SUARA PEMBARUAN DAILY, 27 Februari 2007
Otonomi Daerah, Etika, dan Budaya Politik Lokal
Immanuel E Blegur
Belakangan muncul banyak tuntutan dari daerah untuk pemekaran wilayah provinsi,
kabupaten/kota. Sejalan dengan semangat otonomi daerah, tuntutan seperti itu jelas
mendukung penguatan masyarakat politik basis andai itu betul murni aspirasi rakyat.
Otonomi daerah yang sudah berjalan sejak UU 22/1999 yang direvisi menjadi UU
32/2004, merupakan bagian dari upaya pembangunan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dengan kata lain, otonomisasi adalah bagian dari agenda neonasionalisme
yang disebut nation and state building.
Untuk memperjelas itu, ada beberapa sumbangan yang diberikan oleh Kebijakan
Otonomi Daerah dalam konteks pembangunan. Pertama, penyelenggaraan
pemerintahan daerah adalah domain eksekutif, para penyelenggaranya terkategori
pula dalam lingkup aktor eksekutif.
Dalam Undang-Undang 32/ 2004 dengan tegas dibedakan fungsi dan aktor eksekutif
dan mana legislatif. Bahkan dalam kaitan dengan pengesahan perda terdapat
ketentuan bahwa pimpinan DPR! tidak diperkenankan menandatangani perda, karena
penandatanganan perda adalah domain eksekutif dan DPRD tidak termasuk dalam
penyelenggara pemerintahan daerah.
Kedua, UU Otda telah membedakan secara jelas fungsi legislatif dan eksekutif
sehingga tidak tumpang-tindih (overlapping). UU itu dengan tegas menyebutkan
bahwa penyelenggara pemerintah pusat adalah presiden yang dibantu para menteri,
dan DPR RI tidak termasuk dalam penyelenggara pemerintahan. Ketentuan itu
membedakan dengan tegas domain dan aktor eksekutif dengan domain dan aktor
legislatif.
Ketiga, pembangunan nilai-nilai lokal. UU Otda menekankan demokratisasi yang
menghargai nilai dan kearifan lokal. Lebih dari itu, demokrasi yang sesungguhnya
adalah demokrasi yang dibangun atas dasar pluralisme nilai dan budaya lokal yang
ada dalam suatu masyarakat bangsa. Dalam konteks ini, tema tentang pemberlakuan
nilai-nilai lokal dalam menjalankan otonomi daerah, menjadi sangat relevan.
Otonomi Daerah yang telah dijalankan sejak 2001 sebagai salah satu agenda
Reformasi tahun 1998, justru dimaksudkan untuk mengembangkan nilai-nilai lokal
yang selama ini diredam oleh nilai hegemonik yang dipaksakan secara nasional dari
Pusat sampai ke sudut-sudut kampung di seluruh Tanah Air. Akibatnya, etika dan
budaya politik lokal yang beragam di negeri ini tidak diberdayakan dan bahkan
perlahan-lahan menjadi luntur.
Membangun demokrasi ke depan, dalam rangka membangun masa depan politik
lokal yang lebih baik, tidak bisa dila! kukan tanpa menghargai dan mengembangkan
nilai-nilai etika dan budaya politik daerah. Karena bagaimanapun, etika dan budaya
politik nasional dibangun dari norma-norma budaya politik daerah yang majemuk itu.
Penulis mendefenisikan nilai-nilai lokal sebagai seperangkat nilai atau ajaran
moral-politik yang dimiliki dan berkembang di suatu daerah tertentu dan menjadi jati
diri atau karakter dalam interaksi politik demi mewujudkan kekuasaan politik yang
beradab. Nilai-nilai lokal berbeda-beda di masing-masing daerah.
Penyelenggaraan politik dan pemerintahan lokal yang sudah mengalami otonomisasi
seharusnya didasarkan pada etika politik lokal tersebut. Karena hanya dengan
demikian, proses politik menjadi dekat dengan masyarakat dan masyarakat secara
emosional merasa menja! di bagian dari sistem politik yang ada sehingga loyalitas
atau kepatuhan masyarakat terhadap pemerintah menjadi tinggi.
Nilai-nilai Budaya
Keempat, peran yang kuat dan final dalam pembuatan peraturan daerah.
Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dengan tegas menetapkan dalam Pasal (70)
bahwa peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum,
peraturan daerah lain, dan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Apabila kita mencermati ketentuan di atas, jelas bahwa dalam perspektif UU No 22
Tahun 1999, selain wewenang pembuatan perda diserahkan secara final kepada !
aktor politik lokal, undang-undang ini juga memberikan kepercayaan penuh kepada
aktor politik lokal, khususnya pemerintah daerah dan DPRD, untuk menyaring semua
ketentuan dalam perda yang sedang disusun agar tidak bertentangan dengan perda
lainnya, kepentingan umum, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Hal itu sejalan dengan pandangan kaum lokalis yang dimotori Jones dan Stewart.
Keduanya beranggapan, hanya orang lokal yang dapat memahami kondisi dan
nilai-nilai lokal, karena itu merekalah yang lebih berkompeten untuk membuat
kebijakan publik dan keputusan politik lainnya. Mereka juga sangat antisentralisasi,
sehingga menghendaki pengurangan, bahkan bila perlu penghapusan, peran
pemerintah pusat.
Kelima, terkait dengan etika politi! k di Indonesia karena etika daerah ini beragam,
yang dilandasi oleh konteks sosial masyarakat kita yang juga majemuk.
Namun demikian, dipercayai bahwa ada nilai yang umum yang bisa diterima sebagai
nilai bersama masyarakat Indonesia, seperti kekeluargaan, musyawarah, dan
mufakat, yang sejatinya mengandung muatan etika politik daerah.
Dari sisi itu dapat dikatakan, etika politik daerah dapat terpancar dalam nilai-nilai
budaya lokal maupun nasional. Demokrasi Pancasila yang dikembangkan oleh Orde
Baru dibangun atas dasar nilai-nilai budaya itu.
Penulis berpendapat, budaya politik daerah sebetulnya lebih dalam dan kompleks
daripada sekadar nilai kekelua! rgaan, musyawarah dan mufakat yang sudah lazim
kita kenal. Dalam praktik, masyarakat budaya di Indonesia memiliki kebiasaan yang
berbeda-beda, sehingga dalam menjalankan politik di daerah sebetulnya juga tidak
bisa seragam.
Karena itu, apabila semua bentuk politik lokal diterapkan secara uniformitas, akan
menghilangkan "wajah budaya" dalam praktik berotonomi dan berdemokrasi.
Otonomi daerah adalah peluang bagi daerah untuk mengembangkan dirinya sesuai
dengan modal dan kemampuan daerah. Dalam hal ini, budaya politik daerah
merupakan salah satu modal daerah yang perlu dikembangkan.
Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi setiap pemerintah daerah untuk tidak meng!
embangkan kultur politik yang selaras dan sesuai dengan nilai budaya politik
masyarakatnya.
Budaya Politik Daerah
Berpegang pada etika dan budaya politik lokal, setidaknya dua persoalan di Indonesia
akan bisa diatasi, yakni menyangkut konflik horizontal dan perumusan kebijakan
politik. Pertama, konflik horizontal. Konflik yang terjadi di masyarakat seringkali
bersifat lokal, artinya penyebab, pelaku, dan medan konflik bersifat lokal.
Karena konflik bersifat lokal, maka otomatis solusinya pun harus bersifat lokal. Dalam
hal ini, peran budaya, adat, dan kebiasaan masyarakat daera! h sangatlah penting.
Pela Gandong di Maluku misalnya merupakan bagian dari kekayaan budaya yang
perlu dikembangkan sebagai modal bangsa dalam rangka resolusi konflik.
Ketika terjadi konflik antara masyarakat dan aparatur politik/negara, solusi yang
paling efektif adalah memanfaatkan secara optimal pendekatan etika dan budaya
politik setempat, bukan justru jalur hukum modern yang belum mengakar dalam
memori kolektif masyarakat daerah.
Setiap kelompok masyarakat atau daerah niscaya mempunyai mekanisme resolusi
konflik yang khas karena tidak ada kelompok masyarakat atau daerah yang tidak
menghendaki perdamaian.
Dalam konteks ini, budaya p! olitik daerah mesti dikembangkan dalam rangka
pemberdayaan politik dan demokrasi di tingkat daerah, dan tidak sekadar media yang
efektif bagi resolusi konflik.
Kedua, perumusan kebijakan politik. Dalam hal perumusan kebijakan politik, budaya
politik daerah memiliki peran krusial. Metode pendekatan politik modern yang diterima
dari negara maju sering kali tidak hanya sulit berhasil juga menimbulkan masalah
baru di tengah masyarakat.
Pemerintah semestinya memahami kebiasaan, adat, budaya masyarakat setempat,
termasuk di dalamnya bagaimana membuat kompromi atau musyawarah yang baik
dalam rangka menghasilkan suatu kebijakan.
Ini yang da! lam bahasa modern disebut community-based policy. Yang terjadi sering
kali pemerintah tidak menghargai aspirasi masyarakat lalu tidak menggunakan
metode budaya dalam memecahkan masalah sehingga yang terjadi adalah kekerasan
demi kekerasan.
Pemerintah dengan gampang menghadirkan tentara dan polisi bersenjata sebagai
jawaban atas tuntutan masyarakat lokal yang sebetulnya hanya ingin pendekatan
yang bersifat budaya. Jelaslah bahwa peran budaya politik daerah sangat penting
dalam rangka membangun demokrasi di Indonesia.
Penulis adalah mahasiswa Program S3 Ilmu Politik FISIP UI, mantan anggota
DPR/MPR RI (1999-2004)
Last modified: 27/2/07
|