The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

SUARA PEMBARUAN DAILY


SUARA PEMBARUAN DAILY, 14 Mei 2007

THE GLOBAL NEXUS

Teror Mei 1998 dan Skenario Darfur

Christianto Wibisono

Mengikuti karier aktivis HAM Ester Indahyani Jusuf dan ketegarannya untuk tetap menerbitkan buku Kerusuhan Mei 1998, Fakta, Data & Analisa, saya bersyukur In-donesia masih mempunyai tokoh muda perempuan yang luar biasa. Aktivis ini adalah motor penerbitan buku yang diluncurkan Kamis malam, 10 Mei, di Goethe Institute.

Panitia mengungkapkan ada oknum di Komnas HAM yang malah menentang penerbit- an buku. Mengenaskan bahwa Komnas HAM malah membela pelanggar HAM berat.

Keberanian Ester untuk tetap meneruskan penerbitan itu membuktikan Ester memang layak mendapat penghargaan Yap Thiam Hien Award tahun 2000.

Sejak zaman Socrates hingga penyaliban Yesus, dan jatuhnya ribuan dan jutaan korban manusia, selalu ada manusia jenis unggul dari segala bangsa, etnis, ras, agama, dan gender yang more than equal. Manusia diciptakan sama, tapi ada jutaan yang hanya jadi pengekor, pengecut, penjilat, pelacur intelektual, dan predator terhadap sesama manusia tanpa malu-malu dan tanpa rasa bersalah sama sekali.

Panelis lain ialah tiga tokoh wanita pemberani, Saparinah Sadli, Siti Musdah Mulia, dan Kamala Candrakirana (pu- tri almarhum Soedjatmoko), tiga intelektual Dr J Kristiadi, Faisal Basri, dr Lie Darmawan dengan moderator Ivan Wibowo dan Dr Frans Tschai menutup diskusi.

Saparinah Sadli menekankan perlunya temuan buku ini ditindaklanjuti secara konkret, tapi Faisal Basri pesimistis, selama elite bercokol masih disusupi para pejabat yang mestinya bertanggung jawab atas teror biadab Mei 1998.

Mereka tidak pernah ditahan atau diinterogasi, naik pangkat dan malah tetap berkiprah untuk merebut kembali jabatan politik. Faisal Basri menyatakan hanya dua fraksi PDI-P dan PKB yang mendukung usulan agar DPR menuntaskan peristiwa Mei.

Perkosaan dan pembunuhan oleh oknum aparat negara yang seharusnya melindungi rakyat adalah dosa kuadrat yang sulit diampuni, tapi di Indonesia seolah malah memperoleh impunitas, dilindungi untuk tidak diusut dan diadili.

Alasan atau dalih yang dipakai melindungi ialah abstraksi seperti kehormatan korps dan aparatur negara karena meli-batkan petinggi dalam jajaran komando.

Justru hierarki itu lebih memperburuk citra Indonesia, sebagai negara predator, pemangsa dan peneror rakyat sendiri. Penembakan mahasiswa Trisakti adalah pemicu yang dibuat oleh oknum sutradara teror predator Mei yang kemudian lepas kendali karena terjadi semacam kudeta dan kontra kudeta antara para pesaing.

*

Kamis malam itu saya diselipkan dalam satu sequence acara "Kick Andy" bertema misteri pembakaran Yogya Plaza di Klender. Ketika ditanya apakah saya masih dendam karena rumah putri saya dibakar di Kapuk pada teror biadab itu, saya menyatakan saya malah prihatin dengan nasib ratusan dan mungkin ribuan orang yang menjadi korban ambisi predator elite.

Politik Teror Mei 1998 seperti juga Malari dan pelbagai "perang saudara" yang disulut di Poso, Palu, Ambon merupakan tingkah laku oknum pengadu domba rakyat untuk merebut kekuasaan.

Karena itu mereka harus dihukum berat dan pemerintah harus dihukum membayar ganti rugi kepada keluarga korban tanpa menunggu peradilan dan penangkapan pelaku apalagi otaknya yang berlindung di balik kekuasaan.

Elite pengecut yang hanya berlindung di balik kekuasaan resmi negara, kemudian tidak berani mempertanggungjawabkan kepengecutannya telah berulang kali menyulut konflik SARA menjadi pembantaian dan penjarahan berkepenjangan. Rakyat menjadi korban kebencian dan pertentangan yang dicampur-aduk antara kelas (miskin lawan kaya), etnis, dan agama.

Negara dibentuk untuk melindungi rakyatnya itu juga termaktub dalam Pembukaan UUD. Kalau aparatur negara gagal melindungi, walaupun diam saja dan tidak berbuat apa-apa, itu sudah merupakan guilty by omission, bersalah karena me- lalaikan fungsi dan layak di- hukum.

Pemerintah Daerah tingkat II dan provinsi dan Pemerintah Pusat harus langsung dihukum untuk memberi ganti rugi, dengan menyisihkan dari ABPD dan APBN, dana kompensasi kepada korban pembunuhan, penjarahan bernuansa politik SARA, bila pemerintah gagal melindungi, mencegah dan mengatasi pembantaian yang membunuhi rakyatnya sendiri. Indonesia terancam jadi failed state, negara gagal bila oknum aparatur membajak negara memangsa rakyatnya dengan kejahatan terhadap kemanusiaan tapi bebas dari hukuman.

*

Gedung Putih pada Kamis, 3 Mei, mengumumkan bahwa Dubes baru AS untuk Jakarta ialah Cameron R Hume, pejabat Kuasa Usaha AS di Sudan. Mantan Dubes di Afrika Selatan dan Aljazair, bidang politik di Suriah dan Lebanon.

Ketika AS mengangkat Dubes Marshall Green maka misinya adalah menyelamatkan Indonesia dari cengkeraman komunisme PKI dan mencermati suksesi Bung Karno.

Jika teriakan Kamala Candrakirana, putri cendekiawan terkemuka Indonesia berkaliber Nobel, Soedjatmoko, tidak didengar dan dilecehkan sebagai Cassandra dalam dongeng Troy, dikhawatirkan impunitas teror Mei 1998 akan melahirkan rentetan pelanggaran HAM berat versi penculikan aktivis, pembunuhan Munir, Ambon, Poso. Atau, penyengsaraan rakyat versi Lumpindo (Lumpur Lapin- do, Red) dan pemiskinan versi Meruya.

Oknum aparatur negara meneror dan menyengsarakan rakyatnya sendiri. Ini bukan hanya masalah etnis Tionghoa atau minoritas non-Muslim, ini ada- lah masalah kemanusiaan mendasar.

Jika elite politik Indonesia gagal menegakkan supremasi hukum dan membiarkan impunitas bagi kejahatan terhadap kemanusiaan, Indonesia terancam jadi failed state seperti Sudan dan Darfur.

Salah satu calon dubes ialah Karl D Jackson, yang pernah mengamati Indonesia di awal Orde Baru dengan disertasi mengenai birokrasi Indonesia. Karl D Jackson dalam suatu seminar pernah menyatakan bahwa SBY itu berhati-hati karena ia tidak mau mengulangi riwayat hidup mertuanya, almarhum Sarwo Edhie Wibowo.

Pada awal Orde Baru, Sarwo Edhie sangat populer dan menjabat komandan RPKAD, cikal- bakal Kopassus, dan dikenal karena reputasi bersih dari korupsi. Soeharto khawatir Sarwo bakal mengikuti jejak Kol Gamal Abdel Nasser dari Mesir, yang menggulingkan atasannya, Jenderal Najib.

Sebelum Sarwo jadi Nasser, Soeharto menggebuk dulu dengan mencopot Sarwo dari Komandan RPKAD.

Dengan batalnya Karl D Jackson menjadi duta besar serta rencana kunjungan Taufiq Kiemas ke AS bersilaturahmi dengan Partai Demokrat (Hillary dan Obama), lobi politik Jakarta-Washington akan semakin sibuk. Menarik untuk mendalami mengapa AS mengirim Dubes Cameron R Hume dan bukan Karl D Jackson yang memahami profil dan riwayat SBY.

Semua tentu akan bermuara pada Pilpres 2009!

Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional


Last modified: 14/5/07
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/rumah3poka
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044