The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Paras Indonesia


Paras Indonesia, June, 26 2007 @ 11:45 am

Nasionalisme Indonesia Yang Anti-Demokrasi: Sebuah Catatan Mengenai Mohammad Hatta Dan Pandangannya Tentang Masa Depan Papua

Mambri Batoga

Banyak kalangan di Indonesia dan juga Papua yang hanya mengenal Mohammad Hatta sebagai tokoh nasional, wakil presiden dan sekaligus proklamator kemerdekaan Indonesia. Bersama Soekarno, ia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Tetapi tidak banyak yang mengetahui sikap Hatta mengenai masa depan Papua yang bertolak belakang dengan pandangan Soekarno.

Tokoh nasional Indonesia yang lahir di Bukit Tinggi pada tanggal 12 Agustus 1902 dengan nama Muhammad Athar ini adalah seorang tokoh nasionalis Indonesia jujur, tegas dan sederhana. Ia memang seorang nasionalis, tetapi ia tidak memandang tema besar nasionalisme dalam pandangan sempit nasionalisme yang bersifat chauvinis.

Sebagai founding father, ia bersama Soekarno dan Syahrir menjadi tiga serangkai terkemuka yang memimpin jalannya pergerakan Indonesia sampai kemerdekaan tercapai. Bahkan sejak usia 15 tahun, ia telah aktif sebagai bendahara pada Sumatranen Bond Cabang Padang dan keterlibatannya dalam perjuangan Indonesia diteruskan ketika ia melanjutkan studinya di Belanda.

Selama 11 tahun studi dan tinggal di Belanda, Hatta menjadi tokoh sentral dalam Perhimpunan Indonesia, keterlibatan politiknya yang aktif dalam kampanye pembebasan nasional Indonesia di Belanda, menyebabkan ia harus banyak berurusan dengan pihak kolonial Belanda.

Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan sebuah organisasi yang disebut Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda. Keterlibatan Hatta dalam organisasi ini mempererat hubungannya dengan tokoh-tokoh gerakan pembebasan nasional dari wilayah jajahan lain, sebagai contoh Jawaharlal Nehru, seorang tokoh nasionalis India, yang dikemudian hari menjadi sahabat dekatnya. Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan Hatta ditangkap pemerintah Belanda namun akhirnya dibebaskan, setelah melakukan pidato pembelaannya yang terkenal: Indonesia Free didepan sidang pengadilan kolonial Belanda.

Nasionalisme Dalam Pandangan Hatta

Tidak dapat dipungkiri bahwa Hatta adalah salah seorang tokoh yang dengan gigih memperjuangkan Indonesia Merdeka, sejarah Indonesia membuktikan hal ini. Tetapi dalam membangun semangat nasionalisme Indonesia, Hatta tetap berprinsip pada sikap-sikap nasionalisme yang plural dan egaliter.

Penolakan Hatta yang tegas terhadap usaha dimasukannya 'Syariat Islam' dalam mukadimah dan batang tubuh UUD 45 yang didorong oleh golongan Islam, menunjukkan sikap tegas Hatta akan pandangannya mengenai nasionalisme yang egaliter dan plural. Hatta adalah seorang muslim yang taat, tetapi ia tidak hendak mengorbankan nilai-nilai agama yang lebih berifat personal kedalam bangunan kesadaran nasionalime Indonesia, yang tentunya akan memancing perpecahan didalam kesadaran nasional baru akan dibangun. Oleh karenanya kompromi yang, dalam pandangan Hatta, paling mungkin diterima oleh berbagai berbagai golongan di Indonesia dalam membangun nasionalisme bersama adalah nasionalisme yang egaliter dan plura tanpa prasangka agama didalamnya.

Sejak awal Hatta telah berpandangan bahwa basis dasar bagunan nasionalisme Indonesia haruslah egaliter dan plural. Sikap egalitarian dan plural itu pula yang ditunjukan Hatta mengenai pandangannya tentang Papua, yang menurutnya, juga punya kesempatan yang sama dengan Indonesia dalam hal membangun masa depannya sendiri.

Sejak awal Bung Karno sudah memiliki pandangan yang chauvinis dalam membangun kesadaran nasional Indonesia, sifat chauvinis Soekarno semakin mengental ketika diterapkannya sistem demokrasi terpimpin, setelah mundurnya Hatta dalam jabatannya sebagai wakil presiden Indonesia pada tahun 1956.

Bolehlah dikatakan, dalam hal nasionalisme, Soekarno mampu mengatasi Hatta dalam hal sifat-sifat chauvinistiknya, tetapi perlu dicatat bahwa dalam hal demokrasi, Hatta mampu mengatasi Soekarno.

Demokrasi Dalam Pandangan Hatta

Pada sebuah artikel yang ditulis oleh seseorang dengan nama samaran "Si Rakyat" dalam majalah Persatoean Indonesia mengenai demokrasi menghasilkan sebuah polemik hangat dengan Hatta. Si Rakyat, dalam tulisannya, mengkritik penggunaan nama Volkssouvereiniteit sebagai bahasa Belanda dan mengatakan bahwa demokrasi Indonesia adalah barang impor. Sebagai balasannya, Hatta kemudian menulis: "...perkataan 'demokrasi' yang dipakai oleh Si Rakyat tidak asli. Perkataan itu juga import!... Partai-partai Indonesia disuruh memakai semboyan 'Demokrasi Indonesia'..." Sebagai contoh disebutnya pengertian demokrasi di Minangkabau: Sepakat, ia mengutip suatu pepatah Minangkabau, yaitu: 'Kemenakan beraja (tunduk seperti diperintah raja-Pen) ke mamak, mamak beraja ke penghulu, penghulu beraja ke mufakat'. Mufakat siapa? Bukan mufakat rakyat, melainkan mufakat penghulu saja. ... sudah banyak benar sekarang jumlah kemenakan yang tiada mau lagi 'beraja' ke mamak dan penghulu...." (Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan).

Bandingkan penggunaan istilah musyawarah - mufakat, yang oleh Soekarno diklaim sebagai demokrasinya Indonesia, yang dalam prakteknya, sudah dikritik oleh Hatta karena tidak melibatkan partisipasi rakyat secara umum. Musyawarah-Mufakat adalah demokrasinya para pemimpin dan bukan dilahirkan oleh rakyat. Demokrasi feodal seperti inilah, yang ditentang oleh Hatta.

Dalam kasus Papua, bisa dibandingkan pula dengan proses penentuan pendapat rakyat (Pepera 1969) yang berpangkal pada apa yang disebut musyawarah-mufakat. Dalam peristiwa tersebut, asas-asas demokrasi universal dilikuidasi dan digantikan dengan pola musyawarah mufakat. Pernyataan bebas memilih bagi rakyat Papua yang diatur dalam New York Agreement untuk menentukan masa depannya dengan prinsip "one man, one vote" seperti layaknya asas-asas demokrasi yang berlaku universal tidak dipakai. Yang terjadi adalah mobilisasi terhadap segelintir orang Papua untuk dilibatkan dalam proses politik yang maha penting ini. Pepera 1969 hanya melibatkan 1025 orang Papua untuk mewakili 800.000 jiwa penduduk Papua saat itu untuk menentukan pendapat apakah bergabung dengan NKRI atau lepas dari NKRI sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka.

Dalam hal menegakkan prinsip-pinsip demokrasi, Hatta bersikap tegas. Ketika demokrasi sudah tidak lagi diindahkan oleh Soekarno dalam menjalankan pemerintahan di Indonesia, Hatta tidak lagi bersimpati dan mengundurkan diri pada tahun 1956 dalam posisinya sebagai wakil presiden. Soekarno kemudian menganjurkan apa yang disebutnya "demokrasi terpimpin" dalam praktek politik pemerintahannya di Indonesia.

Mengenai ini, Hatta mengatakan: "Apa yang terjadi sekarang ialah krisis daripada demokrasi. Atau demokrasi dalam krisis. Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu menjadi anarki, (yang) lambat laun digantikan oleh diktator. Ini adalah hukum besi dari sejarah dunia!" (Sri Edi Swasono dan Fauzie Ridjal (penyunting), Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran)

Deliar Noer dalam bukunya Mohammad Hatta: Biografi Politik menulis pada tanggal 11 Juni 1957 Hatta menegaskan, "Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya.... Krisis ini dapat diatasi dengan memberikan kepada negara pimpinan yang dipercayai rakyat! Oleh karena krisis ini merupakan krisis demokrasi, maka perlulah hidup politik diperbaiki, partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakannya. Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarnya, dengan tidak memandang bulu. Jika tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan. Demoralisasi yang mulai menjadi penyakit masyarakat diusahakan hilangnya berangsur-angsur dengan tindakan yang positif, yang memberikan harapan kepada perbaikan nasib."

Krisis multi dimensi yang lahir belakangan ini adalah sebuah produk dari kurang cermatnya pemimpin politik Indonesia menata negara ini berlandaskan sistem demokrasi yang benar. Anarki social, seperti yang dibayangkan Hatta, memang telah terjadi. Pada masa Soekarno dengan "demokrasi terpimpin" yang dianutnya menyebabkan Indonesia pada akhirnya terjerumus dalam anarki social dengan pecahnya huru-hara politik paling mengerikan pada tahun 1965, suatu masa dimana Soekarno, yang telah 20 tahun menjabat sebagai presiden, harus meletakkan jabatannya dan menjalani hidup sebagai tahanan politik yang dilakukan regime baru terhadap dirinya sampai akhir hayatnya.

Hal sama terjadi pada pemerintahan dictator militer Soeharto, yang berhasil menguasai kendali pemerintahan selama 30 tahun setelah tumbangnya Soekarno. Demokrasi Pancasila, seperti yang dijalankan oleh pemerintahan Soeharto, adalah merupakan demokrasi semu, yang tidak mencerdaskan kehidupan berdemokrasi rakyat dan dijalankan dengan menggunakan pendekatan militeristik. Kombinasi antara demokrasi Pancasila yang semu dan penggunaan kekuatan militer dalam menjalankan kekuasaan telah melahirkan begitu banyak masalah. Lawan-lawan politik diteror, diintimidasi dan bahkan dibunuh. Banyak daerah yang melimpah sumber daya alamnya dikuras oleh Soeharto dan kroni-kroninya yang korup serta diamankan oleh militer Indonesia yang menjadi tulang punggung pemerintahannya.

Hal tersebut mengakibatkan banyak daerah melakukan perlawanan karena sentralisasi kekuasaan ekonomi dan politik yang tidak adil. Sebuah praktek dimana demokrasi tidak bermakna. Papua bergolak! Hasilnya operasi militer terjadi dan terpampanglah reklame buruk pelanggaran HAM yang diciptakan militer Indonesia sepanjang masa pemerintahan Soeharto. Hal sama terjadi pada rakyat Acheh, perlawanan para petani di Badega (Garut, Jabar), peristiwa Kedungombo di Solo (Jawa Tengah), peristiwa Warsidi di Lampung, peristiwa Tanjung Priok di Jakarta dan terakhir peristiwa penculikan dan pembunuhan aktivis-aktivis mahasiswa, buruh dan tani sepanjang tahun 1996 hingga munculnya proses reformasi pada tahun 1998. Anarki social kembali muncul, kelompok etnis tertentu menjadi incaran pembantaian dan perkosaan massal oleh kelompok-kelompok sempalan politik tertentu yang masih tetap menginginkan status quo dan berhasil memprovokasi rakyat yang lapar dan marah. Akhir dari kisah reformasi adalah tumbangnya Soeharto. Semua hal diatas terjadi, sekali lagi, hanya karena tidak becusnya penerapan demokrasi yang merakyat. Sampai disini Hatta, sebagai seorang negarawan yang bijak, telah memberikan arti sesungguhnya dalam pemaknaan dan pelaksanaan sebuah demokrasi yang benar.

Masalah Papua Dalam Pandangan Hatta

Dalam sidang-sidang Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI yang berlangsung pada tanggal 10 - 11 Juli 1945 terdapat silang pendapat antara tokoh-tokoh nasional Indonesia. Soekarno dan Moh. Yamin berpendapat Papua adalah bagian integral Indonesia berdasarkan klaim sejarah Majapahit dan Tidore, sehingga mutlak dimasukan sebagai bagian dari Indonesia, sementara tokoh-tokoh politik seperti Moh. Hatta dan Sutan Syahrir lebih menekankan sisi kemanusiaan dengan menggunakan nilai-nilai demokrasi dalam penyelesaian masalah Papua.

Hatta berpendapat Papua merupakan sebuah entitas bangsa dengan kebudayaan Melanesia yang dominan dan tidak seharusnya menjadikan Indonesia mengabaikan begitu saja fakta sosiologis ini. Sebagai sebuah entitas bangsa, rakyat Papua juga punya hak untuk menentukan masa depannya sendiri sama seperti Indonesia.

Dalam perdebatan-perdebatan BPUPKI itu Hatta berkata: "Saya sendiri ingin menyatakan bahwa Papua sama sekali tidak usah dipusingkan, bisa diserahkan kepada Bangsa Papua sendiri. Saya mengakui bahwa Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa yang merdeka, akan tetapi Bangsa Indonesia untuk sementara waktu, yaitu dalam beberapa puluh tahun, belum sanggup, belum mempunyai tenaga yang cukup untuk mendidik bangsa Papua, sehingga menjadi bangsa yang merdeka."

Silang pendapat mengenai Papua antara Hatta disatu pihak dan Soekarno - Yamin dipihak lain tidak terkompromi, sehingga dalam sidang BPUPKI dimunculkan beberapa opsi mengenai wilayah kedaulatan Indonesia, beberapa opsi yang ditawarkan untuk divoting adalah sebagai berikut; Pertama, yang disebut Indonesia adalah bekas jajahan Hindia Belanda dahulu; Kedua, yang disebut Indonesia adalah Hindia Belanda, Malaka (Malaysia), Borneo Utara (Brunei dan Sabah), Papua, Timor-Portugis (sekarang Republik Demokratik Timor) dan kepulauan sekitarnya; Ketiga, yang disebut Indonesia adalah Hindia Belanda Dahulu ditambah Malaka tanpa memasukkan Papua.

Dari ketiga opsi tersebut, dihasilkan voting dari 66 anggota BPUPKI sebagai berikut; 16 suara mendukung opsi nomor satu, 39 suara mendukung opsi nomor dua, dan 6 suara mendukung opsi nomor 3, dengan demikian, sejak awal, tidak saja Papua tetapi juga Timor - Portugis, yang sekarang sudah merdeka, Malaysia dan Brunai Darussalam juga dimasukan dalam imajinasi teritorial nasional yang hendak dibangun oleh nasionalis Indonesia.

Tidak hanya disitu, sikap Hatta yang tegas ditunjukkannya saat terjadinya pertemuan antara pemimpin Indonesia Merdeka, yaitu Soekarno dan Hatta, dengan pimpinan militer Jepang di Saigon, Vietnam, pada tanggal 12 Agustus 1945.

Dalam kesempatan ini, Mohammad Hatta masih memegang teguh prinsipnya mengenai masa depan bangsa Papua. Hatta menyatakan "...bangsa Papua merupakan ras Negroid, bangsa Melanesia, maka biarlah bangsa Papua menentukan masa depannya sendiri..."

Pandangan Hatta mengenai Papua didepan pimpinan militer Jepang di Saigon waktu itu bertolak belakang dengan pandangan Soekarno yang mengatakan bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan sama sekali dengan usaha-usaha persiapan kemerdekaan yang sedang dilakukan tokoh-tokoh nasional Indonesia.

Pada awal tahun 1960-an gagasan Soekarno untuk mengganyang Malaysia disambut dengan mobilisasi militer Indonesia secara besar-besaran. Lahirlah gerakan Dwikora yang membenarkan mobilisasi rakyat untuk kepentingan politik Soekarno yang agresif itu. Hal sama terjadi dalam kasus Papua. Pada tanggal 19 Desember 1961 Soekarno menggelar rapat akbar di Alun-alun Utara Yogyakarta yang melahirkan gerakan Trikora dalam rangka pendudukan Papua. Dwikora tidak berhasil secara politik, tetapi gerakan Trikora yang dilancarkan Soekarno pada akhirnya berhasil. Unjuk kekuatan milter dan diplomasi politik dalam gerakan Trikora menjadi dua kunci sukses yang berhasil dikombinasikan oleh Soekarno dalam rangka pendudukan dan penguasaan Papua.

Barangkali dalam konteks ini Soekarno hendak menjabarkan dan mempraksiskan hasil-hasil sidang BPUPKI pada tanggal 10 dan 11 Juli 1945, dimana dalam sidang BPUPKI itu, mayoritas anggota menyetujui sebuah usulan mengenai blue print imaginasi batas-batas teritori nasional Indonesia merdeka yang harus meliputi daerah-daerah bekas jajahan Hindia Belanda termasuk Malaka (sekarang Kerajaan Malaysia), Borneo Utara (sekarang Kesultanan Brunai Darussalam), Papua, Timor Portugis (sekarang Republik Demokratik Timor) dan pulau-palau sekitarnya.

Pada masa pemerintahan Soekarno, Indonesia berhasil menguasai Papua secara de facto melalui proses integrasi yang terjadi pada tanggal 1 Mei 1963 dan secara de jure dimasa pemerintahan Soeharto melalui proses Pepera 1969. Dua peristiwa politik penting yang masih digugat oleh rakyat Papua sampai saat ini. Lahirnya perlawanan rakyat Papua melalui Organisasi Papua Merdeka (OPM) dalam menentang proses pendudukan Indonesia atas Papua adalah merupakan refleksi kekecewaan politik atas berbagai ketidakadilan yang terjadi.

Barangkali, pada masa-masa dimana dua peristiwa politik penting yang dikemudian hari telah merubah nasib dan keadaan politik sesungguhnya di Papua itu, Hatta melihat dari jauh tanpa bisa berbuat lebih banyak seperti yang pernah ia lakukan pada masa-masa awal persiapan kemerdekaan Indonesia. Barangkali juga pada saat itu, Hatta dengan kesederhanaan jiwanya itu sedang menerawang kegelisahan jiwa rakyat Papua yang gundah gulana akibat konflik politik antara Indonesia dan Belanda yang pada akhirnya telah menjadikan rakyat Papua sebagai korban dari kemunafikan dan arogansi kekuasaan yang sewenang-wenang. Rakyat Papua tentu masih menanti orang seperti Hatta yang mampu menyelami jiwa dan pikiran mereka, tidak saja dalam pemikiran dan perkataan, tetapi juga dalam tindakan nyata.

Copyright (c) 2005 - PT Laksamana Global International. All rights reserved
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/rumah3poka
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044