SUARA PEMBARUAN DAILY, 04 April 2007
Kesusahan dan Nihilisme Rakyat
Albertus Patty
Spanduk besar terpasang di Jalan Diponegoro, Jakarta. Pesannya memiriskan hati.
Pada spanduk karya Srikandi Demokrasi Indonesia (SDI) itu tertulis: Daftar orang
susah, 5,4 juta balita kurang gizi, 8 juta anak telantar, 23 juta pengangguran, 110 juta
rakyat miskin, 1 juta lebih pelacur, 300 ribu pel! ajar drop out, 180 ribu mahasiswa
drop out, orang sakit 2,7 juta, dan seterusnya.
Tidak jelas dari mana data diperoleh. Kita bisa pertanyakan keakuratannya. Tetapi,
yang terpenting pesan spanduk itu berhasil menggambarkan realitas kita kini bahwa
memang semakin banyak orang susah di negeri ini. Naiknya harga bensin, minyak
tanah, beras dan kebutuhan pokok lainnya telah melebihi jangkauan daya beli
masyarakat. Banyak yang merasakan ketidakberdayaan.
Apa yang bisa dilakukan hanyalah memohon belas kasihan sesama. Jalan-jalan pun
dijejali pengemis, dari bayi sampai uzur. Makin banyak rakyat yang terpaksa makan
nasi aking atau tiwul demi mempertahankan hidup. Sebagian lagi mati sia-sia setelah
didera busung lapar. Masyarakat yang susah mulai merasakan apa yang Cornel West
sebut seb! agai nihilisme (Race Matters H. 14).
Nihilisme bukanlah doktrin filsafat yang beranggapan tidak adanya dasar rasional
yang mengabsahkan kekuasaan. West memiliki definisi sendiri terhadap nihilisme.
Menurut West, nihilisme adalah pengalaman manusia yang hidup tanpa arti, tanpa
harapan, dan tanpa cinta.
Nihilisme sering berujung pada keputusasaan. Rasa putus asa melahirkan ragam
reaksi. Sebagian masyarakat yang putus asa menderita stres kronis dan terpaksa
menjalani hidup mereka di balik jeruji rumah sakit gila. Sebagian lagi merasa terang
sudah berganti menjadi kegelapan, jalan pun buntu, lalu memutuskan bunuh diri.
Bagi mereka, bunuh diri adal! ah satu-satunya alternatif karena kematian masih lebih
baik daripada hidup susah tanpa makna dan tanpa cinta. Orang-orang yang bunuh diri
adalah orang yang merasa diri sudah dilupakan dan diabaikan oleh sesama, oleh
pemerintah, oleh wakil rakyat, dan bahkan oleh Tuhan.
Jumlah orang yang putus asa dan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri meningkat
dari tahun ke tahun. Sedihnya, bukan saja orang dewasa yang mengambil alternatif
bunuh diri, anak-anak pun ikut-ikutan putus asa dan bunuh diri.
Di Bandung ada dua kasus bunuh diri yang dilakukan anak-anak, yang putus asa
karena terpaksa berhenti sekolah akibat ketiadaan dana.
Ekspresi Kemarahan
Nihilisme yang melahirkan keputusasaan bisa meledakkan kemarahan dan
kebencian. Intelektual Islam dari UCLA, Khaled Abou El Fadl, membangun teori
menarik. Fadl mengatakan ada dua cara orang mengekspresikan kemarahan dan
kebenciannya. Cara pertama adalah mereka yang mengekspresikan kemarahan
dengan motif dan tujuan yang jelas. Ekspresi kemarahan yang paling santun
dilakukan melalui aksi protes. Protes keras masyarakat Serpong yang marah dengan
cara menutup jalan tol di Serpong bertujuan menuntut ganti rugi atas tanah yang
diambil untuk pelebaran jalan tol.
Aksi protes karyawan PT Dirgantara Indonesia yang telah dilakukan bertahun-tahun
didasari motif dan tujuan yang jelas, yaitu menuntut pemulihan hak kepegawaiannya
atau ganti rugi yang memadai. Sayangnya, aksi protes itu terkesan diabaikan.
Mereka dianggap tidak ada! Terakhir demonstrasi penduduk Porong, Sidoarjo yang
rumah dan tanahnya terendam lumpur bertujuan menuntut ganti rugi.
Dalam ketiga kasus di atas pemerintah terlibat secara langsung maupun tidak
langsung. Aksi protes masyarakat adalah ekspresi kemarahan karena tersumbatnya
ruang dialog.
Mengabaikan protes hanya memunculkan keputusasaan yang memicu aksi bunuh diri
atau bahkan kekerasan yang membahayakan semua orang. Membungkam protes
melalui pendekatan keamanan yang militeristik pun bukanlah cara terbaik
menyelesaikan persoalan. Kedua pendekatan di atas hanya menggumpalkan
keputusasaan masyarakat.
Orang putus asa bisa melakukan cara apa pun, termasuk kekerasan, dengan tujuan
mempertahankan haknya. Orang yang putus asa tidak peduli terhadap hidupnya.
Mereka bersedia menanggung risiko seberat apa pun yang penting motif dan
tujuannya tercapai. Contoh jelas adalah pejuang Palestina yang melakukan aksi bom
bunuh diri terhadap pasukan pendudukan Israel.
Motif mereka, menurut Abou El Fadl, adalah pembebasan tanah airnya dari
pendudukan Israel. Jadi, dalam setiap aksi ada tujuan yang hendak dicapai. Ada
klaim yang dikejar! Itulah sebabnya penyelesaian terbaik dalam berbagai persoalan
adalah dengan kesediaan menyelesaikan berbagai persoalan melalui dialog yang
santun. Dialog dimulai dengan kesediaan mendengar keluh kesah dan penderitaan
sesama dan dari situ berupaya mencari solusi yang terbaik bagi semua.
Kebencian
Cara kedua orang putus asa mengekspresikan kemarahan dan kebenciannya adalah,
celakanya, sering tidak didasari dengan motivasi dan tujuan yang jelas. Abou El Fadl
memberikan contoh bagus. Penyerangan terhadap gedung pencakar langit WTC di
New York pada peristiwa 11 September 2001 dilakukan dengan motivasi dan tujuan
yang sama sekali tidak jelas. Pelaku penyerangan itu sendiri tewas dalam aksinya.
Penyerangan itu sendiri adalah muntahan kemarahan dan kebencian terhadap simbol
kebesaran Amerika Serikat. Tidak ada klaim apa pun. Tidak ada tuntutan
kemerdekaan terhadap sejengkal tanah ata! u tuntutan pembebasan terhadap siapa
pun! Seolah yang hendak dicapai cuma pemberotakan terhadap nihilisme, suatu
penegasan bahwa "kami eksis!"
Peristiwa WTC memiliki kesamaan dengan kasus Amrozi di Bali. Amrozi dan
kawan-kawan memuntahkan kemarahan dan kebencian yang telah bergejolak dalam
hati. Kemarahan demi kemarahan itu sendiri! Karena itu, mengabaikan berbagai
penderitaan dan kesusahan masyarakat berpotensi menebarkan virus nihilisme yang
melahirkan kemarahan dan bahkan kekerasan yang membahayakan seluruh bangsa.
Kita perlu membangun peradaban baru guna menyelesaikan berbagai persoalan
bangsa, yaitu melalui membuka ruang dialog seluas-luasnya, memfasilitasi
percakapan bahkan perdebatan rasional, dan melalui hukum yang harus ditegakkan.
Pemerintah harus berani memula! inya. Semoga!
Penulis adalah Ketua Crisis-Center GKI
Last modified: 4/4/07
|