Suara Maluku, 22-Mar-2007
Reffrein, Sioh Maluku
Victor Manuhutu
Nona e, nona e, buka pintu beta masuk, ada anjing gonggong beta, ada ombong
basah beta, kasi kaeng beta salimut, kasi tempat beta baring, baring dua
sama-sama, muka pusing badang lombo. (nona-Maurice Rugebregt)
Maurice Rugebregt menghentak publik Ambon dengan warna musik Jazz yang
mencubit serta menggerangai selera musik di Maluku masa kini. Bagai gelombang
yang datang dari laut, kadang menggerebek, kadang menggelora dan dilain waktu dia
mengalun lembut ditingkahi angin sibu-sibu di pantai Maluku.
Itulah musik Maurice Rugebregt yang memberi nuasa baru pada atmosphere musik di
Maluku. Lagu-lagu tradisional Maluku dengan cantik diusung dalam aliran jazz yang
mendunia. Artinya juga, Maurice Rugebregt ingin menonjolkan unsur Maluku di
blantika jazz. Dan memang, dia berhasil mencuri perhatian publik jazz setelah
mengetengahkan akar bermusik dari mana dia berasal.
Album Sioh Maluku membawa Maurice Rugebregt kembali ke Maluku lewat
perhelatan Festival Internasional Java Jazz. Java Jazz adalah pengakuan internasional
untuk karya musik jazz Maurice. Lebih spesifik yaitu pengakuan terhadap album Sioh
Maluku. Album Sioh Maluku dibuka oleh solo tante Ambon berdonci Nona kemudian
diikuti oleh sepuluh lagu tradisional Maluku.
Album Maurice sebelumnya yaitu Ltd Edition berisi 14 buah lagu yang dimainkan
Hammond Trio. Album ini gebrakannya serta gaungnya kurang menggema
dibandingkan album Sioh Maluku.
Sebelum konser di Ambon, masyarakat kota angin Mamiri di Makassar memberikan
apresiasi yang hangat bahkan memberikan standing applause ketika Maurice
menutup konsernya disana.
Bagaimana dengan kita di Maluku, apakah bisa menggunakan tampilan Maurice
Rugebregt sebagai sarana pembelajaran? Bagaimana kita di Maluku membandingkan
sosok musik Maurice Rugebregt untuk mencapai standard tinggi? Bagaimana kita
menggunakan pencapaian seorang Maurice sebagai hal yang unik, khas dan bukan
sekedar "iko modo" bermusik?
Ada berapa referensi lain selain Maurice Rugubergt sebagai pembanding, bagaimana
unsur Maluku di tonjolkan di musik dunia. Dari koleksi CD yang beta miliki, unsur
Maluku mengalami matamorfosa dan adapatasi untuk menggapai pengakuan
internasional.
Lagu-lagu Maluku tradisional dimainkan secara instrumentalia jazz oleh trio JWP,
sungguh gurih dan enak bagai sagu tumbu Ambon. JWP menelorkan album "Liang Ke
Waipirit" diawaki oleh Johny Pattipeilohy, Willem Pelupessy dan Paulus
Maniharapon.
Djanecy band yang sempat mengikuti Java Jazz bersama-sama dengan Maurice
Rugubregt menonjolkan lagu-lagu Maluku tradisional. Djanecy terdiri dari 8 anak
Maluku digawangi oleh Danji Tuhumena.
Rammenas band yang dimotori oleh Jeff Sopacua. Bagi penggemar Casiopea jika
mendengarkan lagu-lagu Rammenas akan terperanjat pada kemampuan anak-anak
Maluku ini. Simak saja album Spell dengan lagu Ceram Nite, Cari Jalan, Maluku
Beach, Gunung Mas dll.
Monica Akihary yang pernah tampil di lapangan Merdeka Ambon sudah menelorkan
tiga album masing-masing Above The Cloud Among The Roots, Lagu-Lagu dan Uwa i.
Album Uwa i baru di release berisi 9 lagu jazz yang kesemuanya dalam bahasa tanah
Aboru.
Kelas Massada dan Daniel Sahuleka, publik Eropa Barat sudah tahu siapa mereka.
Bahkan artis kulit berwarna satu-satunya yang pernah mencapai tangga pertama TOP
POP di Belanda hingga kini hanyalah Massada dengan nomornya Sajang e.
Penggemar aliran jazz latin atau latin rock mengenal nama Massada bahkan
album-albumnya dijual sampai ke Amerika Latin. Semua album Massada
menggunakan unsur Maluku baik judul maupun gambar untuk menunjukan akar
mereka. Sebut saja album Astaganaga (menghasikan golden disc), Pukul Tifa,
Pusaka dan Baru.
Christ Latul (eks-Massada) dengan album "Latul" membuat pendengar akan ikut
menggoyangkan badan setelah nomor Nona Padede menggerebak dengan irama
Latin Jazz. Simak syairnya; mari nona, mari sioh nyong beramai-ramai…mari kita
bermain muka, katorang dansa…lenggang kiri lenggang kanan sena
anggale…sekarang sudah akan berhenti, semua orang minta la pata'e...
Julia Lo'ko sekeluarga semuanya terjun dibidang musik yang dimulai dari kakak
tertuanya yaitu Eddy Lekransi serta adik-adik perempuannya. Julia menggelarkan 2
album masing-masing Colour Me Forever dan Heartland. Di album Heartland ada lagu
dari daerahnya yang judul Narpese dan juga lagu Hena Masa Waya.
Di Indonesia, almarhum Christ Kayhatu sempat membuat musik Amboina menjadi
trend. Album Ambon Jazz Rock berhasil menghentak publik Indonesia sampai Enggo
Lari bukan saja milik orang Maluku tetapi milik seluruh Indonesia. Seorang Christ
Kayhatu menyebabkan pergesaran pemakaian kata "ramai-ramai" menjadi
"rame-rame" akibat pemakaian secara luas dalam masyarakat sebagai imbas dari
ngetopnya lagu Rame-Rame oleh Utha Likumahuwa. Rame-Rame adalah lagu buah
tangan dari Christ Kayhatu.
Tahun '50-'70 orang Maluku menjadi kiblat musik Indonesia. Tahun '55 anak-anak
muda belia waktu itu (Beng Leiwakabessy, Rene Rehatta cs) ke Jakarta untuk
bertarung musik Hawaiian. Mereka merebut juara 2 sementara lawan mereka yang
merebut juara 1 adalah sang raja Hawaiian dunia yaitu George de Fretes. Bayangkan
dari Maluku pergi bertarung di ibu kota Negara, juara 2 lagi!
Lalu mengapa insan musik di Maluku kini seperti ternina-bobokan oleh kehebatan
orang Maluku tempo dulu? Mengapa kita di Maluku kini seakan hanya bangga pada
cerita nostalgia tentang kehebatan orang Maluku?
Banyak faktor mempengaruhi, diantaranya faktor pembinaan, kesempatan dan
kemampuan ekonomi turut mempengaruhi selera serta kwalitas musik orang Maluku
kini. Tingkat pendidikan dan pembelajaran yang kurang, membuat tidak ada
penciptaan lagu Maluku yang memiliki kwalitas bersaing serta syair lagu yang kokoh
kuat dalam budaya bermusik. Bandingkan dengan syair "Oh Maluku" gubahan Rene
Rehatta.
Tahukah kita bahwa Maluku pernah mempunyai aliran musik tersendiri yang di gali
oleh Rene Rehatta, Beng Leiwakabessy, Piet Leiwakabessy cs? Aliran itu bernama
Kapanya serta didasarkan pada bermacam-macam beat tifa. Aliran tersebut mati
seiring makin tua generasi penggalinya. Sayang generasi muda tidak mampu
mengembangkannya menjadi ciri musik Maluku yang lain dari musik di Indonesia.
Beta bersyukur atas kehadiran Maurice Rugebregt dan Julia Lo'ko di Ambon seakan
mencubit generasi kini bahwa kita mempunyai kekayaan budaya musik yang tinggi
dan perlu pengembangan. Kita patut berbangga pada Maurice yang telah berusaha
menonjolkan akar budaya dia.
Di akhir konsernya walaupun menangis bangga dapat tampil di hadapan saudara
sebangsa tetapi air mata Maurice dapat diartikan keprihatinan perkembangan musik
di tanah airnya sendiri yaitu Maluku.
Danke banyak Maurice Rugebregt atas penempatan cita-cita untuk konser di
Amboina tanah asalmu sebagai penghargaan tertinggi dalam bermusik. Danke juga
mau membangunkan generasi kini dari tidur panjang mereka. Maurice ee, Lawa Mena
Taha Sere, maju terus jang undur. Mena!
Copyright © Suara Maluku
|