Radio Baku Bae, 05-Mei-2007
Pembangunan di Maluku Lamban karena Tersegregasi
Dian N. Pesiwarissa, Radio Baku Bae - Ambon
KOMUNITAS-komunitas di wilayah kepulauan Maluku, tersegregasi dalam
pemukiman teritorial pulaunya, yang lazim berimplikasi pada kuatnya rasa keterikatan
pada tanah (pulau). Serta pola hidup yang selaras dengan alam, sehingga agak
lamban atau terlambat untuk menerima perubahan.
"Maluku sebagai provinsi dan masyarakat kepulauan, mengandaikan adanya disposisi
diri sebuah masyarakat dalam determinasi geografis, yang terpisah dari habitat
masyarakat di pulau lain," ungkap Guru Besar Filsafat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Patimura (Unpatti) Prof. Dr. A. Watloly, SH., M. Hum., dalam
orasinya pada Dies Natalis ke-44 Unpatti, Sabtu (5/5).
Watloly mencontohkan, orientasi pemikiran dan kehidupan masyarakat kepulauan
Maluku yang masih mengarah ke "Negeri Lama" di gunung. Pola tersebut, meskipun
telah diubah secara paksa pada zaman penjajahan Belanda ke pesisir pantai, tapi
terasa belum berhasil mengubah secara tuntas orientas tersebut.
Komposisi jumlah masyarakat kepulauan, biasanya relatif sedikit dengan pola
penyebarannya tidak merata. Sumber daya lingkungan masyarakat kepulauan yang
kecil, membuatnya begitu rentan terhadap gangguan dan pengaruh luar serta rawan
bencana alam.
Hal demikian menurut Watloly, mempengaruhi artikulasi kehidupan masyarakat
kepulauan yang cenderung bersifat partikulatif, dengan prasangka sosial yang tinggi.
Segregasi fisik maupun sosial tersebut, menurutnya, cenderung terbangun dalam
"pagar teritori" dan "pagar tradisi" serta cengkeraman keganasan iklim dan paham
ruang (kosmologi-nya) masing-masing.
"Fakta segregasi kepulauan dalam aneka pagar dalam cengkraman iklim dimaksud
telah menjadi faktor determinan yang mengkondisikan kesenjangan dan disparitas
sosial yang kompleks, distribusi sumber daya manusia yang tidak merata juga
modus pembangunan yang fiktif dan hasil pembangunan yang tidak merata, "
paparnya.
Kondisi masyarakat kepulauan tersebut diperburuk lagi dengan sikap "penghantuan"
keterisolasian, keganasan iklim serta keterbatasan pemahaman masyarakat
kepulauan sebagai factor determinan (biang tua) yang mengkondisikan kegagalan
pembangunan.
"Fakta pilu derita masyarakat di Kepulauan Selatan Daya Kabupaten Maluku
Tenggara Barat dan Kabupaten Kepulauan Aru masih menelan pil pahit pembangunan
selama berpuluh tahun sebagai masyarakat 'tenggara jauh' dan 'belakang tanah' yang
diidentikkan dengan masyarakat tertinggal dan terkebelakang, " tuturnya lagi.
Bahkan, seolah-olah ada image masyarakat kepulauan Selatan Daya sudah terbiasa
menderita dengan menahan lapar, haus, miskin, melarat dan kering lahan hidup, sakit
dan menahan keganasan iklim. Akibatnya, lama rasanya masyarakat dikepulauan
tersebut selalu dijauhi oleh aparatur pembangunan.
"Siapapun yang ditempatkan disana pasti dicemooh dalam sebuah ancaman
psikologis sebagai orang terbuang dan terhukum dalam penjara keterisolasian.
Kondisi demikian, sama dirasakan pula oleh sebagian masyarakat di Pulau Seram
atau Buru yang sering disebut Seram Pedalaman dan Buru Pedalaman," tukasnya.
Sebenarnya sikap demikian, menurut Watloly, tidak lebih maju bila dibandingkan
dengan optimisme para leluhur masyarakat kepulauan yang secara prestisius dan
heroic berhasil menaklukkan kondisi segregasi kepulauannya dengan mitos " Kiming
Kelapa" ( mitos yang menunjukkan para leluhur masyarakat Selatan Daya dalam
menaklukkan segregasi kepulauannya yang terkenal beriklim ganas, melalui cara
penyeberangan yang dilakukan dengan menggunakan kiming kelapa berupa selaput
kulit pembungkus bakal buah kelapa yang berbentuk bulat panjang seperti kapal
layar).
" Mungkin sikap kepanikan menghadapi masyarakat kepulauan yang demikian, cukup
lama telah mendominasi kebijakan pembangunan sehingga seolah-olah hanya
mengkonsentrasikan pembangunan di pulau tertentu sebagai mercusuar
pembangunan yang hanya dimimpikan namun tidak pernah dinikmati secara adil dan
merata oleh masyarakat di pulau lain, " ungkap Watloly. (rbb)
Copyright © 2007 RadioBakuBae.com. All right reserved.
|