Radio Baku Bae, 17-Apr-2007
Kata Ibu Kepala Dinas Dana Pengungsi Sudah Habis, Lalu
Bagaimana Nasib Kami?
Dian N. Pesiwarissa, Radio Baku Bae - Ambon
SUDAH jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin ini kata yang cocok untuk sekitar 2000
kepala keluarga (KK) sisa pengungsi akibat konflik sosial di Maluku beberapa tahun
lalu, yang hingga kini belum mendapat bantuan Bahan Bangunan Rumah (BBR)
sesuai janji pemerintah.
Dana ratusan miliar telah dicairkan Pemerintah Pusat untuk membereskan persoalan
pengungsi, namun hingga kini dana pengungsi yang "diproyekkan" oleh para pejabat
Dinas Sosial (Dinsos) Maluku, maupun Tim Penanggulangan Pengungsi Maluku
bentukkan Gubernur Maluku Karel Alberth Ralahallu, tak kunjung tuntas.
Saling tuding dan lempar tanggung jawab terus bergulir, tanpa peduli tangisan perih
maupun keluhan yang tertahan. Dari sudut kamar sempit serta kumuh, di barak
pengungsi. Tanpa peduli berapa anak yang akhirnya putus sekolah. Tanpa peduli
berapa dapur yang asapnya tak mengepul selama berbulan-bulan. Sepertinya yang
dipedulikan para pejabat tersebut, hanyalah berapa proyek bisa didapat tahun ini,
yang uangnya bisa digunakan untuk membangun rumah bertingkat, beli mobil atau
jalan-jalan keluar kota.
Jamila Maman, pengungsi asal kampung Wailawa II Desa Laha kecamatan Teluk
Ambon, yang saat ini masih ada di tempat pengungsian dusun Air Sakura Desa Laha,
sudah beberapa kali mendatangi Dinas Sosial Provinsi Maluku untuk meminta dana
BBR-nya. Pasalnya sejak tahun 2003 dia tidak pernah mendapatkannya. Namun
yang dia selalu terima dari pegawai Dinsos Maluku hanya janji palsu.
Tak hanya itu, Jamila bersama 15 KK pengungsi asal desa Laha juga telah
mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Ambon untuk minta
bantuan mereka. Tapi jawaban yang didapat dari Rumah Rakyat di Belakang Soya
Ambon itu hanyalah "kami tidak bisa banyak membantu. Persoalan pengungsi masih
ditangani Pemerintah Provinsi Maluku."
Senin (16/4) kemarin, Jamila bersama beberapa pengungsi dari berbagai tempat di
Kota Ambon, untuk kedua kalinya mendatangi Dinsos Kota Ambon, untuk
menanyakan kembali hak mereka.
"Sebelum kami ke sini, kami sudah dari Dinsos Maluku. Namun menurut Ibu Kepala
Dinas (dr. Fenno Tahalele) data pengungsi akan diserahkan ke Dinsos Kota Ambon.
Kami ke sini cuma mau minta kepastian, apakah kami akan dapat dana itu atau
tidak. Kalau tidak, kami minta rumah untuk ditinggali," keluh Daimamang salah satu
pengungsi, yang bersama-sama dengan Jamila datang ke Balai Kota Ambon.
Menurut Dimamang, ketika ke Dinsos Maluku, mereka sempat bertemu langsung
dengan Kadinsos. "Ibu Fenno bilang tahun ini awalnya ada sekitar 4.000 kepala
keluarga (KK) pengungsi yang belum terselesaikan. Namun setelah diperiksa datanya
tinggal 2.000 KK yang belum dapat. Tapi, kami tidak diberitahu apakah kami masuk
di dalam jumlah 2.000 KK yang belum dapat itu atau tidak. Ibu Fenno juga bilang ke
kami tadi, kalau datanya sudah mau diturunkan ke kota namun ada masalah
sehingga masih ditunda dan ditahan Gubernur Maluku. Dan pihaknya masih mencari
tambahan dana untuk bantuan BBR kami, karena dana pengungsi sudah habis
digunakan untuk 1.500-an KK yang telah diberikan tahun kemarin," paparnya kesal.
Menurut beberapa pengungsi yang ikut ke Balai Kota Ambon, dr. Fenno Tahalele
sempat menjanjikan akan memberikan dana BBR itu kepada mereka. "Ibu Fenno
bilang kalau kami memang belum pernah dapat BBR, maka akan diberikan," ujar
mereka menirukan Tahalele.
Merasa kecewa karena kepala Dinas Sosial Kota Ambon A. Namsa tidak berada di
kantor, Daimamang tak kuasa menahan tangisnya. "Kami hanya minta kejujuran.
Jangan permainkan kami. Anak saya sedang sakit di rumah. Uang saya sudah habis
untuk bolak-balik kantor dinas sosial. Saya sudah mengalami kerugian yang cukup
besar," ujar ibu yang telah mengungsi sejak tahun 2003 ini, sambil menangis teringat
anaknya yang sementara sakit dan telah ditinggalkannya sejak pagi.
Mereka kemudian bersepakat langsung menemui Walikota Ambon Drs. M.J. Papilaja,
untuk meminta bantuan Walikota mengurus dana BBR yang menjadi hak mereka.
Namun lagi-lagi kekecewaan yang didapat. Karena mereka disuruh kembali lagi
besok.
Para pengungsi yang kebanyakan ibu-ibu itu, akhirnya, hanya mengurut dada karena
sudah tidak punya uang lagi untuk kembali di esok harinya. Sebab biaya yang harus
dikeluarkan untuk sampai ke Balai Kota dari Desa Laha pulang pergi paling sedikit
Rp. 15.000/orang. Namun untuk memperjuangkan hak mereka para ibu-ibu tersebut
berjanji akan datang kembali Selasa (17/4).
Mungkinkah perjuangan Jamila dan kawan-kawan akan mendapat dukungan dari
Walikota Ambon? Ternyata lagi-lagi mereka harus kecewa. Sebab setelah satu jam
menunggu di depan ruang kerja Walikota, Selasa tadi, lagi-lagi pil pahit harus mereka
telan. Karena jawaban yang sama mereka peroleh dari beberapa pegawai Pemerintah
Kota Ambon, bahwa data pengungsi belum diturunkan dari Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Maluku ke Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon. Sedangkan Walikota yang
mereka harapkan dapat membantu, ternyata tidak mempunyai waktu untuk
mendengarkan keluhan mereka. "Mungkin Bapak punya urusan lain yang lebih
penting, daripada mengurus kami pengungsi yang miskin," keluh salah satu
pengungsi. Akankah janji Walikota untuk mendatangkan Komisi Penanggulangan
Korupsi (KPK), guna mengaudit data pengungsi Maluku hanya sebatas wacana saja?
Kita lihat saja nanti. (rbb)
Copyright © 2007 RadioBakuBae.com. All right reserved.
|