SINAR HARAPAN, Senin, 05 Maret 2007
Bom di Ambon, Selalu Saja Orang Kecil Menjadi Korban
Oleh Izaac Tulalessy
AMBON—Di salah satu sudut di ruang gawat darurat Rumah Sakit Al Fatah tampak
seorang wanita setengah baya menangis tersedu sambil dipeluk anak perempuannya.
"Mengapa ini terjadi pada anak saya," tuturnya sambil terisak. Dengan bajunya yang
agak kusut dia mencoba untuk tetap berdiri dengan bersandar pada salah satu tiang
pilar rumah sakit tersebut.
Ketika SH mencari tahu identitas wanita tersebut, ternyata dia adalah ibu dari Anthon
Hatalaibessy (22), salah satu korban ledakan bom di kompleks Pelabuhan Yos
Sudarso Ambon. Kondisinya tergolong agak parah karena Anthon terkena serpihan
bom di tungkai kaki kanan.
Pemuda yang bekerja sebagai tukang ojek ini terkena serpihan bom berupa dua paku
berukuran 10 cm dan sejumlah material lainnya yang tertancap di tungkai kakinya.
Tim dokter RS Al Fatah Ambon pun langsung memutuskan untuk mengoperasi
Anthon.
Operasi telah berhasil mengeluarkan serpihan bom, namun sang ibu hanya termangu
menatap anaknya yang tergeletak di tempat tidur.
Pikiran ibunda Anthon seperti tak focus, matanya menerawang kemana-mana.
Sesekali dia hanya bisa memegang kepalanya, seperti orang yang sedang menguras
isi otaknya untuk memecahkan persoalan yang berat. "Saya pusing mau ambil uang
dari mana untuk biaya perawatan dan obat anak saya," ungkapnya.
Wanita yang bekerja sebagai pedagang sayur ini tak mungkin hanya berharap pada
hasil dagangannya. "Untuk makan sehari-hari saja tidak cukup apalagi harus
membiayai perawatan anak saya," katanya.
Korban lain, Aci Buton (40), pada saat ledakan bom baru tiba di Pelabuhan Ambon
turun dari KM Bukit Siguntang, ketika itu dia sedang menunggu ayahnya. "Sebelum
ledakan saya masih tunggu ayah saya tak jauh dari pintu tersebut. Kemudian ada
seseorang menawarkan jasa mobil sewaan, namun belum sempat selesai tawar
menawar bom sudah meledak," tuturnya.
Sementara korban lainya, Amirudin (25), menuturkan bom meledak saat dirinya
sedang berjalan menuju pintu masuk. "Saya saat itu berjalan ke arah pintu masuk
untuk menjemput kakak saya. Tiba-tiba bom meledak dan serpihannya juga
mengenai tubuh saya," ungkapnya.
Kegundahan hati keluarga korban pun teratasi sebagian setelah Gubernur Maluku
Karel Albert Ralahalu menyatakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku akan
menanggung seluruh biaya perawatan para korban ledakan bom yang dirawat di RS
Al Fatah.
Kebijakan ini ditempuh Pemprov Maluku karena seluruh korban ledakan bom tersebut
merupakan orang-orang kecil. Mereka ada yang bekerja sebagai pedagang asongan
di pelabuhan, tukang ojek, sopir angkutan kota dan buruh pelabuhan. Mereka yang
hanya ingin mengais rejeki guna menyambung hidup, kini malah menjadi korban ulah
orang-orang biadab.
Adu Domba
Peristiwa itu terjadi di Pelabuhan Yos Sudarso Ambon, Sabtu (3/3) pagi sekitar pukul
07.30 WIT, ketika mulai dipadati warga yang ingin berangkat maupun mengantar atau
menjemput sanak-keluarganya yang menggunakan KM Bukit Siguntang.
Kapal milik PT Pelni tersebut merapat sekitar pukul 08.30 WIT di pelabuhan. Para
penumpang yang berasal dari Jakarta, Surabaya, Makassar dan Bau-bau dengan
tujuan Ambon pun bergegas turun dari kapal. Namun tiba-tiba sekitar pukul 09.00 WIT
suasana menjadi hangar-bingar karena semua orang panik. Bom rakitan meledak di
salah satu pintu pelabuhan.
Memang tidak ada korban jiwa, tetapi ledakan itu mengakibatkan 14 orang terluka,
tiga di antaranya luka parah di bagian kaki, tangan, dan punggung. Para korban pun
dievakuasi ke RS Al Fatah yang berjarak sekitar 800 meter dari lokasi kejadian.
Seketika ruang gawat darurat RS Al Fatah pun dipenuhi korban luka-luka tersebut.
Senin (5/3) hari ini aktivitas masyarakat Kota Ambon berjalan seperti biasanya.
Pasar, pelabuhan, pusat-pusat perbelanjaan, dan jalan-jalan tetap ramai. Proses
bongkar-muat barang di kawasan Pelabuhan Yos Sudarso juga lancar,
memperlihatkan bahwa masyarakat tidak terpengaruh lagi dengan kejadian-kejadian
provokasi.
Pada simpul ini, warga Maluku dan khususnya warga Kota Ambon hendaknya jangan
mau diadu domba lagi dan sebaiknya menghindari tindakan kekerasan bahkan terus
membangun perdamaian. Sedangkan jajaran TNI/Polri maupun pemerintahan harus
meningkatkan deteksi dini terhadap berbagai kemungkinan kekerasan lanjutan pasca
ledakan bom tersebut.
Jangan ada lagi ledakan bom di Ambon. Semua orang ingin hidup tenang dan tak
mau lagi mengulang masa lalu yang kelam, saat Kota Ambon dilanda kerusuhan
selama beberapa tahun sejak 19 Januari 1999. Situasi aman dan kondusif memang
berhasil diciptakan beberapa waktu belakangan ini, tetapi mengapa sekarang tiba-tiba
kembali muncul provokasi? (*)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|