hantu
Edna C Pattisina
Tahun ini, layar-layar bioskop kita sudah siap menyambut deretan sekuel film horor
dalam negeri: Jelangkung 3, Pocong 3, dan Kuntilanak 2.
Inilah bintang-bintang paling populer dan "menjual" dalam industri perfilman kita: hantu
dan setan. Selamat datang di republik setan dan hantu!
Mereka muncul dalam berbagai judul. Siap-siap saja akan kedatangan Sundel
Bolong, Gende! ruwo, Kolong Wewe, Hantu Rumah Sakit, dan berbagai judul lain
seperti Lawang Sewu, Malam Jumat Kliwon, Lantai 13, dan Buku Tahunan. Film
tentang hantu suster bahkan dibuat dua judul, yaitu Suster N dan Suster Ngesot.
Pertanyaan yang muncul: mengapa para hantu itu laris? Padahal, hantu-hantu dan
setan-setan yang berkeliaran saat ini dan beberapa waktu lalu di layar-layar bioskop
bukannya hadir dalam film yang berkualitas. Dalam film-film karya sutradara Koya
Pagayo yang telah membuat lebih dari lima film horor, seperti Hantu Jeruk Purut,
jalan cerita tidak menjadi perhatian utama. Cukup dengan bayangan-bayangan hitam
yang muncul tiba-tiba, serta suasana yang selalu gelap baik siang maupun malam.
Film Kuntilanak dari Rizal Mantovani menghadirkan kuntilanak berkaki kuda.
Sementara dalam Pocong 2 karya Rudi Soedjarwo, penonton dibuat terkaget-kaget
dengan pocong muka rusak yang muncul di apartemen. Lentera Merah dari Hanung
Bramantyo menghadirkan sosok hantu yang seram, tapi terbirit-birit dikejar hantu lain
tanpa penjelasan. Film Leak dan Roh yang secara komersial tidak terlalu sukses,
masing-masing hadir dengan kepala terbang dan acara tersesat di hutan yang tidak
kunjung selesai.
Terowongan Casablanca karya Nanang Istiabudi tidak saja jalan ceritanya
berbelit-belit, tetapi juga hanya menempelkan hubungannya dengan terowongan
tersebut di penghujung film. Hantunya juga langsung mengundang tawa ketika
ternyata matanya bisa menyala seperti neon. Sempat hadir adegan beranak dalam
kubur dalam film dengan bentuk yang mirip film- film horor Indonesia puluhan tahun
lalu, sebagaimana disebutkan produser Madhu Mahtani yang pernah membuat Putri
Kuntilanak (1988) dan Tamu Tengah Malam (1989). "Yah, sekarang kan balik ke
zamannya Suzanna," seloroh Shanker RS yang menjadi produser film yang
mengklaim filmnya ditonton hampir satu juta orang.
Kaget bersama
Konon, film horor memiliki pasar sendiri. Penonton mencari sensasi dan kehebohan
bersama ketika hantunya muncul. Acara kaget bersama, teriak bersama, menjadi
ritual yang ditunggu-tunggu, terutama oleh penonton remaja. Setelah itu, pulang
nonton, cerita masih berlanjut lagi dengan mengingat-ingat sensasi itu, saling
mengagetkan, saling menakut-nakuti, dan mengulang sensasi yang sama.
Sutradara Garin Nugroho mengistilahkan hal tersebut sebagai "ruang teriak bersama",
di mana remaja mendapat pemenuhan itu di film horor dan tidak di film-film drama.
Tidak heran, di antara para produser ada yang secara bercanda menyebut angka
keramat 40.
"Katanya, kalau hantunya muncul lebih dari 40 kali, baru film horor bisa laku," kata
Chand Parwez sambil tertawa.
Lepas dari cerita yang sering kali tidak ketat, film horor Indonesia, menurut Garin,
adalah bentuk modern dari tradisi lisan saat kita berkumpul bersama. Masyarakat
kita, bahkan yang sudah fasih dengan simbol-simbol kehidupan modern, sebenarnya
belum bisa lepas dari hal-hal mistis yang masih kental dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini bisa menjadi penjelasan sementara laku kerasnya film-film seperti Pocong 2
dan Hantu Jeruk Purut. Film Bangku Kosong, disebutkan produsernya, Chand
Parwez, mencapai angka sekitar 880.000 penonton. Film itu tetap tegar walau saat
itu harus berhadapan dengan film James Bond Casino Royale. Kuntilanak, menurut
produsernya, Raam Punjabi, mencapai jumlah penonton di atas 1,3 juta orang.
Sebuah angka yang relatif besar, walau masih berada di bawah rekor Jelangkung
(2001) yang mencapai lebih dari 1,5 juta penonton. Sekuelnya, Tusuk Jelangkung
(2002), juga berkilauan dengan 1,3 juta penonton. Angka-angka yang "wah" ini tidak
menutupi kalau ada film- film horor yang tak berhasil, seperti Roh dengan penonton
sekitar 100.000 orang, menurut produsernya, Madhu Mahtani.
"Film horor memang sekarang lagi in, bandingkan Kuntilanak misalnya, dengan film
drama seperti Pesan Dari Surga yang penontonnya sekitar 270.000. Tapi, kita harus
waspadai kejenuhan," kata Raam Punjabi.
Dari jumlah penonton, kita bisa perkirakan berapa rupiah yang diraih film-film ini.
Katakanlah rata-rata harga tiket bioskop mencapai Rp 15.000. Setelah potongan
pajak dan bagi hasil, masing-masing produser mendapatkan pemasukan sekitar Rp
7.800. Jumlah penonton yang satu juta orang membawa pemasukan Rp 7,8 miliar. Ini
belum termasuk pemutaran di televisi yang mendatangkan sekitar Rp 300 juta sekali
putar dan pembuatan VCD yang minimal mencapai Rp 250 juta.
Sementara itu, biaya produksi film horor relatif lebih rendah. Raam Punjabi mengakui,
biaya produksi film drama 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan film horor. Hal serupa
diakui Chand Parwez dan Madhu Mahtani. Kisaran angka pembuatan film horor saat
ini adalah Rp 2 miliar hingga Rp 2,5 miliar, sampai pada kopi film pertama.
Bandingan, contoh ekstrem lain, seperti film Gie yang sebelum pembuatannya
dianggarkan menelan biaya Rp 7 miliar (Kompas, 10 Mei 2003).
Film horor memang relatif bisa lebih murah. Pertama, pembuatan film horor Indonesia
hampir semuanya menggunakan video yang berarti biaya produksinya tinggal
setengah. Selain itu, dengan unsur utama kaget-kagetan, maka unsur-unsur drama,
seperti suara dan gambar, bisa direkayasa di pasca-produksi. Terakhir,
bintang-bintang yang digunakan juga bukan bintang mahal. Selain penghematan, hal
ini dipengaruhi kebutuhan untuk membentuk "dunia sehari-hari".
"Kalau kami pakai bintang yang sudah top, malah jadinya suasana enggak riil,
penonton enggak bisa merasa ini juga bisa terjadi ke dia," kata seorang sutradara.
Legenda urban
Dengan tambang emas yang seperti itu, Shanker menyatakan! , ia sudah siap dengan
enam film horor baru di tahun ini. Chand Parwez menyebutkan dua film, sementara
Raam Punjabi menyebut sekuel Kuntilanak. Walaupun cerita film horor kita tidak
akan jauh-jauh dari hantu penasaran yang balas dendam serta legenda urban, para
produser dan pembuat film tentunya akan memutar otak agar tidak terjadi kejenuhan.
Hal ini, misalnya, terlihat dalam film Koya Pagayo terbaru, Lewat Tengah Malam,
yang secara tidak terduga memiliki bangunan cerita yang memadukan unsur horor
dan drama—setidaknya dalam setengah jam terakhir. Berbondong-bondongnya
sutradara-sutradara baru menggarap film horor semoga bisa membawa darah baru
buat hantu dan setan yang berkeliaran guna melestarikan kemistikan kita. Hiiiii....
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|