SUARA PEMBARUAN DAILY, 7 Maret 2007
Pijar Keadilan Minta KPK Tetapkan Megawati Jadi Tersangka
[JAKARTA] Dewan Pimpinan Pusat Pijar Keadilan meminta Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) agar menetapkan mantan Presiden RI, Megawati Soekarnoputri,
mantan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Hari Sabarno, dan mantan
Menteri Keuangan, Boediono, sebagai tersangka. Permintaan itu terkait kebijakan
mereka pada tahun 2002 yang mengeluarkan uang negara untuk partai-partai politik
waktu itu senilai lebih dari Rp 100 miliar.
"Megawati melakukan itu ketika menjabat Presiden RI, serta Hari Sabarno dan
Boediono ketika menjadi menteri. Jadi mereka telah melakukan tindak pidana korupsi
dengan cara menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang mereka miliki
waktu itu," kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Pijar Keadilan, RO Tambunan
SH kepada wartawan di kantor KPK, Jakarta, Selasa (6/3).
Tambunan mendatangi KPK, Selasa siang itu, bersama Sekretaris Jenderal Pijar
Keadilan, Petrus Selestinus SH, dan sejumlah anggota Pijar Keadilan, untuk
melaporkan kasus tersebut kepada KPK.
Dalam dalam pernyataan tertulis, Tambunan menyatakan pada pertengahan 2002,
Megawati Soekarnoputri selaku Presiden, serta Hari Sabarno selaku Menteri Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah serta Boediono selaku Menteri Keuangan, telah
mengeluarkan uang negara untuk partai-partai politik waktu itu, yaitu Rp 35,7 miliar
untuk PDI-P dan Rp 23,74 miliar untuk Partai Golkar, serta kepada partai-partai yang
lain yang ada pada saat itu.
Bantuan sebesar itu, kata dia, baru berupa bantuan untuk tingkat pusat saja,
sedangkan bantuan untuk partai-partai tersebut di tingkat I (provinsi) dan tingkat II
(kabupaten/kota) juga diberikan oleh gubernur dan bupati/wali kota pada tingkatnya
masing-masing.
"Dana tersebut oleh para terlapor diambil dari APBN dan APBD setempat dan
jumlahnya mencapai ratusan miliar rupiah untuk kepentingan par- tai-partai tersebut,"
kata Tambunan.
PP 51/2001
Dasar pemberian bantuan tersebut adalah Rp 1.000 untuk setiap suara yang diperoleh
dari hasil pemilihan umum tahun 1999. Ketentuan tersebut tercantum di dalam Pasal
7 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2001 tentang Bantuan Keuangan
kepada Partai Politik.
Dengan memberlakukan PP tersebut, kata dia, maka PDI-P di bawah kepemimpinan
Megawati waktu itu telah memperoleh dana dari anggaran negara sebesar kurang
lebih seratus milliar rupiah untuk tingkat pusat dan daerah. "Jadi kedudukan dan
wewenangnya selaku Presiden pada waktu itu telah disalahgunakan. Kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya, digunakan
Megawati untuk mengeruk sedemikian besar uang negara untuk kepentingan PDI-P,"
kata dia.
Padahal, Megawati selaku Presiden waktu itu menyadari bahwa PP yang mengatur
bahwa setiap partai politik berhak mendapat Rp 1.000 untuk setiap suara yang
diperoleh pada Pemilu 1999 adalah tidak sah dan bertentangan dengan UU 2/1999
tentang Partai Politik.
Menurut Tambunan, pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), PP
tersebut tidak diberlakukan karena Gus Dur menyadari PP itu bertentangan dengan
UU 2 /1999. "Hari Sabarno pun telah diingatkan tentang penggunaan PP tersebut,"
katanya.
Tambunan mengatakan perbuatan Megawati bersama dua menterinya waktu itu
merupakan perbuatan melanggar hukum dan tergolong tindak pidana korupsi dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
Terkait hal itu, Sekretaris Jenderal PDI-P Pramono Anung Wibowo mengatakan
kepada Pembaruan, Selasa (6/3) malam, Indonesia adalah negara demokrasi,
sehingga setiap orang boleh-boleh saja melaporkan siapa saja yang diduga
melakukan tindak pidana korupsi ke pihak yang berwajib. Namun dilihat dari
substansi laporan Pijar Keadilan, kata dia, adalah salah.
"Dikatakan salah karena pemberlakuan PP tersebut ditentukan oleh pemerintah yang
sah," kata Pramono. [E-8]
Last modified: 7/3/07
|