SUARA PEMBARUAN DAILY, 3 Maret 2007
Keluarga Tong
Andar Ismail
Stephen Tong, Caleb Tong, dan Solomon Tong, dikenal masyarakat Indonesia
sebagai tokoh gereja. Hebat, tiga kakak beradik jadi tokoh. Tunggu dulu! Bukan
bertiga, tetapi bertujuh. Tujuh kakak beradik jadi tokoh tersebar di berbagai negara.
Siapa gerangan ibu yang mendidik ketujuh putra itu?
Ibu itu bernama Tan Tjien Nio. Biografinya berjudul Sons for the Master karangan
Freda Hatfield setebal 357 halaman. Simak arti harfiahnya; Putra-putra untuk Sang
Pemilik.
Ibu Tjien lahir di Yogyakarta pada tahun 1909. Ia murid SMP berbahasa Belanda.
Pada suatu hari, tiga pria bertamu. Tjien disuruh menyajikan teh. Sepulang
rombongan tamu, Tjien diberi tahu bahwa ia akan dinikahkan! Menikah? Astaga! Ia
sangat terkejut. Umurnya baru 16 tahun! Ia berusaha mengingat wajah ketiga pria itu.
Yang mana calon suaminya?
Begitulah pada usia 17 tahun Tjien menikah dengan Tong Pai Hu, usia 36 tahun,
pengusaha di Semarang berasal dari Xiamen. Setelah dua tahun di Semarang, Ibu
Tjien ikut suami menetap di Xiamen. Putra demi putra lahir di sana. Semuanya tujuh
putra.
Pada suatu hari Ibu Tjien dikunjungi kaum ibu gereja. Ia heran mendengar doa cara
Kristen. Doa itu tenang dan teduh, bagaikan berbisik kepada Tuhan. Biografinya
mencatat, Never before had she heard anyone pray to the Christian God... somehow it
calmed her weary spirit... something that nudged at the worry and despair within her,
as if to dislodge it.
Ia jadi tertarik pada iman Kristen, lalu beribadah di gereja bersama keluarga. Ternyata
para putranya lebih pandai bernyanyi ketimbang dia. Kemudian mereka dibaptis.
Perang semakin meluas dan menyengsarakan. Makanan langka. Suami Ibu Tjien
sakit keras, lalu meninggal dunia. Tiba-tiba seluruh beban hidup dipikul oleh Ibu Tjien.
Usianya baru 32 tahun. Bagaimana memberi makan tujuh anak? Si sulung baru 14
tahun, si bungsu 18 bulan. Ia membuka toko jahit untuk menghidupi dan
menyekolahkan anak.
Kemudian Ibu Tjien mempertimbangkan untuk pulang ke Indonesia. Ia merasa hari
depan putra-putranya adalah Indonesia. Tetapi mana uang untuk perjalanan dan
modal hidup?
Lalu ia teringat bahwa anak-anaknya begitu mempercayakan diri kepadanya. Kalau
begitu mengapa tidak mempercayakan diri kepada Kristus? Ia berdoa, Lord, my little
ones... how they depend on me... help me to trust You as much as they trust me.
Dengan membawa lima bocah Ibu Tjien kembali ke Indonesia pada tahun 1947. Ia
membuka toko jahit di Surabaya. Dengan kaki dan tangan yang nyeri akibat siang
malam menjahit, ia membesarkan anak-anak. Ia berpegang pada nasihat Rasul
Paulus, "Tetapi jikalau seorang janda mempunyai anak atau cucu, hendaknya mereka
itu pertama-tama belajar berbakti kepada kaum keluarganya sendiri..." (1 Tim 5:4).
Biografi mencatat doanya, I won't remarry, Lord, Ia will devote myself to raising my
children and to Your service.
Melalui mesin jahit Ibu Tjien memberi makan putra-putranya. Pernah ia mendapat
sepotong daging ham. Anak-anak bersorak girang, "Kapan dimakannya?" Ia
menjawab, "Tunggu sampai Imlek."
Tiap hari anak-anak bertanya lagi. Lalu datang seorang sepupu. Ibu Tjien mengambil
pisau dan hendak membagi daging itu. Tetapi sepupunya berkata, "Kalau mau
memberi, berikan saja seluruhnya." Ibu Tjien dan semua anak bengong. Ketika
sepupu itu pergi para putra itu menangis tersedu-sedu.
Masih ada pertanyaan; bagaimana cara Ibu Tjien mendidik sehingga kini ketujuh
putranya menjadi tangguh? Mungkin karena ia memberi peluang kepada mereka
untuk berprakarsa dan berjuang. Masih di sekolah dasar anak sudah membantu
mencari nafkah. Tiap anak boleh berbeda pendapat. Di meja makan tiap hari
putra-putra itu gaduh berdebat. Tulisnya; The noise level of dinner conversation had
been almost unbearably high.
Melihat putra-putranya kini menjadi berkat bagi gereja dan masyarakat Indonesia, Ibu
Tjien bersyukur bahwa dulu ia membawa mereka pulang ke Indonesia. Tulis biografi
ini, it was well, she now knew, for the furtherance of the Gospel in this land, that she
had brought her young ones to Indonesia when she had. Misinya genap dalam usia 68
tahun.
Ketika duduk sekelas dengan Stephen Tong dan Caleb Tong di Malang selama satu
semester, saya mengagumi ketangguhan mereka. Siapa gerangan ibu mereka? Di
balik putra yang tangguh tersembunyi seorang ibu yang tangguh.
Penulis adalah pengarang buku-buku "Seri Selamat" BPK Gunung Mulia.
Last modified: 3/3/07
|