Radio Nederland Wereldomroep, 05-04-2007
Syariat Kristen di Papua
Peraturan Daerah berbasis agama terus bermunculan. Di Manokwari Papua Barat,
peraturan daerah berdasarkan injil tengah digodok Pemerintah Kabupaten dan DPRD
setempat. Tidak hanya mengatur soal larangan minuman keras dan prostitusi, perda
ini juga mengatur cara peribadatan bagi warga Manokwari.
Ditolak
Rancangan aturan daerah tentang pembinaan mental dan spiritual berbasis Injil
tengah dibahas Pemerintah dan DPRD Manokwari, Provinsi Papua Barat.
Pembahasan perda bernuansa agama itu memicu penolakan dari umat kristiani.
"Kebetulan saya warga kristiani. Saya tidak melihat urgensi penerapan syariat
kristen. Saya mendengar ini cukup gemana ya karena saya sebagai pengikut tuhan
Yesus bangga. Dengan dasar kasih itu ndak perlu.Perda itu kalau acuannya agama
salah besar karena dalam undang-undang dasar itu jelas."
Manokwari sebagai gerbang pertama penyebaran Injil di Indonesia menjadi alasan
bagi pemerintah setempat untuk menerapkan aturan berdasarkan ayat-ayat injil
Alkitab. Aturan itu diusung unsur gereja dan sejumlah pakar. Diantaranya Pendeta
Sherli Parinusa.
Akan menyulut konflik
Pendeta Sherli Parinusa: " Mungkin ada tafsiran yang katakan perda ini akan sara.
Tetapi tujuan sebenarnya tidak ini hanya mengedepankan kekhasan agar dihargai,
misalnya di Aceh ada serambi mekah. Kita katakan manokwari sebagai kota injil
dengan mendepankan sebagai kota perdamain, kebenaran tolerasi bersama) "
Aturan dengan berdasar kitab suci ini dikhawatirkan akan menyulut konflik. Tak hanya
mengatur cara berpakaian, namun juga tata cara ibadah. Raperda memuat soal
larangan memakai simbol agama tertentu di muka umum, dan melarang
pembangunan rumah ibadah agama lain di tempat yang sudah ada gereja. Raperda
juga mengharuskan syarat ijin minimal 150 orang bagi warga non Nasrani yang ingin
mendirikan rumah ibadah. Khusus untuk pembangunan rumah ibadah ini tampaknya
merujuk pada Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang
pembangunan rumah ibadah yang diteken April Tahun lalu. Tapi dalam peraturan dua
menteri itu syarat ijin cukup 90 warga.
Urusan perda bernuansa syariat agama ini pertengahan tahun lalu juga menjadi
sorotan parlemen. 56 Anggota DPR penentang perda syariah mengajukan
memorandum kepada pimpinan Dewan. Mereka mendesak pimpinan DPR agar
meminta pemerintah membatalkan peraturan-peraturan daerah yang berdasarkan
hukum agama. Puluhan anggota parlemen itu berasal dari PDI Perjuangan, Partai
Kebangkitan Bangsa dan Golkar. Memorandum ini ditentang 134 anggota DPR.
Dalam pertemuan dengan pimpinan DPR, 134 orang wakil rakyat dari Partai Keadilan
Sejahtera, PKS dan PPP mengajukan permintaan yang berlawanan dengan
permintaan 56 rekan mereka. Dalam permintaan tersebut anggota DPR yang dimotori
Lukman Hakim dari PPP meminta pimpinan DPR agar tidak meluluskan usulan
kelompok penentang perda syariah. Alasannya perda-perda tersebut memang
dibutuhkan untuk memerangi aksi judi dan pelacuran. Anggapan yang menyebutkan
perda syariah melanggar konstitusi pun mereka tampik.
Menyudahi
Perang opini perda syariat itu parlemen akhirnya disudahi dengan kesepakatan untuk
tak melanjutkan perbedaan pendapat soal perda syariah. Wakil dari Fraksi Partai
Amanat Nasional Patrialis Akbar saat itu menyatakan, semua fraksi sepakat untuk
mengakhiri pertentangan dengan tak memperpanjang perbedaan soal perda syariah.
Patrialis yang merupakan pendukung pemberlakuan Perda Syariah di DPR
mengatakan kesepakatan itu diambil supaya perbedaan di DPR tidak meluas menjadi
konflik atau perpecahan.
Menurut Patrialis penolakan terhadap perda syariah dilanjutkan melalui langkah
hukum bukan politik.
Patrialis: "Jadi diambil kesepakatan dengan berbagai macam latar belakang, dan
masa depan yang lebih baik, keutuhan dan kebersamaan kita, perda syariat islam
kita tak lagi mengungkap soal itu, jadi biar saja sesuai mekanisme hukum yang
berlaku semua fraksi-fraksi menunjukkan jiwa besarnya. Tidak ada yang menentang
meskipun ada yang menawarkan alternative lain, tapi akhirnya kita simpulkan ini
sudah selesai."
Jalur hulum
Menggunakan jalur hukum untuk menyelesaikan soal perda syariah sebelumnya
pernah diusulkan Sebastian Salang, Sekjen Forum Masyarakat Peduli Parlemen
Indonesia, Formappi. Menurut ia penyelesaian lewat jalur hukum ini memang jalan
terbaik menyelesaikan perpecahan di DPR. Sebab menurut ia jika perpecahan di DPR
dibiarkan maka akan membuat perpecahan di masyarakat semakin tajam.
Sebastian juga mengkritik Departemen Dalam Negeri yang tidak tegas mengatur
perda-perda bermasalah.
Sebastian Salang: "Setiap perda itu apabila dalam 1 bulan atau 30 hari tidak
mendapat penolakan atau pengkajian dari departemen di dalam negeri. Maka perda
itu dinyatakan sah dan berlaku. Nah masalahnya itu banyak Perda yang masuk ke
Departemen Dalam Negeri tapi tidak pernah ditindaklanjuti sehingga muncullah
perda-perda yang aneh ini dan berlaku begitu saja. Solusi yang penting menurut saya
DPR itu memanggil Departem Dalam Negeri sebagai departemen yang
bertanggungjawab apakah peraturan itu sesuai dengan Undang-undang atau tidak,
bertentangan dengan azaz pancasila atau tidak. Sehingga setiap perda tidak berlaku
begitu saja di daerah."
UUD 45 dan Pancasila
Selain diselesaikan lewat forum pimpinan, Sebastian Salang juga menyarankan agar
semua anggota DPR kembali menggunakan rujukan UUD 45 dan Pancasila sebagai
dasar berpikir mereka. Jika tidak, Indonesia akan kembali berkutat dalam
pertentangan ideologis yang bisa memecah bangsa.
Saudara, meski setuju menghentikan perdebatan di DPR, anggota parlemen yang
menolak Peraturan Daerah soal syariah akan terus melanjutkan perjuangannya.
Anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa, PKB Helmi Faishal Zaini mengatakan
akan terus mendorong pemerintah pusat melakukan inventarisasi perda syariat dan
kemudian melakukan uji materiil ke Mahkamah Agung.
Helmi Faishal Zaini: "Ya kami menunggu tentunya. Dan Pemerintah saya kira juga
bisa secara otomatis melakukan evaluasi terhadap perda-perda yang katakanlah
berbeda nafasnya dengan Undang-undang No 32 tahun 2004 sebagai pengganti
Undang-undang nomer 22 tahun 1999. Karena di Undang-undang pemerintahan
daerah itu disebutkan bahwa pemerintah daerah hanya memiliki kewenangan untuk
pengelolaan pemerintahan daerah. Jadi hal-hal yang berkaitan dengan politik luar
negeri fiskal, moneter dan agama terkait dengan aturan-aturan itu menjadi aturan
pemerintah pusat. Tapi Perda ini kan mengambil domain pemerintah pusat di daerah."
Konflik SARA
Perda bernuansa syariat yang bertentangan dengan peraturan di atasnya juga diakui
Wakil Ketua DPRD Manokawari Amos H Kay. Dia mengakui Raperda terutama terkait
cara peribadatan bertentangan dengan aturan di atasnya. Ia menegaskan hal
bertentangan ini perlu dikaji, sehingga jika diberlakukan tidak menimbulkan konflik
SARA.
Amos H Kay: "Yang diatur antara lain yang termuat dalam raperda masih krusial, soal
pelarangan umat beragama yang lain untuk laksanakan tata cara ibadah denga bebas
sesuai dengan UU no 29 UUD 45."
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, PGI punya pendapat berbeda. Perda itu tak
perlu ada. Menurut Sekretaris Umumnya, Richard M Daulay urusan iman tidak perlu
diatur oleh negara. Sebuah kota harus terbuka dengan memberikan ruang publik yang
luas. Tidak boleh ada perda yang hanya berlaku untuk satu etnis, agama, atau suku
tertentu.
Hak warga minoritas
Richard M Daulay: "Itu yang kita takutkan perda seperti itu Indonesia khan negara
yang majemuk, perda yang masukan muatan agama PGI tidak mengapresiasi itu."
Michael Utama Purnama, dari LSM Antar Iman Indonesian Conference on Religion
and Peace (ICRP) melihat pembuatan raperda-raperda dengan dasar agama ini akibat
pelaksanaan otonomi daerah yang kebablasan. Langkah yang diambil oleh
Pemerintah Kabupaten Manokwari ini serupa dengan pembuatan perda syariat Islam
yang marak di sejumlah daerah.
Michael Utama Purnama: "Orang-orang di daerah itu jangan buru2 diberi Otda,
disosialisasikan dulu. Ini khan sudah kebablasan dan pemerintah harus tertibkan,
spaya tidak ada dualisme daerah dan pusat."
Menurut Michael, jika aturan ini secara tegas-tegas melabrak undang-undang dasar
1945, maka tak ada alasan bagi daerah manapun menonjolkan kekhasannya dengan
mengibiri hak warga minoritas.
© Hak cipta Radio Nederland 2007 Disclaimer
|