Radio Vox Populi [Ambon], 23-Mar-2007
Sehari Tak Cukup Bagi 20 Pendeta yang Life In di Keluarga
Muslim
Asni Rahayu Wakanno, Radio Baku Bae - Ambon
HIDUP selama 14 jam, mulai dari pukul 18.00 WIT sampai 08.00 WIT, di keluarga
Muslim, bagi 20 pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM), ternyata dirasakan terlalu
cepat. Hasil evaluasi dari kegiatan live in atau penyebrangan terhadap
batasan-batasan kemanusian yang paling dasar dari para Pendeta, dengan umat
beragama lainnya ini, dirasakan terlalu cepat. "Yang menjadi kekecewaan dari para
pendeta, waktu pelaksanaan kegiatan terlalu cepat, mereka meminta tahapan
berikutnya mereka bisa ditempatkan 2 atau 3 hari lamanya," ungkap Direktur
Lembaga Antar Iman Maluku (EL.AI.EM) Jacky Manuputty kepada Radio Baku Bae,
Jumat (23/3) di Ambon.
Sebagaimana diberitakan Radio Baku Bae kemarin, sebanyak 20 pendeta Gereja
Protestan Maluku (GPM), Rabu (21/3) disebar ke-20 rumah warga muslim di Kota
Ambon, untuk membangun relasi antar umat beragama di daerah ini. Upaya ini
dimaksudkan agar tidak hanya sekadar menjadi wacana. Juga untuk menghilangkan
stigmatisasi terhadap umat lainnya, menghilangkan kecurigaan, membangun toleransi
yang lebih tinggi dengan mengenal kebiasaan, waktu dan tata cara ibadah umat
beragama lainnya, serta menghilangkan rasa ketakutan yang disebabkan oleh trauma
konflik kemanusiaan beberapa tahun lalu.
"Berdasarkan evaluasi sehari hidup di rumah warga Muslim itu, ternyata tidak seperti
ketegangan awal yang dirasakan ke-20 pendeta tersebut," terang Manuputty
mengenai hasil kegiatan, sembari menambahkan, life in itu bisa dijadikan bahan
perenungan dan penenangan terhadap jiwa-jiwa yang masih terdominasi oleh trauma.
Pengalaman menarik dari kegiatan tersebut, seperti yang dialami Pendeta Wenno,
yang ditempatkan di rumah Maryam Sangadji di kawasan Sekolah Tinggi Agama
Islam (STAIN) Ambon, Desa Batumerah Kecamatan Sirimau. Awalnya, kawasan ada
kesan angker terhadap kawasan tersebur, terutama karena selama konflik sosial,
daerah tersebut termasuk dinggapa berbahaya jika dilewati komunitas Kristen.
Namun, Pendeta Wenno yang juga adalah seorang ibu ini, ternyata bisa menepis
kesan angker kawasan tersebut. Dia malah termasuk cepat menyesuaikan diri
dengan tuan rumah. Bahkan rumah Yam, panggilan akrab Maryam, bukan menjadi
soal baginya.
Senyumnya yang manis selalu terukir saat melihat anak Yam, yang baru berumur
satu setengah tahun, melempar keluar beberapa isi tasnya. Bahkan tawa lepas sering
keluar dari bibirnya. Selanjutnya 14 jam program life in di kawasan STAIN dilalui
Pendeta Wenno dengan perasaan aman dan damai.
Manuputty selaku salah satu penyelenggara life in berharap, semua orang bisa belajar
dari pengalaman Pendeta Douglas. Ia tinggal sehari di Pesantren Mawadah
Warahmah yang berlokasi di daerah Air Besar (Arbes) Ambon. Douglas mengaku
sangat santai saat di sana. Bersama Ustad Thoib, dia menikmati diskusi semalaman
tentang berbagai aturan keagamaan dalam ajaran masing-masing. "Menurut Douglas,
banyak hal penting yang dimengerti saat diskusi bersama, sehingga batasan-batasan
wilayah kemanusian yang paling dasar pasti bisa dilewati. Bahkan mereka berjanji
untuk bertemu kembali di Pantai Liang dengan anak-anak asuhnya, sekedar
bersilaturahmi," ungkapnya.
Sedangkan Pendeta yang di tempatkan di Keuskupan Amboina, dari hasil
evaluasinya, terang Manuputty, mereka jadi belajar kalau dalam kalangan para
Pastor, tidak ada batasan senioritas pastor seperti halnya di kalangan Pendeta GPM.
(rbb)
Copyright © 2005 RadioVoxPopuli.com. All right reserved.
|