Radio Baku Bae, 25-Jun-2007
Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) Toisapu Sarat
Pembelajaran
Victor Manuhutu. Pemerhati Masalah Sosial.
A Journey of a thousand miles must begin with a single step. (Lao-Tze). Pukul 11
siang jumat minggu lalu, beta berdiri didepan bangunan IPST Toisapu untuk
membuktikan rasa keingintahuan sebagai anak negeri. Lembah tempat pembuangan
sampah tersebut memukul serta menjungkir-balikan semua apa yang beta bayangkan
sebelumnya.
Beta yang berlatar belakang industri modern yang serba otomatis serta terintegrasi
interlock system dengan angan-angan yang terbangun pada system automasi
sebelumnya, menyerah dihadapan anak-anak anggota pasukan pengolah sampah
IPST Toisapu.
Sistim di IPST Toisapu membuat beta berpikir ulang supaya jangan cuma bataria
deng protes maar lia kondisi riil la biking apapa par negri pung bae. Bagaimana tidak,
instalasi yang begitu kecil sanggup mempekerjakan 80 orang anak negeri. Sukar bagi
beta untuk mempercayainya, tetapi itu adalah kenyataan.
Di balik testa tantu ada handeke yang bisa katong pake par biking hidop ana negeri.
IPST Toisapu pada dasarnya lebih banyak menggunakan tenaga manual untuk
menghubungkan satu sirkuit ke sirkuit lainnya. Akhirnya beta mengerti, inilah proyek
percontohan padat karya untuk sementara waktu bisa dikatakan sangat berhasil.
Bravo!!!!
Kepada teman-teman yang menemani beta, bung Bert Diaz dan bung Yopie Latue,
beta bilang kalo iko beta pung mau, seng perlu tenaga manusia yang banyak untuk
memilah sampah diatas conveyor. Cukup conveyor diperpanjang disertai vibrating
komponen lalu tambah lai magnet conveyor diatas conveyor utama maka akan
terpisah, besi, plastik dan lainnya berdasarkan massa jenis serta sifat meterial.
Air dalam got yang didaur ulang untuk proses pembuatan pupuk, cukupmenggunakan
pompa tagal lebih efisien dan menghemat tenaga kerja. Maar lagi-lagi, pasukan
pengola sampah dari anak-anak negeri menumpulkan pikiran mekanisme beta.
Dimulai dari tempat penimbunan sampah yang seharusnya menggunakan hoper
digerakkan motor listrik dan gear box langsung ke conveyor tetapi dengan "smart"
justru memilih cara manual sebagai pola pemberdayaan. Sekali lagi, Bravo!!! Beta
terharu.
Sesungguhnya pola di IPST Toisapu dapat dirancang sebagai sistim yang terintegrasi
dan tidak terputus. Tetapi faktor pemberdayaan serta dengan sengaja (menurut
penilaian beta) memutuskan aliran kerja dalam sistim memaksa anak-anak kita
menggunakan otak untuk merencanakan kerja yang efektif dan efisien dalam sistim
manual sekarang ini.
Beruntung beta seng bawa nasi bungkus dengan kamera untuk merekam, kalo seng
basudara sudah melihat gambar beta lagi makan ditengah-tengah fasilitas tersebut.
Mengapa? tagal beta cuma mau membuktikan bahwa pemikiran beta salah total
tentang samapah yang katanya jorok, berbau dan penuh lalat.Berbeda deng Gunung
Nona, IPST Toisapu berada dilembah pada puncak gunung. angin dari laut langsung
berhembus dan tidak terhalang gunung dibelakangnya seperti pada Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Gunung Nona dulu. makanya beta heran Dusun
Amaori-Waiyori diisukan penuh lalat, padahal disebuah pondok kecil tempat menjual
soft drink, tepat diatas bukit sebelum turun dalam lembah sampah, beta sondor lia
ada lalar deng ciong bobou busu. Parlente? Yang jelas saat itu beta pung idong seng
taprop deng mata seng peci.
Jika beta pake perbandingan tingkat teknologi tentu sangat jauhb berbeda, maka beta
harus melakukan pendekatan sosialserta kemauan untuk berubah. Dari sinilah beta
menemukan kesadaran dan apresiasi terhadap orang-orang yang merencanakan
sistim di IPST Toisapu yang memadukan unsur keterbatasan masyarakat dengan
pengenalan teknologi tepat guna. Hasilnya, 80 anak negeri diberdayakan, serta
mereka bisa mengetahui dan merasakan hasil samping positif dari sampah berupa
pupuk dan plastik daur ulang.
Kekurangannya, yaitu IPST Toisapu sangat kecil dibandingkan dengan volume
sampah yang dihasilkan Kota Ambon. Sehingga volume sampah yang diolah oleh
IPST Toisapu juga sangat kecil. Makanya, sebagian sampah masih ditimbun diluar
bangunan.
Jika semua sampah hendak tertangani tentu IPST Toisapu kapasitasnya perlu
ditingkatkan.
Kapasitas pengolahan yang makin besar maka efisiensi waktu harus menjadi
pertimbangan disamping faktor pemberdayaan masyarakat. tidak mungkin kapasitas
diperbesar tiga kali lipat maka tenaga kerja juga dilipatkan tiga kali lipat. Efisiensi
waktu harus menjadi pertimbangan disamping masalah finansial dalam pembiayaan
Sumber Daya Manusia (SDM) harus diperhatikan secar teliti untuk jangka panjang.
Dengan sendirinya mekanismedan automasi peralatan tidak dapat dihindari untuk
mencapai efisiensi waktu8 dan efisiensi kerja.
Dewasa ini yang diperlukankesadaran kita semua untuk membantu penanganan
samaph dimulai dari pribadi masing-masing. Kita dapat membantu memilah samaph
dari rumah. Misalnya, sampah plastik dan kertas dimasukkan ke kantong plastik
hitam, sampah kaleng dikantong plastik merah dan sampah organik di kantong
plastik putih.Kalau ini dilakukan maka kita telah membantu menjaga Ambon lebih
indah serta membantu anak-anak di IPST Toisapu mencapai waktu dibidang
pemilahan sampah.
Atau, mengapa Pemerintah Kota tidak membuat dua jenis bak sampah dibandingkan
dengan satu saja tempat sampah yang dibayar oleh setiap usaha baru? Akan terasa
janggal ketika sampah yang telah mulai dipilah-pilah dalam Rumah Kopi Sibu-Sibu
kembali ditumpuk dalam satu tong sampah walaupun warna plastinya berbeda.
Bukan itu saja, pemilahan sampah dimulai dari rumah dalam lingkup yang lebih luas
berarti kita mendorong masyarakat untuk lebih mendisiplinkan diri dan bertanggung
jawab terhadap lingkungan yang sehat.
Kalau kita mampu melakukannya, maka benarlah kata-kata Lao Tze diatas bahwa
perjalanan beribu-ribu mil dimulai dengan ayunan sebuah langkah kaki. Jadi pekerjaan
besar dimulai dengan kemauan untuk bergerak atau berubah. Mena!!
Copyright © 2007 RadioBakuBae.com. All right reserved.
|