SUARA PEMBARUAN DAILY, 9 Mei 2007
CATATAN JAKARTA
Tiga Tokoh Bermasalah
Sabam Siagian
Siapa diantara para pembaca budiman yang rajin mengikuti pemberitaan
internasional, agaknya akan terkesan betapa sejumlah tokoh-tokoh ulung dibidangnya
masing-masing sedang terjerat dalam gumpalan permasalahan.
Paling sedikit ada tiga tokoh patut diamati yang sedang dilanda permasalahan
sehingga posisinya terancam: Ehud Olmert, perdana menteri Israel; Paul Wolfowitz,
presiden Bank Dunia dan Lord Browne, Ketua dan CEO BP ( British Petroleum ). Dua
di antara mereka, Paul Wolfowitz dan John Browne, saya kenal cukup baik secara
pribadi. Sulit di hindarkan, timbul empati mengikuti peristiwa-peristiwa yang terpaksa
mereka alami.
*
Ehud Olmert baru beberapa minggu berfungsi sebagai perdana menteri bulan Juli
tahun lalu, ketika timbul krisis Lebanon. Kesatuan Hezbullah menyusup wilayah Israel
dari Lebanon Selatan: menewaskan tiga prajurit, sedangkan dua lainnya diculik.
Dapat diperkirakan bahwa PM Olmert ingin buktikan dia juga mampu bersikap tegas,
seperti rekannya Ariel Sharon (Jenderal purnawirawan) yang koma diserang stroke.
Dia memerintahkan angkatan perang Israel menyerang Lebanon, resminya, untuk
membersihkan Leba- non Selatan dengan menghancurkan pangkalan dan konsentrasi
Hezbullah. Maka berlangsunglah apa yang disebut sebagai Perang Israel-Lebanon
kedua selama 34 hari sebelum gencatan senjata dinyatakan berlaku.
Pada umumnya kualitas tempur tentara Israel dinilai sebagai mengecewakan. Apalagi
paling sedikit 160 prajurit dan warga sipil Israel tewas. Kritik yang memuncak
memaksa PM Olmert untuk membentuk sebuah komisi investigasi yang dipimpin oleh
mantan Hakim Agung Eliyahu Winograd.
Komisi itu baru saja mengedarkan laporan interimnya, karena khususnya berfokus
pada awal perang selama 5 hari.
Ternyata, kepemimpinan PM Ehud Olmert dikritik habis- habisan. Ia dianggap sama
sekali tidak kompeten dan dinilai se-bagai "gagal dalam melaku- kan tanggung
jawabnya". PM Olmert, menurut Komisi Winogard, cenderung mengambil keputusan
secara tergopoh-gopoh dan melancarkan perang tanpa persiapan yang matang.
Bukan saja para orang tua korban Perang Israel-Lebanon kedua itu yang demo, tapi
berpuluh ribu warga Israel turun ke jalan untuk menuntut supaya PM Ehud Olmert
mundur sebagai kepala pemerintahan. Bahkan juga Menteri Luar Negeri Tzipi Livni,
teman separtainya di Partai Kadima, menyatakan Olmert lebih baik berhenti, karena
landasan kepercayaan di kabinet terhadap kepemimpinannya telah menipis. Tapi PM
Olmert tetap bertahan ("Mengundurkan diri sekarang bukanlah sikap yang tepat",
katanya), karena jumlah suara yang mendukungnya di par- lemen masih aman.
Dalam kasus Paul Wolfowitz, Presiden Bank Dunia dan mantan wakil menteri
pertahanan AS, dia sedang mempertahankan posisinya secara gigih. Dia didesak
mengundurkan diri oleh para staf Bank Dunia, karena dituduh telah terlibat dalam
tindakan KKN. Ketika Paul Wolfowitz diangkat sebagai kepala lembaga internasional
itu tahun 2005, dia secara terus terang mengungkapkan bahwa seorang staf, Shaza
Ali Riza, adalah pacarnya sudah bertahun-tahun. Karena hubungan akrab, termasuk
juga suami-istri, demikian tidak dibolehkan antara sesama staf Bank Dunia, maka
dicarikan jalan supaya Ms Riza (spesialis masalah Timur Tengah) pindah ke
Departemen Luar Negeri. Gajinya mendapat kenaikan sampai dua kali, tapi dia tetap
dibiayai oleh bank Dunia. Kalau nanti dia kembali ke lembaga asalnya (setelah
penggantian presiden), maka Shaza Ali Riza mendapat jaminan akan naik pangkat.
Persoalannya baru terungkap bulan lalu, ketika beberapa dokumen sekitar Ms Riza
dibocorkan. Paul Wolfowitz yang pernah bertugas sebagai duta besar AS di Jakarta
(1986-1989) dituding sebagai munafik. Ia melancarkan program anti-korupsi sampai
menghentikan program bantuan ke beberapa negara, karena pemerintah
bersangkutan diduga terlibat dalam praktek korupsi, tapi dia sendiri main KKN.
Di depan Komisi Khusus yang dibentuk oleh Dewan Direksi, Paul membela diri. Dia
menuduh bahwa ada gerakan terorganisir di antara staf Bank Dunia yang sedari
mulanya ingin mendongkel kepemimpinannya. Menurut Paul, dia sudah berkonsultasi
dengan tiga pe- jabat senior dalam mencari penyelesaian jalan keluar untuk Shaza Ali
Reza. Dan dia tidak ikut dalam menentukan jumlah kenaikan gajinya. Hal itu dibantah
oleh pejabat-pejabat senior yang disebut namanya. Malahan mereka menandaskan
bahwa Paul Wolfowitz memaksakan konsepnya dalam sebuah instruksi.
Berkali-kali Paul Wolfowitz menandaskan bahwa dia tidak akan mengundurkan diri
tapi akan menyelesaikan periode kepemimpinannya. Yakni, dua tahun lagi. Namun
dalam keterangan pembelaan diri Senin lalu (30/4) sepanjang tujuh halaman, ia toh
mengungkapkan kemungkinan mundur. Katanya, "nanti kalau kehebohan sekitar diri
saya telah mereda, akan saya pertimbangkan, apakah saya masih mampu bertugas
secara efektif sebagai Presiden Bank Dunia".
*
Lord John Browne (59 tahun) amat direspek di kalangan minyak dan gas dunia
sebagai tokoh kaliber tinggi dengan prestasi gemilang. Ia berhasil mengembangkan
BP ( British Petroleum, slogannya yang baru: "Beyond Petroleum ") dari perusahaan
minyak dan gas bumi yang sedang-sedang saja, menjadi perusahaan raksasa kelas
dunia. Pada tahun 1998, John Browne berhasil mengambil oper perusahaan AS
Amoco, kemudian Arco dan Castrol. Ia satu-satunya perusahaan energi Barat yang
masih tetap aktif di Rusia, ber-partner dengan BUMN Rusia. John Browne juga
mendorong pembangunan dua jalur kilang LNG (gas alam yang dicairkan untuk
diangkut dengan kapal ke pihak pembeli, diolah lagi menjadi gas di terminal
penerima) di Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat. Proyek LNG Tangguh itu akan mulai
operasional pada akhir 2008. Sebagai anggota panel penasehat independen proyek
Tangguh, kami sekali setahun berjumpa makan malam dengan Lord Browne di
London.
Panel yang terdiri dari empat anggota (Senator George Mitchell, Lord Hanna Hannay,
Ds Herman Saud dan kolumnis ini ) jumpa terakhir kalinya dengan Lord Browne 17
April lalu. Orangnya agak pendek dan bicara dengan suara lembut. Bulan Januari lalu,
setelah bertengkar dengan Dewan Komisaris yang mempersoalkan beberapa
kebijakannya, ia nyatakan akan mundur pada bulan Juli dengan status pensiun dini.
Tiba-tiba pada 1 Mei lalu, Lord Browne umumkan bahwa dia berhenti pada hari itu
juga. Dan penggantinya yang telah dipersiapkan, Tony Hayward, resmi menjadi
Presiden dan CEO BP. Apa yang telah terjadi? Sebuah koran tabloid yang cenderung
sensasional The Mail in Sunday akan menurunkan wawancara dengan pacar pria Lord
Browne (masih bujang) bernama Jeff Chevalier (27 tahun).
John Browne berusaha melalui pengadilan agar koran tersebut tidak menurunkan
laporannya. Pihak redaksi berargumentasi, bukan aspek pribadi yang mau
ditonjolkan, tapi aspek manajemen perusahaan. Yakni, John Browne sebagai CEO
telah memfasilitasi pacarnya, Jeff Chevalier, untuk membuka usaha dengan
menyalahgunakan aset BP. Hal itu telah dibantah akuntan BP.
Namun, John Browne terbukti telah memberikan kesaksian palsu di depan hakim
dalam proses pengadilan tertutup untuk membenarkan keputusan melarang koran The
Mail on Sunday menurunkan wawancara tersebut. Dalam kesaksiannya, Lord Browne
menyatakan, dia jumpa dengan Jeff di sebuah taman umum di London. Media
mengungkapkan bahwa dia menghubungi Jeff melalui website sebuah escort service.
Ketika di konfrontir oleh Hakim David Eady, John Browne "amat menyesali
kekeliruannya".
Hakim menolak permintaan untuk tidak mencetak wawancara dengan Jeff Chevalier
berdasarkan hak privacy. Beberapa pengamat di London berkomentar bahwa dunia
bisnis Inggris masih dihinggapi homophobia. Tajuk rencana The Daily Mail yang
menimbulkan empati ke- tika meyebut kasus Lord Browne mirip sebagai tragedi
Yunani kuno.
Seorang tokoh yang brilian, mampu memimpin dan mengembangkan sebuah
perusahaan kompleks, yang prihatin dengan masa depan umat manusia karena
gejala perubahan cuaca terpaksa mengundurkan diri, karena pola seksualitasnya
dianggap sebagai penyimpangan. Dengan keputusannya itu Lord Browne ingin
mengamankan kelancaran operasional BP, meskipun dia kehilangan pensiun berjuta
dolar AS.
Agak lain dengan sikap yang diperlihatkan Perdana Menteri Ehud Olmert atau
Presiden Paul Wolfowitz yang mempertahankan posisi mereka masing- masing
secara gigih, karena merasa dirinya benar- meskipun organisasi yang dipimpinnya
terganggu operasionalnya.
Kualitas seorang tokoh pemimpin ternyata baru terbukti ketika dia harus menghadapi
krisis yang gawat.
Penulis adalah pengamat masalah internasional
Last modified: 5/5/07
|