The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Masariku Network


Masariku Network, 24 Maret 2007

SiOH Maluku & musik yang bernyawa

Oleh: Siake Manue

"Musik adalah nyawa orang Maluku" (Bob Tutupoly).

Tentunya ungkapan di atas tak berlebihan bila kita menyaksikan concert jazz Maurice Rugebregt, Julia Lo'ko dan band Sioh Maluku di Teater Tertutup Taman Budaya Maluku 7 Maret yang lalu. Repertoar jazz berbasis lagu-lagu lama Maluku dimainkan dengan kekentalan spirit yang terungkap lewat ekspresi wajah, bahasa tubuh, serta aksentuasi setiap kata dan bait lagu yang diaransemen dengan manis. "Mereka bernyanyi seperti ibadah bagi Maluku", demikian seorang teman mengungkapkan apresiasinya pada kami. Hal ini tentunya tak mengherankan, mendengar ungkapan Maurice "waktu kecil beta pernah bermimpi untuk main musik di Ambon, dan kini telah menjadi kenyataan". Menyanyi dan bermusik di Maluku bagi setiap artis berdarah Maluku yang tersebar di luar, laksana kembali ke ruang mistis sangkan paran/asal muasal. Meskipun mungkin ia tak lahir dan besar di Maluku. Malam itu Maurice dan Sioh Maluku Band membuktikannya. Atmosphere mistis terbentuk, seakan keseluruhan concert punya nyawa/spirit. Dan nyawa itu tidak saja berseliweran di atas stage, tetapi menyatu dan mengikat keseluruhan band stage dengan hall penonton yang disesaki oleh lebih kurang 750 orang. Nyawa itu juga yang mendorong Julia berteriak lantang ditengah lagu yg dinyanyikan, "beta pung hati sakit karna besok pagi katong su pulang". Nyawa itu pula yang menumpahkan air mata Maurice Rugebregt dan Norman Pattiwael di penghujung concert, serta menyemangati penonton untuk berteriak "tinggal tarus sampe pagi jua". Orang memang cenderung tak ingin keluar, bila merasa telah memasuki kandungan sangkan paran/asal muasal nyawa bertumbuh. Dan malam itu, baik personil Sioh Maluku Band maupun audience merasa berada didalamnya.

Menyaksikan musik serius sekelas jazz dengan performa international mungkin baru pertama kali di kota Ambon, ungkap Jacky Manuputty sebagai penyelenggara di awal berlangsungnya concert. Karena itu kami dengan berani menyatakan kesiapan kami ketika ditawari pihak Erasmus Huis, sekalipun waktu yang diberikan hanya seminggu, tutur Jacky lebih lanjut. Beruntung Sioh Maluku bisa mengerti dan menerima keterbatasan sound system dan instrumen musik yang diminta mereka untuk disediakan penyelenggara. Mereka bahkan memutuskan untuk menyewa sendiri semua guitar dan perkusi jazz dari jakarta untuk bermain di Maluku. Tentunya seluruh upaya ini patut diacungi jempol, karna pada akhirnya concert dapat berlangsung dengan apik. Ia menjadi menjadi hadiah manis bagi masyarakat Ambon yang miskin pertunjukan bermutu. Sekaligus juga menjadi pembelajaran berharga bagi perkembangan musik dan lagu-lagu Maluku saat ini, yang semakin mengalami degradasi spirit, demi pemenuhan apresiasi segmen pasar kelas laipose goyang patah-patah, atau kelas onozel kas'tunju panta deng pusar. Kemampuan Maurice dan teman-teman Sioh Maluku membangun repertoar jazz berbasis lagu-lagu lama Maluku, membuktikan bahwa lagu-lagu lama di Maluku memiliki strata kelanggengan yang cukup tinggi. Lagu-lagu yang tentunya ditulis bukan semata-mata oleh seorang musisi, tetapi oleh seorang seniman musik. Lagu-lagu yang mengespresikan nyawa seorang seniman musik, dalam kesatuan abadi dengan Allah, lingkungan manusia dan alam sekitarnya. Ah, sayang sekali tribute terhadap almarhum seniman Butje Sapury melalui lagu Gandong ciptaannya, yang dinyanyikan dengan sangat mistis oleh duet Maurice dan Julia tak sempat dinikmati Bung Butje.

Menyaksikan concert jazz Sioh Maluku malam itu kembali menegaskan bahwa bermusik dan mengapresiasi musik merupakan kultur orang Maluku, atau mereka yang berdarah Maluku. Benny Likumahuwa, seniman jazz kawakan asal Maluku pernah menuturkan bagaimana para tetua dulu mengibaratkan Maluku sebagai taman Eden, yang mendorong masyarakat mensyukurinya dengan bernyanyi. Alam Maluku menyebabkan orang bernyanyi, tutur Benny. Angin, laut, ombak, menurut seniman Chris Pattikawa pada kesempatan lainnya, merupakan unsur-unsur alam yang mengajarkan ilmu bernyanyi kepada orang-orang Maluku. Kultur kehidupan pantai dan laut mengajarkan orang Maluku akan ritme. Ilmu ritme itu secara natural terefleksikan dalam musik perkusi Maluku seperti tifa atau totobuang, jelas Bung Chris. Apresiasi yang dalam terhadap alam dan kulturnya membuat banyak lagu Maluku yang bertahan langgeng. Kedalaman apresiasi melahirkan pula banyak seniman musik berkelas, yang turut menentukan trend musik di Indonesia dan bahkan di mancanegara, sebagaimana yang dideretkan Victor Manuhutu dalam tulisan berjudul "Reffrein Sioh Maluku" di media ini sehari sebelumya. Makanya tak heran bila Hajatan musik sekelas Java Jazz Festival 2006 sampai membuat program khusus Moluccan Night, sebagai catatan terhadap kontribusi seniman berdarah Maluku pada musik di Indonesia. Sebaliknya bagi seniman musik asal Maluku yang telah malang melintang di luar Maluku, bernyanyi dan bermusik di Maluku merupakan tribute/penghormatan untuk Maluku. Monica Akihary seniman etno-jazz yang cukup berkibar di Eropa, dalam sebuah kesempatan ketika mengunjungi Maluku akhir Desember 2006 mengatakan "bernyanyi di Maluku merupakan hadiah untuk kami". Hal serupa diungkapkan pula melalui tour manager Group Sioh Maluku Bung Victor Yoseph sebelum mereka tiba di Maluku, bahwa concert di Maluku merupakan puncak tour dari Group Sioh Maluku di Indonesia. Dan malam 7 Maret 07 di Tetaer Tertutup Taman Budaya Maluku, Maurice Rugebregt (guitar, arrangements), Julia Lo'ko (vocals), Norman Pattiwael (percussion, tifa), Han Slinger (double bass), Udo Demandt (drums, percussion) dan Bob Wijnen (fender rhodes piano) telah membuktikannya. Sebuah pembuktian yang sekaligus menghentak segmen musisi dan seniman musik di Maluku, yang sebagian besar memenuhi hall penonton pada malam itu.

Dalam tulisannya, Victor Manuhutu dengan lugas melemparkan pertanyaan "Bisakah insan musik di Maluku menggunakan tampilan Maurice Rugebregt sebagai sarana pembelajaran untuk mencapai standard tinggi dalam bermusik?". Ataukah kita tetap ternina-bobokan oleh kehebatan orang Maluku tempo dulu, serta menyimpan kebanggaan pada cerita nostalgia tentang kehebatan mereka, tutur Victor. Hentakan Sioh Maluku yang diterjemahkan melalui gugatan Victor Manuhutu di media ini, tentunya harus disambut sebagai lecutan yang mendorong musisi-musisi di Maluku untuk kembali berkontemplasi memasuki ruang sangkan paran/asal muasal, tempat nyawa atau spirit bermusik terbentuk dan berkembang. Darinya akan terlahir syair-syair musik dan repertoar dengan struktur yang kuat serta memiliki strata kelanggengan yang tinggi, dan bukan sebaliknya syair-syair kelas laipose kakaringan yang sama sekali tak mendidik. Melaluinya akan bermunculan seniman-seniman khas berkwalitas concert dan festival, dan bukan sebaliknya sebaliknya group-group dan musisi-musisi balaga berkwalitas tacigi. Tentunya berkontemplasi di sangkan paran tidak harus dimengerti sebagai upaya memasuki lorong romantisme masa lalu. Kontemplasi yang dimaksud adalah memasuki kandungan spirit atau nyawa bermusik dalam dimensi kosmologi Maluku, untuk menghidupkan masa lalu dalam kekinian, dan mengapresiasi kekinian untuk masa depan. Kalau Sioh Maluku mampu melakukan kontemplasi dan menghidupkan kembali masa lalu dalam tuntutan kekinian yang elegan dan berkwalitas, maka musisi Maluku di Maluku tentunya mampu juga melakukannya. Toh di Maluku mereka memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengapresiasi nyawa musikal yang hidup didalam originalitas ranah kosmosnya. Bahkan lebih jauh mereka seharusnya dapat mengapresiasi secara dalam dimensi kekinian, dan mengemasnya dalam syair dan repertoar yang kuat, berkwalitas, dan terjamin memiliki kapasitas pelanggengan yang tinggi. Frangky Saihalatua seniman balada asal Maluku pernah mengungkapkan kekecewaannya, bahwa lagu-lagu Maluku yang dibuat saat ini tetap belum memiliki orientasi waktu dan apresiasi yang dalam terhadap kekiniannya. Ia cenderung terjebak dalam romantisme masa lalu, sebagaimana yang ditekankan Victor mengenai nostalgia terhadap kehebatan para penyanyi dan pencipta lagunya. Tentunya kekecewaan Frangky dan performance Sioh Maluku menjadi tantangan tersendiri bagi musisi dan seniman musik di Maluku saat ini. Saatnya untuk bangkit.

Sioh Maluku Jazz Band dan seluruh personilnya telah kembali ke Belanda. Membawa kenangan manis dan gejolak rasa tentang tribute yang mereka persembahkan untuk Maluku. Sementara publik musik di Maluku tetap melanjutkan cerita indah tentang apresiasi mereka bagi Sioh Maluku. Paul Peters direktur Erasmus Huis yang menyertai kunjungan mereka, berucap sumringah pada Jacky Manuputty "this is a good sign Jack". "Kita akan mempertimbangkan untuk menyelenggarakan concert-concert sejenis dalam skala lebih besar di Ambon" janji Paul dalam sambutannya malam itu. Janji yang disambut meriah audience, sambil memberikan standing applaus panjang di penutup concert. Lalu Juliapun bernyanyi, Hio, hio, manutula metenge, manutula mete.... lantun Julia diiringi tabuhan tifa Maurice & Norman, sebagai penutup concert di malam itu. Semua audience serentak bernyanyi, dalam nyawa dan rasa yang satu. Nyawa bermusik orang Maluku. Salamat jalan Sioh Maluku.

MASARIKU NETWORK
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/rumah3poka
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044